Sunday, December 28, 2014

TAFSIR SURAH AL-KAHFI

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Kisah yang terhimpun dalam ayat-ayat ini sangat serasi dengan kisah nabi Adam as. Dan godan iblis.kalau disan iblis enggan  mengakui keutamaan adam as. Dan keistimewaannya, didorong oleh kedengkian dan keanggkuhan iblis, maka ini menguraikan pengakuaan seseorang terhadap keutamaan orang lain., dalam hal ini Nabi Musa as. Terhadap hamba Allah yang saleh itu.
Kisah yang dipaparkan oleh al-quran ini tidak menyebut bagaimana awalnya. Boleh jadi karena tidak terlalu banyak pesan yang perlu disampaikan atau didukung diawal kisahnya. Disisi lain kisah tersebut merupakan salah satu cara untuk menimbulkan naluri ingin tahu  yang menjadi unsur gaya tarik bagi sebuah kisah. Tapi, walaupn al-quran tidak menyinggungnya, Rasul saw telah menjelaskannya.

B.     TUJUAN

Makalah ini dibuat dengan tujuan agar para mahasiswa bisa memahami tafsir surat al-kahfi ayat 60-82. Dengan harapan agar kedepannya para pembaca bisa memiliki kemampuan untuk memahami tafsir al-quran.

C.    RUMUSAN MASALAH

1.      Sebutkan terjemahan surat al-kahfi ayat 60-82
2.      Sebutkatkan tafsir surat al-kahfi ayat 60-82





BAB II
PEMBAHASAN

TAFSIR TENTANG AYAT-AYAT HUBUNGAN GURU DENGAN MURID

A.    SURAT AL-KAHFI AYAT 60-82
Lihat Surah Al-Kahfi ayat 60-82.
Yang artinya:
60.  Dan (Ingatlah) ketika Musa Berkata kepada muridnya[885]: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau Aku akan berjalan sampai bertahun-tahun".
61.  Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.
62.  Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan kita; Sesungguhnya kita Telah merasa letih Karena perjalanan kita ini".
63.  Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mecari tempat berlindung di batu tadi, Maka Sesungguhnya Aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan Aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali".
64.  Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.
65.  Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba kami, yang Telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang Telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami[886].
66.  Musa Berkata kepada Khidhr: "Bolehkah Aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang Telah diajarkan kepadamu?"
67.  Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama Aku.
68.  Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"
69.  Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati Aku sebagai orang yang sabar, dan Aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".
70.  Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai Aku sendiri menerangkannya kepadamu".
71.  Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu Telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.
72.  Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah Aku Telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku".
73.  Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum Aku Karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani Aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".
74.  Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, Maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan Karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu Telah melakukan suatu yang mungkar".
75.  Khidhr berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?"
76.  Musa berkata: "Jika Aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, Maka janganlah kamu memperbolehkan Aku menyertaimu, Sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku".
77.  Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu".
78.  Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara Aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.
79.  Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan Aku bertujuan merusakkan bahtera itu, Karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.
80.  Dan adapun anak muda itu, Maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.
81.  Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).
82.  Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah Aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".
 Menurut ahli tafsir, murid nabi Musa a.s. itu ialah Yusya 'bin Nun.
Menurut ahli tafsir hamba di sini ialah Khidhr, dan yang dimaksud dengan rahmat di sini ialah wahyu dan kenabian. sedang yang dimaksud dengan ilmu ialah ilmu tentang yang ghaib seperti yang akan diterangkan dengan ayat-ayat berikut.

B.     KOSA KATA

Kosa kata
Arti kata
$Y7à)ãm
Bertahun-tahun
$\/uŽ| 
Dengan melompat
÷è=ö/r&
Aku sampai
$TÁ|Ás%
Mengikuti jejak mereka
ytö/r&
Berhenti berjalan
yìyJøgxC
Pada tempat pertemuan
$tRuä!#yxî
Makanan kita


$uZ÷ƒurr&
Kita berhenti
#£s?ö$$sù
Maka keduanya kembali
m»oY÷s?#uä
Yang telah kami berikan padanya
#Yô©â
Ilmu dan petunjuk yang benar
ìÏÜtGó¡n@
Kamu mampu
ÝÏtéB
Kamu kuasai
ÓÅÂôãr&
Aku akan menentang
@ƒÍrù's?
Penjelasan


