Sunday, December 28, 2014

TAFSIR MAUDHUI

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diwahyukan kepada manusia dengan menggunakan bahasa yang dipahami oleh manusia. Sosok manusia pilihan yang menjadi sasaran pewahyuan kalam Allah itu adalah Nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad berupaya menjelaskan kepada umatnya. Upaya ini merupakan konsekuensi dari tugas beliau sebagai Rasul Allah.
Sepeninggal Nabi, umat Islam pada dasarnya mengalami kesulitan dalam memahami kandungan isi kitab suci al-Qur’an. Keadaan umat sudah heterogen. Akibatnya, al-Qur’an yang berfungsi sebagai kitab suci dan sumber petunjuk bagi mereka itu tidak dipahami. Disinilah perlu adanya penafsiran baru terhadap al-Qur’an, yaitu tafsir maudhu’i.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa itu Tafsir Maudhu’i.
2.      Bagaimana Cara Menggunakan Metode Tafsir Maudhu’i.
3.      Bagaimana Contoh Metode Tafsir Maudhu’i.
4.      Apa Keistimewaan Metode Tafsir Maudhu’i.
5.      Siapa Saja Tokoh yang Pernag Menerapkan Metode Maudhu’i.
6.      Bagaimana Perkembangan Tafsir Maudhu’i.
7.      Bagaimana Bentuk Terbaru dari Metode Tafsir Maudhu’i.

C.    Tujuan Penulisan

1.      Mengetahu Pengertian Tafsir Maudhu’i.
2.      Mengetahui Cara Menggunakan Metode Tafsir Maudhu’i.
3.      Mengetahui Contoh Metode Tafsir Maudhu’i.
4.      Mengetahui Keistimewaan Metode Tafsir Maudhu’i.
5.      Mengetahui Tokoh-tokoh yang Pernah Menerapkan Metode Maudhu’i
6.      Mengetahui Perkembangan Metode Tafsir Maudhu’i.
7.      Mengetahui Bentuk Terbaru dari Tafsir Maudhu’i.






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tafsir Maudhu’i

Tafsir Al-Maudhu’i ialah tafsir yang membahas tentang masalah-masalah Al-Qur’an al-Karim yang (memiliki) kesatuan makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya yang bisa juga disebut dengan metode tauhidi (kasatuan) untuk kemudian melakukan penalaran (analisis) terhadap isi kandungannya  menurut cara-cara tertentu dan berdasarkan syarat-syarat tertentu untuk menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan unsur-unsur serta menghubungkannya antara yang satu dengan yang lain dengan korelasi yang bersifat komfrehensif.[1]
Metode maudhu’i dapat dikelompokkan kepada dua macam; berdasarkan surat al-Qur’an dan berdasarkan tema pembicaraan al-Qur’an. Tafsir yang menempuh metode maudhu’i cara pertama yang berangkat dari anggapan bahwa setiap surat al-Qur’an memiliki satu kesatuan yang utuh. Tafsir al-Qur’an yang menempuh metode maudhu’i cara kedua dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap satu- persatu masalah yang disinggung oleh al-Qur’an dalam berbagai ayat-ayatnya.[2]
Metode ini adalah metode tafsir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan cara tematik dengan membahas ayat-ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan tema dan judul yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, penafsir yang menggunakan metode ini akan meneliti ayat-ayat al-Qur’an dan melakukan analisis berdasar ilmu yang benar, yang digunakan oleh pembahas untuk menjelaskan pokok permasalahan  sehingga ia dapat memahami permasalahan tersebut dengan mudah dan betul-betul menguasainya, sehingga memungkinkan untuk memahami maksud yang terdalam dan dapat menolak segala krtik.[3]
Metode ini adalah suatu metode yang mengarahkan pandangan kepada satu tema tertentu, lalu mencari pandangan al-Qur’an tentang tema tersebut dengan jalan menghimpun semua ayat yang membicarakannya, menganalisis, dan memahaminya ayat demi ayat, lalu menghimpunnya dalam benak ayat yang bersifat masih umum dikaitkan dengan yang khusus, yang muthlak digandengkan denga yang muqayyad, dan lain-lain, sambil memperkaya uraian dengan hadits-hadits yang berkaitan untuk kemudian disimpulkan dalam satu tulisan pandangan menyeluruh dan tuntas menyangkut tema yang dibahas itu.[4]
Tafsir tematik bertujuan menyelesaikan permasalahan yang diangkat secara tuntas sehingga diproleh suatu kesimpulan yang dapat dijadikan pegangan; baik bagi mufassir sendiri, maupun bagi pembaca dan pendengar bahkan oleh umat secara keseluruhan. Karena tujuannya untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang sedang dialami oleh umat itu, maka diabad modern ini para ulama lebih gandrung menggunakan metode tematik dari pada metode-metode yang lain.[5]
Metode maudhu’i (tematik) dalam format dan prosedur belum lama lahir. Orang yang pertama kali memperkenalkan metode ini adalah Al-Jalil Ahmad As-Sa’id Al-Kumi, ketua jurusan Tafsir di Universitas Al-Azhar. Langkah-langkahnya kemudian diikuti oleh teman-temannya dan mahasiswa-mahasiswanya.[6]
Dua langkah pokok dalam proses penafsiran yang dikemukakan oleh Farmawi dalam penafsiran secara maudhu’i.
1.      Mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan suatu maudhu’ tertentu dengan memperhatikan masa dan sebab turunnya.
2.      Mempelajari ayat-ayat tersebut secara cermat dengan memperhatikan nisbat (korelasi) satu dengan yang lainnya dalam peranannya untuk menunjuk pada permasalahan yang dibicarakan.

