BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Secara harfiah
kata mu’tazilah berasal dari I’tazala beraati terpisah atau memisah kan diri,
yang berarti juga menjauh atau menjauh kan diri, istilah mu’tazilah menunjuk
kan dua golongan.
Golongan pertama(selanjutnya disebut mu’tazilah I)muncul sebagai
respon politik murni, golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik,
khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali Bin
Abi Thalib dan lawan-lawan nya. Terutama mua’wiayah, Aisyah dan Abdullah Bin
Zubir, menurut petulis, golongan ini yang mulanya disebut kaum mu’tazilah
karena mereka menjauh kan diri dari pertikaan masalah khalifah, kelompok ini
bersifat netral politik tampa stigma telogis seperti yang ada pada kaum
mu’tazilah yang disebut dikemudian hari.
Golongan kedua (selanjutnya disebut mu’tazilah II ) muncul sebagai
respon teologis yang berkembang di kalangan khawarij dari murjia’h akibat
adanya peristiwa tahkim, golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat
dengan golongan khawarij dan murjia’h tentang pemberian status kafir kepada orang
berbuat dosa besar, mu’tazikah II inilah inilah yang di kaji dalam bab ini yang
sejarah kemunculannya memiliki bayak versi. Beberapa versi dari tentang
pemberian nama mu’tazilah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah adanya ajaran Mu’tazilah?
2.
Apa yang menyebabkan munculnya ajaran Mu’tazilah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
ALIRAN MU’TAZILAH
Mu’tazilah yang berprinsip keadilan
tuhan mengatakan bahwa tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat zalim dengan
memaksa kan kehendak kepada hambanya
kemudian mengharuskan hamba nya itu kemudian mengharuskan hambanya itu
untuk menanggung akibat perbuatanya. Dengan demikian, manusia mempunyai
kebebasan untuk melakukan perbuatannya tampa ada paksaan sedikit pun dari
tuhan. Dengan kebebasan itulah, manusia dapat bertanggung jawab atas segala
perbuatan nya. Tidak lah adil jika tuhan memberikan pahala atau siksaan kepada
hamba nya tampa mengiringinya dengan memberikan kebebasan terlebih dahulu.
Secara lebih jelas, aliran
mu’tazilah mengatakan bahwa kekuasaan tuhan sebenar nya tidak mutlak lagi.
Ketidak mutlakan kekuasaan tuhan itu di sebabkan oleh kebenasan yang di
berikan tuhan yang di beri kepada
manusia serta adanya hukum alam (sunatullah) yang menurut al-quran tidak pernah
berubah.
Oleh sebab itu, dalam pandangan
mu’tazilah kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan berlaku dalam jalur hukum-hukum
yang tersebar di tengah alam semesta. Itulah sebabnya mu’tazilah mempergunakan
ayat 62 surat al-ahzab(33,) di samping ayat-ayat yang di menjelaskan kebebasan
manusia yang di singgung dalam pembicaraan tentang free will dan predes tination[1].
Kebebasan manusia, yang memang di
berikan tuhan kepadanya. Baru bermakna kalau tuhan membatasi kekuasaan dan
kehendak mutlaknya, demikian pula keadilan tuhan, membuat tuhan sendiri terikat
pada norma-norma keadilan yang bisa di langgar membuat tuhan bersifat tidak
adil atau zalim.
Apabila kita memperhatikan uraian di
atas, jelas sekali bahwa keadilan tuhan menurut konsep mu’tazilah merupakan
titik tolak dalam pemikiranya tentang kehendak mutlak tuhan, keadilah tuhan terletak
pada keharusan adanya tujuan dalam perbuata-perbuatan nya, yaitu kewajiban
berbuat baik dan terbaik bagi mahkluk dan memberi kebebasan kepada manusia
adapun kehendak mutlak nya di batasi oleh keadilan tuhan itu sendiri.[2]
Pertentangan faham kaum mu’tazilah
dengan kaum asy’ariah berkisar sekitar persoalan apakah tuhan mempunyai sifat,
sifat itu mestilah kekal seperti hal nya zat tuhan jika sifat itu kekal, yang
bersifat kekal bukan hanya satu sifat, tetapi bayak . tegasnya,kekalnya
sifat-sifat membawa pada faham bayak yang kekal , ini lanjutan nya membawa pula
kepada faham syiri.