C.    TAFSIR SURAT AL-KAHFI AYAT 60-82

TAFSIR SURAT AL-KAHFI AYAT 60-61

Kelompok ayat-ayat ini menguraikan suatu kasih Nabi Musa as.  Dengan salah seorang hamba Allah yang saleh. Kisah itu tidak akan disinggung dari dekat atau jauh kecuali dalam surah ini. Banyak juga hal yang disebut oleh kumpulan ayat-ayat ini yang tidak secara jelas diuraikan. misalnya siapa hamba Allah yang saleh itu, dimana pertemuan mereka dan kapan terjadinya. Kendati demikianlah banyak sekali pelajaran yang dapatditarik dari ayat-ayat ini.
Kata fata pada mulanya bermakna remaja / anak muda. Digunakan dalam arti pembantu.masyarakat jahiliyah menamakan budak-budak pria mereka dengan ‘abd. Rasulullah melarang penggunaan itu dan mengajarkan agar menamai mereka fata. Agaknya hal tersebut untuk mengisyaratkan bahwa sesorang betapa pun keadaannya tidaklah wajar di [erbudak dan harus diperlakukan sebaik mungkin selayaknya manusia. Dengan demikian orang yang selalu menyertai nabi Musa as. Itu dinamai fata, yakni yang selalu membantunya dan yang boleh jadi dalam pandangan masyarakat ia berstatus hamba sahaya.
Yang dimaksud dengan fata Musa oleh ayat ini menurut banyak ulama adalah Yusra’ ibn Nun. Ada juga yang berpendapat ia adalah kemenakan nabi Musa asa, yakni anak saudara perempuannya. Yusra’ adalah salah seoranmg dari dua belas orang yang di utus mematai penduduk Kan’an di daerah Halab (Aleppo syiria sekarang) serta Hebron (di Palestina). Menurut Thahir Ibn ‘Asyur dia lahir disekitar 1463 SM. Dan meninggal sekitar 1353 SM dalam usia sekitar 110 tahun.
Ayat ini tidak menjelaskan di mana (yìyJôftB Ç`÷ƒtóst7ø9$#atau dua laut itu. Sementara ulama berpendapat bahwa ia di Afrika (maksudnya di Turnis sekarang). Sayyid Qhutub menguatkan pendapat yang menyatakan ia dalah laut merah dan laut putih. Sedang tempat pertemuan itu di danau At-Timsah dan danau al-Murrah, yang kini menjadi wilayah Mesir atau pada pertemuan teluk Aqabah atau Suez di laut merah. Ibn ‘Asyur menekankan bahwa tidakalah wajar menduga ada tempat lain  bagi pertemuan tersebut kecuali di Palestina. Kemungkinan besar tulisnya itu Buhairiyah yang dinamai juga oleh orag Israil Bahr al-Jalil.
Kata huquban ada yang berpendapat bahwa kata tersebut bermakna setahun, ada juga yang berkata tujuh puluh tahun, atau delapan pulih tahun atau sepanjang masa. Bentuk jamaknya ahqab . apapun maknanya, yang jelas ucapan nabi Musa as dia atas menunjukkan tekadnya yang demikian kuat untuk bertemu dan belajar pada hamba Allah yang shaleh itu.
Pendapat ulama berbeda tentang makna (nasiya hutahuma) / mereka berdua lupa ikan mereka. Itu lupa membawanya setelah mereka beristirahat di suatu tempat, dan Nabi Musa as. Sendiri lupa mengingatkan pembantunya. Ada juga yang berpendapat bahwa pembantunya lupa menceritakan ihwal ikan yang dilihatnya mencebur ke laut.[1]


TAFSIR SURAT AL-KAHFI AYAT 62-65

Dalam ayat 62 Allah menceritakan bahwa keduanya terus melanjutkan perjalanannya siang dan malam. Nabi Musa pun merasa lapar dan berkata kepada muridnya : “bawalah kemari makanan kita sesungguhnya telah mersa letih karena perjalanan kita ini. Persaan lapar dan penat setelah melampaui tempat pertemuan dua laut itu ternyata mengandung hikmah, yaitu mengundang ingatan Nabi Musa kepada ikan yang mereka bawa. Dalam ayat ini Allah mengungkapkan bahwa betapa luhurnya budi pekerti Musa as kepada muridnya. Bahwa apa yang dibawa oleh muridnya sebagai bekal itu adalah merupakan milik bersama, bukan hanya miliknya sendiri. Betapa pula halis perasaannya bahwa letih dan lapar itu tidak hanya dirinya. Beliau dapat merasakan apa yang menimpa orang lain.
Dalam ayat 63 ini yusa’ menjawab secara jujur, bahwa ikan itu telah hidup kembali dan menggelepar-gelepar, lalu masuk ke laut dengan cara yang sangat mengherankan, ketika mereka beristirahat dan berlindung di batu tempat bertemunya dua laut. Tetapi dia lupa dan tidak menceritakan kepada nabi Musa as. Kekhalifahan ini bukanlah tidak bertanggung jawab, tapi setanlah yang menyebabkannya.
Mendengar jawaban seperti tersebut diatas, dalam ayat 64 ininabi Musa menyambutnya dengan gembira seraya berkata: itulah tempat yang kita cari”. Di tempat itu kitapun akan mendapatkan batu yang mereka jadikan tempat berlindung. Sehingga tidak ada tanda-tanda , akan tetapi ada jejak mereka. Maka ada kemungkinan bahwa yang dimaksid dalam firman Allah tentang pertemuan dua laut itu ialah pertemuan air tawar (sungai nil) dengan air asin (laut tengah) yaitu di Dimyat atau Rasyid di negeri Mesir.
Dalam ayat 65 Allah menceritakan bahwa setelah nabi Musa dan Yusa’ menyusuri kembali jalan yang mereka lalui tadi sampailah keduanya pada batu yang pernah mereka jadikan tempat istirahat. Disaat mereka mendapatkan seorang hamba di antara hamba-hamba Allah ialah al-Khidir yang berselimut dengan kain putih bersih. Menurut Sain bin Zubair, kain putih itu menutupi leher samapi kakinya.  Dalam ayat ini Allah juga menyebutkan bahwa Al-Khidir itu ialah orang yang mendapat ilmu langsung dari Allah, yang ilmu itu diberikan kepada nabi Musa. Sebagaimana juga Allah telah menganugrahkan suatu ilmu kepada nabi Musa yang tidak diberikan kepada al-Khidir.
Menurut Hujjatul Islam Al Ghazali bahwa pada garis besarnya, seorang mendapat ilmu itu dengan dua cara :
1.      Proses pengajaran dari manusia, disebut At-Ta’lim Al Insani, yang dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Belajar kepada orang lain(diluar dirinya)
b.      Belajar sndiri dengan menggunakan akal pikirannya sendiri
2.      Pengajaran langsung yang diberikan Allah kepada seseorang yang disebut Ta’lim  Ar Rabbani. Ini di bagi menjadi dua, yaitu:
a.       Diberi dengan cara wahyu, yaitu ilmu al Anbiya dan ini khusus untuk para nabi
b.      Diberikan dengan cara ilham yang ilmunya disebut ladunni ini diperoleh dengan cara langsung dari Tuhan tanpa perantara.