B.     langkah-langkah Menggunakan Metode Maudhu’i

M. Quraisy Syihab dalam tulisannya Tafsir Al-Qur’an Masa Kini mengemukakan 8 langkah yang harus ditempuh:
1.      Menetapkan masalah atau judul;
2.      Menghimpun atau menetapkan ayat-ayat yang menyangkut masalah tersebut;
3.      Menyusun ayat-ayat tadi sesuai dengan masa turunnya dengan memisahkan priode Mekkah dan Madinah;
4.      Memahami korelasi ayat tersebut dalam surat masing-masing;
5.      Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang menyangkut masalah tersebut;
6.      Menyusun pembahasan salah satu kerangka yang sempurna;
7.      Studi tentang ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan ‘amm dan khas (umum dan khusus) muthlaq dan muqayyad (yang bersyarat dan tanpa bersyarat) atau yang kelihatannya bertentangan, sehingga semuanya bertemu dalam suatu muara tanpa perbedaan atau pemaksaan dalam pemberian arti;
8.      Menyusun kesimpulan-kesimpulan yang menggambarkan jawaban Al-Qur’an terhadap masalah yang dibahas tersebut.[7]

Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang penafsir yang menggunakan metode ini ialah;
1.      Untuk sampai pada kesimpulan yang lebih mendekati kebenaran, hendaklah menyadari bahwa tidak bermaksud menafsirkan Al-Qur’an dalam pengertian biasa; tugas utamanya ialah mencari dan menemukan hubungan antara ayat-ayat untuk mendapatkan kesimpulan sesuai dengan dilalah ayat tersebut.
2.      Penafsir harus menyadari bahwa ia hanya memiliki satu tujuan, dimana ia tidak boleh menyimpang dari tujuan tersebut. Semua aspek dari permasalah  itu haris dibahas dan semua rahasianya harus digali. Jika tidak demikian, ia tidak akan merasakan kedalaman (balaghah) Al-Qur’an, yaitu keindahan dan hubungan yang harmonis diantara susunan ayat-ayat dan bagian-bagian dari Al-Qur’an.
3.      Memahami bahwa Al-Qur’an dalam menetapkan hukumnya secara berangsur-angsur. Dengan memperhatikan sebab diturunkannya ayat disamping persyaratan lain, maka seorang penafsir akan terhindar dari kekeliruan, dibandingkan jika ia hanya melihat lafazhnya saja.
4.      Penafsir hendaknya mengikuti aturan-aturan (qa’idah) dan langkah-langkah yang sesuai dengan petunjuk metode ini, agar perumusan permasalahan nantinya tidak kabur.[8]

C.    Contoh Tafsir Maudhu’i

Contoh metode maudhu’i (tematik) adalah seperti penyelesaian kasus riba yang dilakukan ole Ali al-Shabuni dalam “Tafsir Ayat Ahkam” yang secara hierarki menentukan urutan ayat. Pertama QS. ar-Ruum ayat 39 yang menjelaskan tentang kebencian Allah kepada riba walaupun belum diharamkan.
Artinya:”dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah.” (QS. ar-Ruum: 39)