Kaum mu’tazilah mencoba
menyesaikan persoalan ini dengan
mengatakan bahwa tuhan tidak mempunyai sifat, definisi mereka tentang tuhan,
sebagai mana yang telah dijelaskan oleh asy’ariah bersifat negative. Tuhan
tidak mempunyai pengetahuan, kekuasaan, hajat, dan sebagainya ini tidak hidup,
dan sebagainya, tuhan bagi mereka tidak tetap mengetahui, berkuasa, dan
sebagainya tetapi bukan dengan sifat dalam arti sebenar nya.” Artinya tuhan
mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah tuhan itu sendiri”.
B.
SEJARAH ALIRAN MU’TAZILAH
Kaum mu’tazilah adalah golongan yang
membawa persoala-persoalan teologi yang lebih mendalam dan ber sifat filosofis
dari pada persoalan-persoalan yang di bawa oleh kaum khawarij dan murjia’h
dalam pembahasan, mereka bayak mengunakan akal sehinga mereka mendapat nama “kaum
rasional islam “
Berbagai analisa yang di majukan
tentang pemberian nama mu’tazilah kepada mereka, uraian yang biasa disebut
buku-buku ilmu al-kalam berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil Ibnu
‘Ata’ serta teman nya ‘Amr Ibn ‘Ibaid dan Hasan al-Basri di basrah. Wasil
selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang di berikan Hasan al-basri di masjid
basrah. Pada suatu hari datang seorang yang berdosa besar, sebagai mana
diketahui oleh kaum khawarij memandang mereka kafir sedang kan kaum murjiah memandang
mereka mukmin, ketika Hasan al-Basri berfikir Wasil mengeluar kan pendapatnya
sendiri dengan mengatakan : saya berpendapat bahwa orang berdosa besar bukanlah
mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara keduanya ;tidak
mukmin dan tidak kafir.”kemudian ia
berdiri dan menjauh kan duri dari Hasan al-Basri pergi ketempat lain kemesjid;
disana ia mengulangi pendapatnya kembali, atas peristiwa ini Hasan al-Basri
mengatakan :” Wasil menjauh kan diri dari kita (I’tazala’ anna)”. Dengan demikian
ia beserta teman-temannya, kata al-syahrastani, di sebut kaum mu’tazilah.
Menurut al-baghdadi, Wasil dan
temannya ‘Amr Ibn ‘Ubaid Ibn Bab di usir oleh Hasan al-Basri dari majlisnya karna
adanya pertikaian antara mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang berdosa
besar, keduanya menjauh kan diri dari Hasan al- Basri dan mereka serta
pengikut-pengikutnya disebut kaum mu’tazilah karna mereka menjauh kan diri kaum
paham umat islam tentang oaring yang berdosa besar. Menurut mereka menurut mereka yang serupa ini tidak mukmin
dan tidak pula kafir. Demikian keterangan al-Bahgdadi tentang pemberi nama
mu’tazilah kepada golongan ini[3].
Versi lain yang di berikan Tasy
Kurba Zadah, menyebut bahwa qatadah Ibn Da’amah pada suatu hari masuk kemesjid basrah
dan menuju ke majlis ‘Amr ibn ‘Ubaid dan di sangkanya adalah majlis Hasan
al-Basri, setelah ternyatanya baginya bahwa itu bukan majelis Hasan al-Basri ia
berdiri dan meningal kan tempat itu, sambil berkata : “ ini kaum mu’tazilah. “
semenjak itu Tasy Kurba Zuhra, mereka disebut kaum mu’tazilah.
Al-Mas’udi memberikan keterangan
lain lagi, yaitu dengan mempertalikan pemberian nama itu dengan peristiwa
pertikaan paham antara Wasil dan Amr dari satu pihak dan Hasan al- Basri dan
pihak lain. Mereka di sebut kaum mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa
orang dosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara
keduanya menurut versi mereka disebut kaum mu’tazilah karena mereka menbuat orang
yang berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak masuk )golongan mukmin dan kafir[4].
Di samping keterangan-keterangan
klasik ini, ada teori baru yang di majukan oleh Ahmad Amin, nama mu’tazilah
sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Wasil dan Hasan al-Basri dan sebelum
timbul pendapat tentang posisi antara keduanya, kalau itu di pakai sebagai
designatie terhadap golongan orang yang tak mau turut campur dalam
pertikaian-pertikaian politik yang terjadi di masa Usman Ibn Affan dan Ali Ibn
Abi Thalib, mereka menjauh kan diri dari golongan-golongan pertikaian, golongan
yang menjauh kan ini memang dijumpai dalam buku-buku sejarah.