TAFSIR  SURAT AL-KAHFI AYAT 66-70

Allah SWT menceritakan tentang ucapan Musa a.s kepada orang alim, yakni Nabi Kaidhir a.s  yang secara khusus diberi ilmu oleh Allah SWT yang tidak diberikan kepada Musa a.s, sebagaimana Dia juga telah menganugerahkan ilmu kepada Musa yang tidak Dia berikan kepada Khaidir. “ Musa  berkata kepada Khaidir: “Bolehkah aku mengikutimu.” Yang demikian itu merupakan pertanyaan yang penuh kelembutan, bukan dalam bentuk keharusan dan pemaksaan. [2]
Demikian itulah seharusnya seorang pelajar kepada orang berilmu. Dan ucapan Musa, “Bolehkah aku mengikutimu?” yakni menemanimu. “Supaya engkau mengajarkan kepadaku iilmu-ilmu yang benar dianatra ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?  Maksudnya, sedikit ilmu yang telah diajarkan Allah Ta’ala kepadamu agar kamu dapat menjadikannya sebagai petunjuk dalam menangani urusanku, yaitu ilmu yang bermanfaat dal amal shalih. Pada saat itu, Khaidhir berkata kepada Musa “sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.” Maksudnya, sesungguhnya engkau tidak akan mampu menemaniku, sebab engkau akan menyaksikan berbagai tindakanku yang bertentangan dengan syari’at mu , karena aku bertindak berdasarkan ilmu yang diajarkan Allah kepadaku dan tidak Dia ajarkan kepadamu. Engkau juga mempunyai ilmu yang diajarkan Allah kepadamu tetapi Dia tidak ajarkan kepadaku. Dengan demikian, masing-masing kita dibebani berbagai urusan dari-Nya yang saling berbeda, dan engkau tidak akan sanggup menemaniku. “Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” Aku akan mengetahui bahwa kamu akan menolak apa yang kamu tidak mengetahui alasannya. Tetapi aku telah mengetahui hikmah dan kemaslahatan yang tersimpan didalamnya, sedang kamu tidak mengetahuinya. Musa berkata, “Insya Allah engkau akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar,” yakni atas apa yang aku saksikan dari beberapa tindakanmu. “Dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.” Maksudnya, dan aku tidak menentangmu mengenai sesuatu. Pada saat itu, Khaidhir a.s memberikan syarat kepada Musa, “Ia berkata, ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun.” Yakni, dalam taraf pertamanya. “sampai aku sendiri yang menjelaskannya kepadamu.” Yakni, sehingga aku yang mulai memberikan penjelasan kepadamu sebelum kamu bertanya kepadaku.

TAFSIR SURAT AL- KAHFI AYAT 71-73

Allah berfirman seraya menceritakan tentang Musa dan sahabtnya, yakni khidhir, bahwa keduanya bertolak bersama. Setelah sepakat dan saling bersahabat, Khidri sendiri telah memberikan syarat kepada Musa untuk tidak menanyakan sesuatu hal yang ia tolak sehingga ( Khidhir) sendiri yang mulai menjelaskannya, maka keduanya pun menaiki kapal. Didepan telak kami kemukakan pembahasan tentang bagaimana keduanya menaik perahu.[3]
Khidhir bangkit kemudia melubangi perahutersebut, lalu mengeluarkan papan perahu tersebut kemudian memotongnya, sedang Musa tidak dapat menahan diri menyaksikkan hal itu hingga dengan nada menolak, Musa berkata: “ mengapa kamu melubangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpang?”. “ sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar”. Mujahidin mengatakan : yakni kemungkaran.” Sedangkan Qatadah mengatakan : yakni, sesuatu yang aneh”.
Maka pada saat itu, Khidhir berkata kepadanya seraya mengingatkan syarat yang pernah ia ajukan sebelumnya: “ Bukankah aku telah berkata: “ Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama denganku.” Yakni, apa yang engkau kerjakan inimerupakan bagian dari apa yang telah kusyaratkan kepadamu, yakni kamu tidak boleh menolak apa yang kulakukan terhadapnya, karena kau tidak menyelami pengetahuan tentangnya. Padahal tindakan tersebut mempunyaikemaslahatan yang engkau tidak mengetahuinya. Musa berkata : “  janganlah engkau menghukumku karena kelupaanku dan janganlah engkau membebani sesuatu kesulitan dalam urusanku. “ maksudnya, janganlah engkau mempersempit dan mempersulit diriku”.


TAFSIR SURAT AL-KAHFI AYAT 74-76

Allah berfirman: “ maka janganlah keduanya, “ yakni, setelah itu, “ hingga tatkala keduanya berjumpadengan seorang anak,maka Khidhir mambunuhnya. “ sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa anak itu sedang bermain dengan anak-anak lainya disebuah perkampungan. Khidhir sengaja mendekati anak itu yang berada ditengah-tengah anak lainya. Ia adalah anak yang paling bagus, tampan, dan cerita diantara kawan-kawannya. Lalu khidhir membunuhnya., wallaahu a’lam.[4]
Setelah menyaksikan peristiwa tersebut, Musapun menengkang Khidhir bahkan lebih keras daripada penentangan yang pertama,dan dengan segera ia berkata: “ mengapa engkau membunuh jiwa yang bersih.” Yakni, seorang anak kecil yang belum berbuat dosadan tidak juga ia berbuat kesalahan sehingga engkau membunuhnya, “ Bukan karena ia membunuh yang lain?” yakni, tanpa adanya alas an untuk membunuhnya.  “ Sesungguhnya engkau telah melakukan sesuatu yang munkar. “ yakni, kemungkaran yang benar-benar jelas. “ khidhir berkata: “ Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku? “  Di sini khidhir juga menekankan seraya mengingatkan syarat pertama. Oleh karena itu, Muka berkata kepadanya: “ Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah kali ini. “ maksudnya, jika aku menentangmu dalam sesuatu hal setelah ini, “ maka janganlah engkau memperolehkan diriku menyertaimu, sesungguhnya engkau telah cukup memberikan udzur kepadaku. “ maksudnya, engkau telah memberikan udzur berkali-kali.

            TAFSIR SURAT AL-KAHFI AYAT 77-78 
     
Alaah berfirman seraya menceritakan tentang keduanya, bahwa keduanya “Berjalan,” yakni, setelah dua kali perjalanan sebelumya, “Hingga ketika mereka sampai kepada penduduk suatu negeri.” Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Sirin bahwa negeri itu adalah al-Ablah. “Tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka. Kemudian keduanya mendapatkan di negeri itu dinding rumah yang roboh. “ Penggunakan kata Iradah (hendak) bagi dinding bukan menurut hakekatnya tetapi sebagai isti’arah (kiasan) saja, karena dalam berbagai perbincangan, kata al-iradah berarti kecenderungan. Sedangkan kata al-inqidhadh berarti roboh.
Dalam firman-Nya, “Maka Khaidhir menegakkan dinding itu.” Maksudnya, Khaidhir kembali menegakkan dinding tersebut. Maka Musa berkata kepadanya, “Jikalau engkau mau, niscaya engkau dapat mengambil upah untuk itu.” Maksudnya, karenanya mereka tidak mau menjamu kita, maka layak kiranya jika engkau tidak bekerja secara Cuma-Cuma untuk mereka. “Khaidhir berkata, “Inilah perpisahan antara diriku dan dirimu.” Maksudnya, karena kamu telah memberikan syarat pada waktu pembunuhan anak kecil bahwa jika kamu bertanya kepadaku tentang sesuatu hal setelah itu, maka aku tidak boleh memperkenankan dirimu bersamaku lagi, dan sekarang inilah perpisahan antara diriku dan dirimu. “Aku akan memberitahukan kepadamu penakwilan,” yakni, penafsiran, “(Tujuan perbuatan-perbuatan) yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.

TAFSIR SURAT AL-KAHFI AYAT 79

            Berikut ini adalah penafsiran tentang apa yang Musa a.s sendiri merasa kesulitan menghadapinya dan yang ia ingkari lahiriyah perbuatan-perbuatan tersebut. Dan Allah SWT telah menampakkan kepada Khaidhir, hikmah yang tersempunyi di balik semuanya itu.
Khaidhir berkata bahwa perahu itu sengaja ia lubangi dengan tujuan merusaknya, karena raja zhalim akan berjalan melewati perahu tersebut, “yang mengambil tiap-tap bahtera.” Yakni, perahu yang masih bagus, “Secara tidak benar.” Oleh karena itu, aku ingin merusaknya untuk menghindarkan perahu itu darinya karena dianggap sudah rusak, sehaingga perahu masih tetap dapat dimanfaatkan oleh pemiliknya dari kalangan orang-orang miskin yang mereka tidak mempunyai sesuatu yang dapat dimanfaatkan selain perahu tersebut.[5]

TAFSIR SURAT AL-KAHFI AYAT 80-81

Dalam hadis yang diriwayatkan dari ibnu ‘Abbas, dari Ubay bin ka’ab, dari nabi, dimana beliau bersabda:[6]




Artinnya: “anak yang dibunuh oleh Khidhir itu telah ditetapkan pada hari penetapan sebagai orang kafir”.
            Oleh karena itu, Khidhir berkata: “ maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin dan kami khawatir bahwa ia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran”. Maksudnya, kecintaan kedua orang tuanya akan menjadikan mereka mengikuti kekafiran anak tersebut. Maka hendaklah seseorang ridha terhadap ketetapan Allah, karena sesungguhnya ketetapan Allah bagi seorang mukmin tentang sesuatu yang tidak disukainya itu merupakan suatu hal yang lebih baik baginya daripada ketetapan-Nya mengenai apa yang ia sukai.
            Allah ta’ala berfirman: “ boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu sangat baik bagimu”. ( Q.S al-baqarah ayat 216.
            Ada yang mengatakan, ketika anak yang dibunuh khidjir, ibunya sedang mengandungseorang anak laki-lakimuslim. Demikian yang dikatakan oleh ibnu Juraij.

TAFSIR SURAT AL-KAHFI AYAT 82

Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak muda yang yatim dikota ini, dan dibawahnya ada harta benda simpanan yakni harta yang terpendam berupa emas dan perak bagi mereka berdua, sedangkan ayahnya adalah seorang yang shaleh. Maka dengan keshalehannya itu ia dapat memelihara kedua anaknya.
Maka Rabb menghendakinya agar mereka berdua sampai kepada kedewasaan. Sampai kepada dewasa  dan mengeluarkan simpanaannya itu, sebagai rahmad dari Rabbmu. Lafad rahmatan maf’ullah , sedangkan ‘amilin adalah lafad araada( dan bukanlah aku melakukannya itu) yaitu semua hal yang telah disebutkan tadi, yakni melubangi perahu, membunuh anak muda dan mendirikan tembok yang hamper roboh ( menurut kemampuanku sendiri) berdasarkan keinginanku sendiri, tetapi hal itu kulakukan berdasarkan perintah dan ilham dari Allah.  Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar kepadanya.


BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN

TAFSIR SURAT AL-KAHFI AYAT 60-82
Kelompok ayat-ayat ini menguraikan suatu kasih Nabi Musa as.  Dengan salah seorang hamba Allah yang saleh. Kisah itu tidak akan disinggung dari dekat atau jauh kecuali dalam surah ini. Banyak juga hal yang disebut oleh kumpulan ayat-ayat ini yang tidak secara jelas diuraikan. misalnya siapa hamba Allah yang saleh itu, dimana pertemuan mereka dan kapan terjadinya. Kendati demikianlah banyak sekali pelajaran yang dapatditarik dari ayat-ayat ini.
Dalam ayat 62 Allah menceritakan bahwa keduanya terus melanjutkan perjalanannya siang dan malam. Dalam ayat 63 ini yusa’ menjawab secara jujur, bahwa ikan itu telah hidup kembali dan menggelepar-gelepar, lalu masuk ke laut dengan cara yang sangat mengherankan, ketika mereka beristirahat dan berlindung di batu tempat bertemunya dua laut. Ayat 64 ininabi Musa menyambutnya dengan gembira seraya berkata: itulah tempat yang kita cari”. Dalam ayat 65 Allah menceritakan bahwa setelah nabi Musa dan Yusa’ menyusuri kembali jalan yang mereka lalui tadi sampailah keduanya pada batu yang pernah mereka jadikan tempat istirahat.
Allah SWT menceritakan tentang ucapan Musa a.s kepada orang alim, yakni Nabi Kaidhir a.s  yang secara khusus diberi ilmu oleh Allah SWT yang tidak diberikan kepada Musa a.s, sebagaimana Dia juga telah menganugerahkan ilmu kepada Musa yang tidak Dia berikan kepada Khaidir.
Allah berfirman seraya menceritakan tentang Musa dan sahabtnya, yakni khidhir, bahwa keduanya bertolak bersama. Setelah sepakat dan saling bersahabat, Khidri sendiri telah memberikan syarat kepada Musa untuk tidak menanyakan sesuatu hal yang ia tolak sehingga ( Khidhir) sendiri yang mulai menjelaskannya, maka keduanya pun menaiki kapal. Didepan telak kami kemukakan pembahasan tentang bagaimana keduanya menaik perahu.
Maka Rabb menghendakinya agar mereka berdua sampai kepada kedewasaan. Sampai kepada dewasa  dan mengeluarkan simpanaannya itu, sebagai rahmad dari Rabbmu. Lafad rahmatan maf’ullah , sedangkan ‘amilin adalah lafad araada( dan bukanlah aku melakukannya itu) yaitu semua hal yang telah disebutkan tadi, yakni melubangi perahu, membunuh anak muda dan mendirikan tembok yang hamper roboh ( menurut kemampuanku sendiri) berdasarkan keinginanku sendiri, tetapi hal itu kulakukan berdasarkan perintah dan ilham dari Allah.  Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar kepadanya.

DAFTAR PUSTAKA

Shihab  M.Quraish. Tafsir Al-MisbahJakarta : Lentera Hati2002
‘Abdullah bin Muhammad Alu SyaikhTafsit Ibni Katsir Jilid 4 Jakarta: Pustaka
            Imam Asy-Syafi’I. 2009
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al-SyeikhTafsir Ibnu
            Katsir Jilid 5 Bogor: Pustaka Imam Syeikh .2003



[1] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hal. 90-91.
[2] Abdullah bin Muhammad, Tafsir Ibnu Kattir jilid 5, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2003), hal. 281-286.
[3] ‘Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh, Tafsit Ibni Katsir Jilid 4, ( Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2009) hal. 56
[4] Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh, Tafsit Ibni Katsir Jilid 4, … hal 57-58
[5] Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al-Syeikh, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 5, (Bogor) Imam Asy-Syafi’i, 2003, hlm 282-286.
[6] Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh, Tafsit Ibni Katsir Jilid 4, … hal  59-60

TAFSIR MAUDHUI

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diwahyukan kepada manusia dengan menggunakan bahasa yang dipahami oleh manusia. Sosok manusia pilihan yang menjadi sasaran pewahyuan kalam Allah itu adalah Nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad berupaya menjelaskan kepada umatnya. Upaya ini merupakan konsekuensi dari tugas beliau sebagai Rasul Allah.
Sepeninggal Nabi, umat Islam pada dasarnya mengalami kesulitan dalam memahami kandungan isi kitab suci al-Qur’an. Keadaan umat sudah heterogen. Akibatnya, al-Qur’an yang berfungsi sebagai kitab suci dan sumber petunjuk bagi mereka itu tidak dipahami. Disinilah perlu adanya penafsiran baru terhadap al-Qur’an, yaitu tafsir maudhu’i.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa itu Tafsir Maudhu’i.
2.      Bagaimana Cara Menggunakan Metode Tafsir Maudhu’i.
3.      Bagaimana Contoh Metode Tafsir Maudhu’i.
4.      Apa Keistimewaan Metode Tafsir Maudhu’i.
5.      Siapa Saja Tokoh yang Pernag Menerapkan Metode Maudhu’i.
6.      Bagaimana Perkembangan Tafsir Maudhu’i.
7.      Bagaimana Bentuk Terbaru dari Metode Tafsir Maudhu’i.

C.    Tujuan Penulisan

1.      Mengetahu Pengertian Tafsir Maudhu’i.
2.      Mengetahui Cara Menggunakan Metode Tafsir Maudhu’i.
3.      Mengetahui Contoh Metode Tafsir Maudhu’i.
4.      Mengetahui Keistimewaan Metode Tafsir Maudhu’i.
5.      Mengetahui Tokoh-tokoh yang Pernah Menerapkan Metode Maudhu’i
6.      Mengetahui Perkembangan Metode Tafsir Maudhu’i.
7.      Mengetahui Bentuk Terbaru dari Tafsir Maudhu’i.