Kedua QS. al-Baqarah ayat 278 yang menjelaskan keharaman riba secara mutlak.
Artinya:278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Dalam Pembahasan Ri’ayat Al-yatim fi Al-Qur’an Al-Karim Al-Farmawi mengambil beberapa langkah-langkah metodologi sebagai berikut:
1.      mengumpulkan ayat-ayat yang berhubungan dengan anak yatim sekaligus mengelompokkan ayat-ayat tersebut kedalam makkiyat dan madaniyat. Makiyat sebanyak 5 ayat dan Madaniyat 17 ayat (termasuk al-Ma’un);
2.      bertitik tolak dari ayat-ayat yang terkumpul itu, Al-Farmawi menetapkan sub-subbahasan. Pembahasan tentang pemeliharaan anak yatim berdasarkan ayat-ayat Makiyyat dipisahkan menjadi dua bagian, yaitu:
1)      pemeliharaan diri/fisik anak yatim, membahas 4 ayat dan
2)      masalah harta anak yatim
Adapun pembahasan anak yatim berdasarkan ayat-ayat Madaniyat, terbagi kedalam tiga subbahasan, yaitu:
1)      pentingnya pembinaan akhlak dan pendidikan anak yatim menurut Al-Qur’an, membahas 4 ayat;
2)      pemeliharaan harta anak yatim, 9 ayat;
3)      perintah berinfak kepada anak yatim, 4 ayat.
3.      pada tahap pembahasan, Al-Farmawi mempertimbangkan masa turunnya surat dan urutan ayat-ayat jika kebetulan terdapat beberapa ayat dalam satu surat yang sedang dibahas.
Munasabah (korelasi) antara ayat dengan ayat disajikan dalam suatu kaitan yang rasional, historis, dan semangat pedagogis. Hal tersebut menyebabkan uraian terasa hidup dan mengesankan. Misalnya sewaktu mengikuti penyajian yang cukup menarik tentang hubungan tiga ayat makkiyah yaitu ayat ke-6 surat Ad-Dhuha, yaitu:    
Artinya:  Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?
Suatu pernyataan kepada Nabi yang cukup menggugah bila dihubungkan dengan latar belakang dirinya:  
Artinya: “Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu Berlaku sewenang-wenang.
(QS. Ad-Dhuha: 9)
Suatu sikap yang dituntut untuk menghormati atau menyayangi anak yatim.

Memberikan penjelasan mengenai Firman Allah swt. dalam QS. an-Nisa’ ayat 5:
Yang Artinya: “dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, hartaY (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”

Al-Farmawi menerangkan bahwa pemakaian kata “Fi ha” bukan “minha” pada ayat itu menunjukkan bahwa pemeliharaan yatim hendaklah membiayai kehidupan anak yatim asuhannya yang bukan diambil dari harta asal, tetapi dari hasil harta asal anak yatim yang diamanahkan kepadanya. [10]





D.    Keistimewaan Tafsir Madhu’i

1.      Dengan tafsir madhu’i, hidayah Al-Qur’an dapat digali secara lebih mudah dan hasilnya ialah permasalahan hidup prakstis dapat dipecahkan dengan baik. Oleh karena itu, tafsir memberikan jawaban secara langsung terhadap sementara dugaan bahwa Al-Qur’an hanya berisi teori-teori spekulatif tanpa menyentuh kehidupan nyata, baik kehidupan pribadi maupun kehidupan masyarakat.
2.      Dapat menumbuhkan kembali rasa bangga umat Islam, setelah sebagian mereka sempat terpengarauh oleh aturan-aturan produk manusia, bahkan kini merasa bahwa Al-Qur’an dapat menjawab tantangan hidup yang senantiasa berubah.
3.      Merupakan jalan terpendek dan termudah untuk memproleh hidayah Al-Qur’an dibanding tafsir tahlili, sebab tafsir tahlili tidak menghimpun ayat-ayat yang letaknya terpencar-pencar didalam Al-Qur’an  dalam satu maudhu’i.
4.      Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an sebagaimana diutamakan oleh tafsir maudhu’i adalah cara terbaik yang telah disepakati.
5.      Kemungkinan yang lebih terbuka ntuk mengetahui satu permasalahan secara lebih sempurna dan mendalam.[11]

E.     Tokoh Tafsir Maudhu’i

1.      Abbas Mahmud Al-Aqqad : Al-Mar’ah fi Al-Qur’an
2.      Abu Al-A’la Al-Maududi   : Ar-Riba fi Al-Qur’an
3.      Muhammad Abu Zahrah     : Al-‘Aqidat min Al-Qur’an
4.      Muhammad Al-Samahi      : Al-Ulubiyat wa Ar-risalah fi Al-Qur’an
5.      Dr. Ibrahim Muhnan           : Al-Insan fi Al-Qur’an Al-Karim Muqawwamat Al-Insaniyyat fi Al-Qur’an.
6.      Dr. Ahmad Kamal Mahdi   : Ayat Al-Qasam fi Al-Qur’an Al-Karim.
7.      Syaikh Mahmud Syaltut     : Al-Washaya Al-‘Asyr
8.      Abd. Al-Hay Farmawi        : Washaya Surat Al-Isra’.[12]