Untuk mengetahui asal usul nama
mu’tazilah itu dengan sebenarnya memang sulit, berbagai pendapat yang di ajukan
ahli-ahli tetapi belum ada kata kesepakatan antara mereka, yang jelas ialah
bahwa nama mu’tazilah sebagai designatie bagi aliran teologi rasional dan
liberal dalam islam timbul sesudah peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri di
basrah dan lama sebelum kejadian tersebut telah terdapat kata I’tazala,
al-mu’tazilah. Tetapi apa hubungan yang terdapat antara mu’tazilah pertama dan
kedua, fakta-fakta yang ada belum dapat memberi kepastian selanjutnya siapa
yang sebenarnya memberi nama mu’tazilah kepada Wasil dan pengikut-pengikutnya
tidak pula jelas, ada yang mengatakan golongan lawanan yang memberi nama itu
kepada mereka, tetapi kalau kita kembali ke ucapan-ucapan mu’tazilah itu
sendiri akan kita jumpa di sana keteranga-keterangan yang dapat memberi
kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang memberi nama itu kepada golongan
mereka; atau mereka setuju dengan nama itu[5] .
Al-qadi Abd Al-jabbar, umpamanya
mengatakan bahwa kata-kata I’tazala yang terdapat dalam Al-quran menjauhkan
arti menjauhi yang salah dan tidak benar dan dengan demikian kata mu’tazilah
mengandung arti pujian, selanjutnya ia menerangkan adanya hadis nabiyang
mengatakan bahwa umat akan terpecalah menjadi 73 golongan dan yang paling patuh
dan terbaik dari seluruhnya ialah golongan mu’tazilah, bahkan menurut Ibn
al-Murtada kaum mu’tazilah sendirilah, dan bukan orang lain yang memberikan
nama itu kepada golongan mereka.
Dengan demikian mereka tidak
memandang nama mu’tazilah itu sebagai nama ejekan. Selain nama mu’tazilah
golongan itu juga dikenal dengan nama-nama lain,mereka sendiri selalu menyebut golongan lain,mereka sendiri
menyebut golongan mereka sebagai Ahl al-Adl dalam arti golongan yang
mempertahankan keadilan tuhan, dan juga Al-Tauhid wa Al- Adl, golongan yang
mempertahan kan keesaan murni dan keadilan tuhan, lawan mereka memakai
nama-nama seperti Al-qadariah, karena mereka, menganut paham free will dan free act; Al-Mua’ttilah, karena mereka berpendapat bahwa
ancaman-ancaman tuhan terhadap orang-orang yang patuh, pasti dan tak boleh
tidak akan menimpa diri mereka.
Dari uraian-uraian di atas dapat
kita ketahui bahwa orang yang pertama membina aliran mu’tazilah adalah Wasil
Ibn Ata’ sebagai dikataka Al-Masu’di, ia adalah, Syaikh al- mu’tazilah wa qadil
muha yaitu kepala dan mu’tazilah yang tertua, ia lahir pada tahun 81H DI
madinahdan meninggal tahun 131H. disana ia belajar pada Abu Ha syim ‘Adullah Ibn Muhammad Ibn al-Hanifah, kemudian
pindah ke barsah kemudian belajar pada Hasan al-Basri.
Ajaran pertama yang dibawa
Wasil tentulah paham mu’tazilah bain
al-manzilatain, posisi di antara dua posisi dalam arti posisi menengah, menurut
ajaran ini, orang yang berdosa besar bukan kafir sebagai disebut kaum khawarij,
dan bukan pula mukmin sebagai dikatakan murjia’h , tetapi fasiq yang menduduki
posisi di antara posisi mukmin dan kafir, kata mukmin dalam pendapat Wasil
merupakan sifat baik dan nama pujian yang tak dapat di berikan kepada fasiq,
dengan dosa besarnya, tetapi predikat kafir tak pula dapat di merikan
kepadanya, karena di balik dosa besar, ia masih mengucapkan syahad dan
mengerjakan perbutan-perbutan baik. Orang serupa ini, kalau meninggal dunia
tampa taubat, akan kekal dalam neraka hanya siksaan yang di teriama kafir,
dengan demikianlah pendapat dan argumen yang di amjukan Wasil sebagai
diterangkan oleh al-syahrastani [6].
Ajaran yang kedua adalah paham
qadariah yang di anjurkan oleh Ma’bad dan Ghailan. Tuhan, kata wasil bersifat
bijaksana dan adil. Ia tak dapat berbuat jahat dan bersifat zalim, tidak
mungkin tuhan menghendaki supaya manusia berbuat hal-hal yang bertentangan
dengan perintahnya dengan demikian
manusia sendirilah sebenarnya yang mewujudkan perbuatannya ini, manusia
mmperoleh balasan. Dan untuk terwujudnya perbuatan-perbuatan baik dan perbuatan
jahatnya, iman dan kufur nya, tidak mungkin tuhan menurun kan perintahnya pada
manusia untuk berbuat sesuatu.
Ajaran Wasil yang ke tiga mengambil
bentuk peniadaan sifat-sifat tuhan dalam arti bahwa apa-apa yang disebut sifat
tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud tersendiri di luar zat
tuhan, tetapi sifat yang merupaka esensi tuhan, ajaran ini,sebagai dikatakan
al-Syahrastani belum matang dalam pemikiran Wasil, tetapi kemudian
disempurnakan oleh pengikut-pengikutnya setelah mereka mempelajari filsafat
yunani.
Di atas telah disebut bahwa kaum
mu’tazilah juga memperbincangkan soal-soal yang ada hubungan nya dengan
politik, Wasil berpendapat bahwa diantara dua golongan yang bertentangan
umpanya Ali dan pengikut-pengikutnya di satu pihak dan mua’wiyah serta
pengiku-pengikutnya dilain pihak, mesti ada yang salah, tetapi pihak mana yang
betul-betul salah dan menjadi fasiq, ia tak tahu dengan kata lain, kesucian
masing-masing pihak telah di ragukannya, dengan demikian ia tak dapat menerima
mereka menjadi saksi keduanya, demikian ajaran yang di tinggal kan Wasil, dua
antara ajan tersebut yaitu posisi menengah dan peniadaan sifat tuhan, kemudian
merupakan bagian integral dari al-Usul
al-Khamsah atau pancasila mu’tazilah, ketiga sila lain nya adalah al-wa’d wa wai’d, janji baik dan ancaman
dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an
al-mungkar,memerintah orang untuk berbuat baik dan melarang orang berbuat jahat
wajib di jalan kan, kalau perlu dengan kekerasan[7].
C.
TOKOH-TOKOH MU’TAZILAH DAN
PEMIKIRANYA
Untuk mengetahui pandangan
mu’tazilah tentang sifat-sifat Allah, berikut ini akan ditemukan pandangan
tokoh-tokoh mu’tazilah diantarannya : An-Nazhzham dan Abu Hudzail. An-Nazhzham
menafikan pengetahuan,kekuasaan,pendengaran, penglihatan,dan sifat-sifat zat
allah yang lain ,ALLAH dalam pendapatnya, senantiasa tahu, hidup,kuasa,mendengar,melihat
dan qadim dengan dirinya sendiri, bukan dengan
pengetahuan,kekuasaan,perikehidupan,pendengaran,penglihatan,dan
qadimnya. Demikian pula sifat-sifat allah lain nya.
An-Naahzhzham mengatakan bahwa jika
di tetap kan bahwa allah itu adalah zat yang tahu, berkuasa, hudup, mendengar,
melihat dan qadim yang di tetapkan sebenarnya adalah zatnya (bukan sifatnya ).
Di nafikan pula darinya kebodohan, kelemahan, kematian, tuli, dan buta.demikian
pula sifat-sifat allah yang lain tatkala ia ditanya “mengapa anda menyebut nama
yang beragam untuk zat allah,” yang tahu dan yang berkuasa,yang hidup, dan
lain-lain “ mengapa anda tidak menyebut zatnya saja, mengapa anda juga
anda menolak pemaknaan “yang” tahu
dengan pemaknaan “yang”berkuasa dan “yang” hidup? Ia menjawab, beragam lawan
sifat-sifat itu yang harus di nafikan darinya, seperti bodoh, lemah, dan mati,
“ namun” , ia tidak menjawab pertanyaan terakhir.
An-anzhzham berpendapat, perkataanku
yang menyebutkan bahwa ALLAH “bersifat
“tahu, berkuasa, mendengar, dan melihat merupakan penamaan ALLAH yang
bersifat positif dan meniadakan lawanya, allah memiliki perikehidupan atau
pendengaran atau penglihatan karena yang disebut allah di dalam Al-Quran
berkenan dengan dirinya hanyalah
pengetahuan dan kekuatan, sedangkan perikehidupan, pendengaran dan penglihatan
tidak pernah di sebut-sebut.[8]
Aliran mu’tazilah yang memberi daya
yang besar kepada akal berpendapat bahwa tuhan tidak dapat dikatakan
mempunyai sifat-sifat jasmani, seperti
yang di ucapkan oleh Al-Jabbar, tentulah tuhan mempunyai ukuran panjang. Lebar
dan dalam, atau tuhan diciptakan sebagai kemestian dari sesuatu yang bersifat
jasmani. Oleh sebab itu,mu’tazilah menafsirkan ayat-ayat yang memberikan kesan
bahwa tuhan bersifat jasmani secara metaforis, dengan kata lain, ayat-ayat
al-quran yang menggab kan bahwa tuhan bersifat jasmani diberi ta’wil oleh
mu’tazilah dengan pengertian yang layak bagi kebesaran dan keangungan allah. Selanjutnya
mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan bersifat immaterial, tidak dapat dilihat
dengan mata kepala karena pertama tuhan tidak mengambil tempat sehingga tidak
dapat dilihat. Dan kedua, bila tuhan dapat dilihat dengan mata kepala itu
berarti tuhan dapat dilihat sekarang di dunia ini, sedangkan kenyataan nya
tidak seorang pun yang dapat melihat tuhan di alam ini, ayat-ayat Al-Quran yang
dijadikan sandaran dalam mendukung pendapat di atas adalah ayat 103 surat
Al-An’am
Mengetahui hakikat al-quran, aliran
mu’tazilah berpendapat bahwa al-quran adalah makhluk sehingga tidak kekal,
mereka berargumen bahwa al-quran itu sendiri tersusun dari kata-kata, dan
kata-kata itu sendiri tersusun dari huruf-huruf, menurut Abd Al-Jabbar, huruf
hamzah umpanya dalam kalimat al-hamd li allah, mengedahui huruf lam dan huruf
lam mendahului huruf ha, demikian pula surat dan ayat pun ada yang terdahulu ada
yang datang kemudian tidaklah dapat dikatakan qadim, ayat-ayat al-quran yang di
pergunakan oleh mu’tazilah sebagai dalil bagi pendapat di atas.
D.
AL-USHUL AL-KHAMSAH ( LIMA AJARAN
DASAR TEOLOGI MU’TAZILAH)
1.
At-Taudid
At-tauhid ( pengesahan tuhan ) merupakan prinsip utama dan intisari
ajaran mu’tazilah teologis dalam islam memegang doktrin ini,namun bagi
mu’tazilah tauhid, memilikiarti spesifik, tuhan harus di sucikan dari segala
sesuatu yang dapat mengurangi atri kemahaesaan nya tuhanlah satu-satunya yang
esa, dan taka da satupun yang menyamahinya oleh karena itu hanya dialah yang
qadim, bila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah jadi taa’ddud al-qudama
(berbilangan zat yang tak berpermulaan ).
Doktrin tauhid mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada
satupun yang dapat menyamai tuhan, begitu pula sebaliknya tuhan tidak serupa
dengan mahkluknya. Tuhan adalah immaterial, oleh karena itu mu’tazilah tidak
dapat diterima oleh akal dan itu adalah mustahel. Maha suci tuhan dari
penyerupaan dengan ciptaannya tegasnya, mu’tazilah menolak antropomorfisme.
2.Al-Adl
Ajaran dasar mu’tazilah yang
kedua adalah al-adl, yang berarti tuhan mahaadil, adil ini merupakan sifat yang
paling gampang untuk menunjuk kan kesempurnaan, karena tuhan maha sempurna, dia
sudah pasti adil, ajaran ini bertujuan untuk menempatkan tuhan benar-benar adil
menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini sesungguhnya diciptakan
untuk kepentingan manusia, tuhan di pandang adil apabila bertindak yang baik
dan terbaik, dan bukan yang tidak baik, begitu juga tuhan itu adil bila tidak
melanggar janjinya dengan begitu tuhan terikat dengan janjinya.[9]
a.
Perbuatan manusia
Manusia menurut mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatanya
sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan tuhan bila secara langsung atau
tidak manusia benar-benar bebas untuk
menentukan pilihan perbuatanya baik atau buruk tuhan hanya menyuruh dan
menghendaki yang baik, bukan yang buruk adapun yang di suruh tuhan pastilah
baik dan yang di larang tuhan tentu buruk, tuhan berlepas diri dari perbuatan
yang buruk.
b.
Perbuatan baik dan buruk
Perbuatan baik dan terbaik maksudnya adalah kewajiban tuhan untuk
berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia, tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya.
Karena akan timbul kesan tuhan penjahat dan peaniaya sesuatu yang tidak layak
bagi tuhan.jika tuhan berlaku jahat kepada seseorang dan berlaku baik kepada
orang lain berarti ia tidak adil.
3.
Al-Wa’d wa al-Waid
Ajaran ketiga ini sangat erat hubungan nya dengan ajaran kedua di
atas Al-Wa’d wa al-Wa’id berarti janji dan ancaman. Tuhan yang maha
adil dan maha bijaksana, tidak akan melanggar janjinya. Perbuatan tuhan terikat
dan dibatasi oleh janjinya sendiri, yaitu memberi pahala surge bagi yang
berbuat baik dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka begitu
pula janji tuhan untuk memberi ampunan pada orang yang bertaubat nasuha pasti
benar adanya, ini sesuai dengan prinsip keadilan jelasnya siapapun berbuat baik
akan di balas dengan kebaikan, siapapun yang berbuat jahat akan di balasnya dengan
siksaan yang sangat pedih.[10]
4.
Al-Manzilah bain al-Manzilatain
Inilah ajaran yang mula-mula
menyebabkan lahirnya mazhab mu’tazilah, ajaran ini terkenal dengan
status orang beriman (mukmin ) yang melakukan dosa besar, seperti tercatat
dalam sejarah, khawarij mengangap orang
tersebut sebagai kafir bahkan
musyrik, sedangkan murjiah berpendapat bahwa orang itu mukmin dan dosanya
sepenuhnya diserahkan pada tuhan, boleh jadi dosanya itu di ampuni tuhan,
adapun pendapat Wasil bin Ata’ (pendiri mazhab mu’tazilah ) menurutnya orang
tersebut berada dalam dua posisi.
Pokok ajaran ini adalah mukmin yang melakukan dosa besar dan belum
taubat bukan lagi mukmin atau kafir, tetapi fasik,izutsu, dengan mengutib Ibn
Hazm, menguraikan kepada mu’tazilah sebagai berikut orang yang melakukan dosa
besar disebut fasik ia bukan mukmin dan bukan juga kafir, menurut pandangan
mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat di katakan sebagai mukmin secara
mutlak, hal ini secara keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada tuhan, tidak
cukup hanya pengakuan dan pembenaran, berdosa besar bukanlah kepatuhan
melainkan kedurhakaan, pelakunya tidak dapat di katakana kafir secara mutlak
karena ia masih percaya kepada tuhan, rasulnya. Dan mengerjakan pekerjaan yang
baik hanya saja kalau ia meninggal sebelum bertaubat maka akan di masukan ke
dalam neraka dan kekal di dalamnya.[11]
5.
Al-Amr bi al-Ma’ruf wa An-Nahy an- Munkar
Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh kebajikan dan melarang
kemunkaran (Al-Mmr bi Al-Ma’ruj wa
An-Nahy an Munkar ). ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran
dan kebaikan, ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang,
pengakuan keimanan harus di buktikan dengan perbuatan baik, di antaranya
menyuruh orang berbuat dan mencegah dari kejahatan.
Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy An-Munkar bukan monopoli konsep
mu’tazilah frase tersebut sering di gunakan di dalam Al-Quran arti asal
al-ma’ruf adalah apa yang di akui dan di terima oleh masyarakat karena
mengandung kebaikan dan kebenaran, lebih spesifik lagi al-ma’ruf adalah apa
yang diterima dan di akui allah, sedangkan al-munkar adalah sebaliknya, yaitu
sesuatu yang dikenal, diterima atau buruk, frase tersebut berarti seruan untuk
berbuat sesuatu sesuai dengan keyakinan sebenar-benarnya serta menahan diri
untuk mencegak timbulnya perbuatan yang bertentangan dengan norma tuhan,.
Perbedaan mazhab mu’tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran
kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaan, menurut mu’tazilah jika memang di
perlukan kekerasan untuk ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut, sejarah pun
telah mencatat kekerasan yang pernah di lakukan nya ketika menyiarkan
ajaran-ajarannya.[12]
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Kaum mu’tazilah terlalu berlebih-lebihan dalam menghormati dan
menggunakan akal, sedangkan akal itu sendiri sering keliru dan salah,
penghormatan terhadap akal telah menyebabkan sebagian mereka berpendapat bahwa
gerakan surga dan neraka akan terhenti, dan menyebab kan surge dan neraka itu
beserta orang-orang yang ada di dalamnya menjadi diam dan tenang
selama-lamanya. Pada saat diam itulah penduduk surga menikmati segala macam
kelezetan dan penduduk neraka.
a.
Merasakan segala macamsiksaan, yang menyebabkan mereka berpendapat
semacam itu ialah bahwa akal telak menganatkan kepadany, bahwa tiap-tiap yang
ada awalnya tentu ada pula akhirnya. Oleh karena surga dan neraka itu ada awalnya .
2.
Islam adalah agama yang mudah dan gampang, akan tetapi kaum
mu’tazilah telah menyebabkan akidah islam yang mudah itu menjadi ruwet dan
berbelit-belit, yaitu dengan memasukkan filsafat ketuhan dan alam, yang tidak
dapat memperjelas kan ajaran-ajaran islam, bahkan membuatnya menjadi kabur.
3.
Kaum mu’tazilah menyalami lautan filsafat untuk mempertahankan
agama islam, akan tetapi bayak di antara mereka itu memakai senjata tersebut untuk
menikam diri sendiri, atau dengan perkataan lain, sebagian mereka tenggelam
dalam lautan filsafat itu, mereka
kehilangan pedoman dan sesat jalan, sampai ada di antara mereka yang menganut
paham reinkarnasi.
4.
Ketika kaum mu’tazilah membahas masaalah kekacauan yang terjadi
pada permulaan islam, maka kebanyakan mereka membolehkan untuk mencela para
sahabat nabi, bahkan mereka telah mencela dan menyerang para sahabat itu dengan
serangan-serangan yang sengit, yang tidak selaras dengan riwayat perjuangan
mereka yang gilang gemilang dalam menyiarkan islam dan mendukung rasul saw.
Bahkan kadang-kadang serang itu membawa orang kepada keragu-ragu dan kefasikan.
5.
Semua faktor tersebut di atas di samping dukungan mereka untuk
menggunakan kekerasan terhadap orang-orang yang tidak menerima pendapat tentang
“Khalqul Quran “telah menyebab kan orang-orang lari dari kaum mu’tazilah dan
menyebabkan kelemahan dan keruntuhan mereka sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rozak, dkk. Ilmu Kalam. Pustaka Setia. Bandung. 2001.
Asy Shahrastani. Al-Milad
Al-Nihal. PT Binailu. Surabaya. 2005.
Harun Nasution. Teologi Islam
(Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan). UI Press. Jakarta . 2002.
Harun Nasution. Teologi
Rasional Mu’tazilah. UI Press. Bambang Bioso. 1987.
Rosihom Anwar. Ilmu Kalam. CV Putra Pustaka Setia.
Bandung.2011.
Salihun A. Nasir . Pemikiran
Kalam (Teologi Islam). Kharisma Putra Utama. 2012.
[1] Abdul Rozak, dkk,. Ilmu Kalam,
Cv Pustaka Setia, Bandung, 2001. Hlm,167.
[2] Ibid.
[3] Harun Nasutian, Teologi Islam
(Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan), UI-Press,Jakarta, 2002, hlm 40
[4] Ibid
[5] Haruna Nasution,Teologi
Rasional Mu’tazilah,UI-Press,Bambang Bioso,Jakarta,1987, hlm 13
[6] Ibid,15
[7] Asy Shahrastani,Al-Milal Wa
AL-Nihal, PT Binailu, Surabaya, 2005, hlm.33
[8] Ibid, hlm 35
[9] Sahilun A.Nasir,Pemikiran
Kalam (Teologo islam ),Kharisma Putra Utama, 2012, hlm 169
[10] Ibid., hlm 173
[11] Ibid, hlm 180
[12] Rosihom Anwar, Ilmu Kalam,CV
Pustaka Setia, Bandung, 2011, hlm 85.
No comments:
Post a Comment