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tafsir Maudhu’i

Tafsir Al-Maudhu’i ialah tafsir yang membahas tentang masalah-masalah Al-Qur’an al-Karim yang (memiliki) kesatuan makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya yang bisa juga disebut dengan metode tauhidi (kasatuan) untuk kemudian melakukan penalaran (analisis) terhadap isi kandungannya  menurut cara-cara tertentu dan berdasarkan syarat-syarat tertentu untuk menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan unsur-unsur serta menghubungkannya antara yang satu dengan yang lain dengan korelasi yang bersifat komfrehensif.[1]
Metode maudhu’i dapat dikelompokkan kepada dua macam; berdasarkan surat al-Qur’an dan berdasarkan tema pembicaraan al-Qur’an. Tafsir yang menempuh metode maudhu’i cara pertama yang berangkat dari anggapan bahwa setiap surat al-Qur’an memiliki satu kesatuan yang utuh. Tafsir al-Qur’an yang menempuh metode maudhu’i cara kedua dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap satu- persatu masalah yang disinggung oleh al-Qur’an dalam berbagai ayat-ayatnya.[2]
Metode ini adalah metode tafsir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan cara tematik dengan membahas ayat-ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan tema dan judul yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, penafsir yang menggunakan metode ini akan meneliti ayat-ayat al-Qur’an dan melakukan analisis berdasar ilmu yang benar, yang digunakan oleh pembahas untuk menjelaskan pokok permasalahan  sehingga ia dapat memahami permasalahan tersebut dengan mudah dan betul-betul menguasainya, sehingga memungkinkan untuk memahami maksud yang terdalam dan dapat menolak segala krtik.[3]
Metode ini adalah suatu metode yang mengarahkan pandangan kepada satu tema tertentu, lalu mencari pandangan al-Qur’an tentang tema tersebut dengan jalan menghimpun semua ayat yang membicarakannya, menganalisis, dan memahaminya ayat demi ayat, lalu menghimpunnya dalam benak ayat yang bersifat masih umum dikaitkan dengan yang khusus, yang muthlak digandengkan denga yang muqayyad, dan lain-lain, sambil memperkaya uraian dengan hadits-hadits yang berkaitan untuk kemudian disimpulkan dalam satu tulisan pandangan menyeluruh dan tuntas menyangkut tema yang dibahas itu.[4]
Tafsir tematik bertujuan menyelesaikan permasalahan yang diangkat secara tuntas sehingga diproleh suatu kesimpulan yang dapat dijadikan pegangan; baik bagi mufassir sendiri, maupun bagi pembaca dan pendengar bahkan oleh umat secara keseluruhan. Karena tujuannya untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang sedang dialami oleh umat itu, maka diabad modern ini para ulama lebih gandrung menggunakan metode tematik dari pada metode-metode yang lain.[5]
Metode maudhu’i (tematik) dalam format dan prosedur belum lama lahir. Orang yang pertama kali memperkenalkan metode ini adalah Al-Jalil Ahmad As-Sa’id Al-Kumi, ketua jurusan Tafsir di Universitas Al-Azhar. Langkah-langkahnya kemudian diikuti oleh teman-temannya dan mahasiswa-mahasiswanya.[6]
Dua langkah pokok dalam proses penafsiran yang dikemukakan oleh Farmawi dalam penafsiran secara maudhu’i.
1.      Mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan suatu maudhu’ tertentu dengan memperhatikan masa dan sebab turunnya.
2.      Mempelajari ayat-ayat tersebut secara cermat dengan memperhatikan nisbat (korelasi) satu dengan yang lainnya dalam peranannya untuk menunjuk pada permasalahan yang dibicarakan.

B.     langkah-langkah Menggunakan Metode Maudhu’i

M. Quraisy Syihab dalam tulisannya Tafsir Al-Qur’an Masa Kini mengemukakan 8 langkah yang harus ditempuh:
1.      Menetapkan masalah atau judul;
2.      Menghimpun atau menetapkan ayat-ayat yang menyangkut masalah tersebut;
3.      Menyusun ayat-ayat tadi sesuai dengan masa turunnya dengan memisahkan priode Mekkah dan Madinah;
4.      Memahami korelasi ayat tersebut dalam surat masing-masing;
5.      Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang menyangkut masalah tersebut;
6.      Menyusun pembahasan salah satu kerangka yang sempurna;
7.      Studi tentang ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan ‘amm dan khas (umum dan khusus) muthlaq dan muqayyad (yang bersyarat dan tanpa bersyarat) atau yang kelihatannya bertentangan, sehingga semuanya bertemu dalam suatu muara tanpa perbedaan atau pemaksaan dalam pemberian arti;
8.      Menyusun kesimpulan-kesimpulan yang menggambarkan jawaban Al-Qur’an terhadap masalah yang dibahas tersebut.[7]

Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang penafsir yang menggunakan metode ini ialah;
1.      Untuk sampai pada kesimpulan yang lebih mendekati kebenaran, hendaklah menyadari bahwa tidak bermaksud menafsirkan Al-Qur’an dalam pengertian biasa; tugas utamanya ialah mencari dan menemukan hubungan antara ayat-ayat untuk mendapatkan kesimpulan sesuai dengan dilalah ayat tersebut.
2.      Penafsir harus menyadari bahwa ia hanya memiliki satu tujuan, dimana ia tidak boleh menyimpang dari tujuan tersebut. Semua aspek dari permasalah  itu haris dibahas dan semua rahasianya harus digali. Jika tidak demikian, ia tidak akan merasakan kedalaman (balaghah) Al-Qur’an, yaitu keindahan dan hubungan yang harmonis diantara susunan ayat-ayat dan bagian-bagian dari Al-Qur’an.
3.      Memahami bahwa Al-Qur’an dalam menetapkan hukumnya secara berangsur-angsur. Dengan memperhatikan sebab diturunkannya ayat disamping persyaratan lain, maka seorang penafsir akan terhindar dari kekeliruan, dibandingkan jika ia hanya melihat lafazhnya saja.
4.      Penafsir hendaknya mengikuti aturan-aturan (qa’idah) dan langkah-langkah yang sesuai dengan petunjuk metode ini, agar perumusan permasalahan nantinya tidak kabur.[8]

C.    Contoh Tafsir Maudhu’i

Contoh metode maudhu’i (tematik) adalah seperti penyelesaian kasus riba yang dilakukan ole Ali al-Shabuni dalam “Tafsir Ayat Ahkam” yang secara hierarki menentukan urutan ayat. Pertama QS. ar-Ruum ayat 39 yang menjelaskan tentang kebencian Allah kepada riba walaupun belum diharamkan.
Artinya:”dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah.” (QS. ar-Ruum: 39)

Kedua QS. al-Baqarah ayat 278 yang menjelaskan keharaman riba secara mutlak.
Artinya:278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Dalam Pembahasan Ri’ayat Al-yatim fi Al-Qur’an Al-Karim Al-Farmawi mengambil beberapa langkah-langkah metodologi sebagai berikut:
1.      mengumpulkan ayat-ayat yang berhubungan dengan anak yatim sekaligus mengelompokkan ayat-ayat tersebut kedalam makkiyat dan madaniyat. Makiyat sebanyak 5 ayat dan Madaniyat 17 ayat (termasuk al-Ma’un);
2.      bertitik tolak dari ayat-ayat yang terkumpul itu, Al-Farmawi menetapkan sub-subbahasan. Pembahasan tentang pemeliharaan anak yatim berdasarkan ayat-ayat Makiyyat dipisahkan menjadi dua bagian, yaitu:
1)      pemeliharaan diri/fisik anak yatim, membahas 4 ayat dan
2)      masalah harta anak yatim
Adapun pembahasan anak yatim berdasarkan ayat-ayat Madaniyat, terbagi kedalam tiga subbahasan, yaitu:
1)      pentingnya pembinaan akhlak dan pendidikan anak yatim menurut Al-Qur’an, membahas 4 ayat;
2)      pemeliharaan harta anak yatim, 9 ayat;
3)      perintah berinfak kepada anak yatim, 4 ayat.
3.      pada tahap pembahasan, Al-Farmawi mempertimbangkan masa turunnya surat dan urutan ayat-ayat jika kebetulan terdapat beberapa ayat dalam satu surat yang sedang dibahas.
Munasabah (korelasi) antara ayat dengan ayat disajikan dalam suatu kaitan yang rasional, historis, dan semangat pedagogis. Hal tersebut menyebabkan uraian terasa hidup dan mengesankan. Misalnya sewaktu mengikuti penyajian yang cukup menarik tentang hubungan tiga ayat makkiyah yaitu ayat ke-6 surat Ad-Dhuha, yaitu:    
Artinya:  Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?
Suatu pernyataan kepada Nabi yang cukup menggugah bila dihubungkan dengan latar belakang dirinya:  
Artinya: “Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu Berlaku sewenang-wenang.
(QS. Ad-Dhuha: 9)
Suatu sikap yang dituntut untuk menghormati atau menyayangi anak yatim.

Memberikan penjelasan mengenai Firman Allah swt. dalam QS. an-Nisa’ ayat 5:
Yang Artinya: “dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, hartaY (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”

Al-Farmawi menerangkan bahwa pemakaian kata “Fi ha” bukan “minha” pada ayat itu menunjukkan bahwa pemeliharaan yatim hendaklah membiayai kehidupan anak yatim asuhannya yang bukan diambil dari harta asal, tetapi dari hasil harta asal anak yatim yang diamanahkan kepadanya. [10]





D.    Keistimewaan Tafsir Madhu’i

1.      Dengan tafsir madhu’i, hidayah Al-Qur’an dapat digali secara lebih mudah dan hasilnya ialah permasalahan hidup prakstis dapat dipecahkan dengan baik. Oleh karena itu, tafsir memberikan jawaban secara langsung terhadap sementara dugaan bahwa Al-Qur’an hanya berisi teori-teori spekulatif tanpa menyentuh kehidupan nyata, baik kehidupan pribadi maupun kehidupan masyarakat.
2.      Dapat menumbuhkan kembali rasa bangga umat Islam, setelah sebagian mereka sempat terpengarauh oleh aturan-aturan produk manusia, bahkan kini merasa bahwa Al-Qur’an dapat menjawab tantangan hidup yang senantiasa berubah.
3.      Merupakan jalan terpendek dan termudah untuk memproleh hidayah Al-Qur’an dibanding tafsir tahlili, sebab tafsir tahlili tidak menghimpun ayat-ayat yang letaknya terpencar-pencar didalam Al-Qur’an  dalam satu maudhu’i.
4.      Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an sebagaimana diutamakan oleh tafsir maudhu’i adalah cara terbaik yang telah disepakati.
5.      Kemungkinan yang lebih terbuka ntuk mengetahui satu permasalahan secara lebih sempurna dan mendalam.[11]

E.     Tokoh Tafsir Maudhu’i

1.      Abbas Mahmud Al-Aqqad : Al-Mar’ah fi Al-Qur’an
2.      Abu Al-A’la Al-Maududi   : Ar-Riba fi Al-Qur’an
3.      Muhammad Abu Zahrah     : Al-‘Aqidat min Al-Qur’an
4.      Muhammad Al-Samahi      : Al-Ulubiyat wa Ar-risalah fi Al-Qur’an
5.      Dr. Ibrahim Muhnan           : Al-Insan fi Al-Qur’an Al-Karim Muqawwamat Al-Insaniyyat fi Al-Qur’an.
6.      Dr. Ahmad Kamal Mahdi   : Ayat Al-Qasam fi Al-Qur’an Al-Karim.
7.      Syaikh Mahmud Syaltut     : Al-Washaya Al-‘Asyr
8.      Abd. Al-Hay Farmawi        : Washaya Surat Al-Isra’.[12]

F.     Kelebihan dan Kelemahan

Metode tafsir Maudhu’i mempunyai beberapa kelebihan. Yang terpenting ialah bahwa metode ini penafsirannya bersifat luas, mendalam, tuntas sekaligus dinamis. Adapun kelemahannya antara lain sama dengan tafsir al-muqarran, yakni tidak dapat menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara keseluruhan seperti yang dapat dilakukan dengan metode tahlili dan ijmali. [13] Beberapa keistimewaannya yang lain yaitu:

a.       Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadits Nabi.
b.      Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami. Hal ini disebabkan karena ia membawa pembaca kepada petunjuk al-Qur’an tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu. Dengan metode ini juga dapat dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh al-Qur’an bukan bersifat teoritis semata-mata dan atau tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu ia dapat membawa kita kepada pendapat al-Qur’an tentang berbagai problem hidup disertai dengan jawaban-jawabannya.
c.       Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam al-Qur’an. Ia sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilm pengetahuan dan masyarakat.[14]


G.    Perkembagan Metode Tematik (Maudhu’i)

Metode ini sudah lahir sejak Nabi Muhammad saw., dimana beliau sering kali menafsirkan ayat dengan ayat yang lain, seperti ketika menjelaskan arti Zhulum dalam QS. al-An’am ayat 82:
Yang Artinya: “ orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.

Nabi menjelaskan bahwa zhulum yang dimaksud adalah syirik sambil membaca firman Allah dalam QS. Lukman ayat 13.  
Yang rtinya: “ dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Benih penafsiran ayat dengan ayat ini tumbuh subur dan berkembang sehingga lahir kitab-kitab tafsir yang secara khusus mengarah kepada tafsir ayat dengan ayat. Tafsir Ath-Thabary (839-923 M) dinilai sebagai kitab tafsir pertama dalam bidang ini, lalu lahir lagi kitab-kitab tafsir yang tidak lagi secara khusus bercorak penafsiran ayat dengan ayat, tetapi lebih fokus pada penafsiran ayat-ayat bertema hukum, seperti misalnya Tafsir Ahkam Al-Qur’an karya Abu Bakar Ahmad bin Ali Ar-Razy al-Jashshas (305-370 H), Tafsir al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an karya Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurthuby (w. 671 H), dan lain-lain.[15]

H.    Bentuk Terbaru Metode Maudhu’i

Setelah Syekh Ahmad Sayyid al-Kumy mencetuskan metode tafsir ini, bermunculanlah beberapa kitab tafsir yang menggunakan metode ini, antara lain, Al-Futuhat Ar-Rahbaniyah fi At-Tafsir Al-Maudhu’i li al-Ayat al-Qur’aniyah, karya Syekh al-Husaini Abu Farhah, dan lahir juga buku-buku yang menjelaskan metode itu, antara lain, Al-Bidayah fi at-Tafsir al-Maudhu’i karya Abdul Hayyi Al-Farmawi.[16]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Tafsir maudhu’i sebagai metode terbaru ternyata lebih ampuh mengantarkan kita untuk mendapatkan resep yang diperlukan bagi masalah-masalah praktis dan hidup ditengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, hasil tafsir jenis ini, memberikan kemungkinan kepada kita untuk menjawab tantangan kehidupan yang selalu berubah dan berkembang.
Tafsir tematik bertujuan menyelesaikan permasalahan yang diangkat secara tuntas sehingga diproleh suatu kesimpulan yang dapat dijadikan pegangan; baik bagi mufassir sendiri, maupun bagi pembaca dan pendengar bahkan oleh umat secara keseluruhan. Karena tujuannya untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang sedang dialami oleh umat itulah, maka diabad modern ini para ulama lebih gandrung menggunakan metode tematik dari pada metode-metode yang lain




DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihan. Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2005).
Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).
Hasan, Hamka. Tafsir Gender: Studi Perbadingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir, (Jakarta: Badan Litbang & Diklat Departemen Agama RI, 2009).           
Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Kencana, 2005).
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat  Al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2013).
-----------Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994).
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013).
Syafe’i, Rachmat. Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006).
Zaini, Muhammad. ‘Ulumul Qur’an Suatu Pengantar, (Banda Aceh, Yayasan PeNA, 2014).




[1] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 391
[2] Muhammad Zaini, ‘Ulumul Qur’an Suatu Pengantar, (Banda Aceh, Yayasan PeNA, 2014), hlm. 126
[3] Hamka Hasan, Tafsir Gender: Studi Perbadingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir, (Jakarta: Badan Litbang & Diklat Departemen Agama RI, 2009), hlm. 111
[4] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat  Al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 385
[5] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 383
[6] Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm. 161
[7] Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 295
[8] Ibid, hlm. 296
[9] Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 116-117
[10] Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir,....hlm. 299
[11] Ibid, hlm. 302
4. ibid, hlm. 302
[13] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an,........hlm. 394
[14] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 117
[15] Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami  Ayat-ayat Al-Qur’an,.....hlm. 387
[16] Ibid, 389