F.     Kelebihan dan Kelemahan

Metode tafsir Maudhu’i mempunyai beberapa kelebihan. Yang terpenting ialah bahwa metode ini penafsirannya bersifat luas, mendalam, tuntas sekaligus dinamis. Adapun kelemahannya antara lain sama dengan tafsir al-muqarran, yakni tidak dapat menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara keseluruhan seperti yang dapat dilakukan dengan metode tahlili dan ijmali. [13] Beberapa keistimewaannya yang lain yaitu:

a.       Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadits Nabi.
b.      Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami. Hal ini disebabkan karena ia membawa pembaca kepada petunjuk al-Qur’an tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu. Dengan metode ini juga dapat dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh al-Qur’an bukan bersifat teoritis semata-mata dan atau tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu ia dapat membawa kita kepada pendapat al-Qur’an tentang berbagai problem hidup disertai dengan jawaban-jawabannya.
c.       Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam al-Qur’an. Ia sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilm pengetahuan dan masyarakat.[14]


G.    Perkembagan Metode Tematik (Maudhu’i)

Metode ini sudah lahir sejak Nabi Muhammad saw., dimana beliau sering kali menafsirkan ayat dengan ayat yang lain, seperti ketika menjelaskan arti Zhulum dalam QS. al-An’am ayat 82:
Yang Artinya: “ orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.

Nabi menjelaskan bahwa zhulum yang dimaksud adalah syirik sambil membaca firman Allah dalam QS. Lukman ayat 13.  
Yang rtinya: “ dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Benih penafsiran ayat dengan ayat ini tumbuh subur dan berkembang sehingga lahir kitab-kitab tafsir yang secara khusus mengarah kepada tafsir ayat dengan ayat. Tafsir Ath-Thabary (839-923 M) dinilai sebagai kitab tafsir pertama dalam bidang ini, lalu lahir lagi kitab-kitab tafsir yang tidak lagi secara khusus bercorak penafsiran ayat dengan ayat, tetapi lebih fokus pada penafsiran ayat-ayat bertema hukum, seperti misalnya Tafsir Ahkam Al-Qur’an karya Abu Bakar Ahmad bin Ali Ar-Razy al-Jashshas (305-370 H), Tafsir al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an karya Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurthuby (w. 671 H), dan lain-lain.[15]

H.    Bentuk Terbaru Metode Maudhu’i

Setelah Syekh Ahmad Sayyid al-Kumy mencetuskan metode tafsir ini, bermunculanlah beberapa kitab tafsir yang menggunakan metode ini, antara lain, Al-Futuhat Ar-Rahbaniyah fi At-Tafsir Al-Maudhu’i li al-Ayat al-Qur’aniyah, karya Syekh al-Husaini Abu Farhah, dan lahir juga buku-buku yang menjelaskan metode itu, antara lain, Al-Bidayah fi at-Tafsir al-Maudhu’i karya Abdul Hayyi Al-Farmawi.[16]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Tafsir maudhu’i sebagai metode terbaru ternyata lebih ampuh mengantarkan kita untuk mendapatkan resep yang diperlukan bagi masalah-masalah praktis dan hidup ditengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, hasil tafsir jenis ini, memberikan kemungkinan kepada kita untuk menjawab tantangan kehidupan yang selalu berubah dan berkembang.
Tafsir tematik bertujuan menyelesaikan permasalahan yang diangkat secara tuntas sehingga diproleh suatu kesimpulan yang dapat dijadikan pegangan; baik bagi mufassir sendiri, maupun bagi pembaca dan pendengar bahkan oleh umat secara keseluruhan. Karena tujuannya untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang sedang dialami oleh umat itulah, maka diabad modern ini para ulama lebih gandrung menggunakan metode tematik dari pada metode-metode yang lain




DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihan. Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2005).
Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).
Hasan, Hamka. Tafsir Gender: Studi Perbadingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir, (Jakarta: Badan Litbang & Diklat Departemen Agama RI, 2009).           
Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Kencana, 2005).
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat  Al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2013).
-----------Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994).
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013).
Syafe’i, Rachmat. Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006).
Zaini, Muhammad. ‘Ulumul Qur’an Suatu Pengantar, (Banda Aceh, Yayasan PeNA, 2014).




[1] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 391
[2] Muhammad Zaini, ‘Ulumul Qur’an Suatu Pengantar, (Banda Aceh, Yayasan PeNA, 2014), hlm. 126
[3] Hamka Hasan, Tafsir Gender: Studi Perbadingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir, (Jakarta: Badan Litbang & Diklat Departemen Agama RI, 2009), hlm. 111
[4] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat  Al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 385
[5] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 383
[6] Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm. 161
[7] Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 295
[8] Ibid, hlm. 296
[9] Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 116-117
[10] Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir,....hlm. 299
[11] Ibid, hlm. 302
4. ibid, hlm. 302
[13] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an,........hlm. 394
[14] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 117
[15] Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami  Ayat-ayat Al-Qur’an,.....hlm. 387
[16] Ibid, 389

No comments: