Saturday, December 27, 2014

SEJARAH DAN MUNCULNYA ALIRAN MU'TAZILAH

BAB I
PENDAHULUAN

A.             Latar Belakang

           Secara harfiah kata mu’tazilah berasal dari I’tazala beraati terpisah atau memisah kan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauh kan diri, istilah mu’tazilah menunjuk kan dua golongan.
Golongan pertama(selanjutnya disebut mu’tazilah I)muncul sebagai respon politik murni, golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali Bin Abi Thalib dan lawan-lawan nya. Terutama mua’wiayah, Aisyah dan Abdullah Bin Zubir, menurut petulis, golongan ini yang mulanya disebut kaum mu’tazilah karena mereka menjauh kan diri dari pertikaan masalah khalifah, kelompok ini bersifat netral politik tampa stigma telogis seperti yang ada pada kaum mu’tazilah yang disebut dikemudian hari.
Golongan kedua (selanjutnya disebut mu’tazilah II ) muncul sebagai respon teologis yang berkembang di kalangan khawarij dari murjia’h akibat adanya peristiwa tahkim, golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan khawarij dan murjia’h tentang pemberian status kafir kepada orang berbuat dosa besar, mu’tazikah II inilah inilah yang di kaji dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki bayak versi. Beberapa versi dari tentang pemberian nama mu’tazilah.

B.                 Rumusan Masalah   
1.      Bagaimana sejarah adanya ajaran Mu’tazilah?
2.      Apa yang menyebabkan munculnya ajaran Mu’tazilah?






BAB II
PEMBAHASAN


A.                ALIRAN MU’TAZILAH

Mu’tazilah yang berprinsip keadilan tuhan mengatakan bahwa tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat zalim dengan memaksa kan kehendak kepada hambanya  kemudian mengharuskan hamba nya itu kemudian mengharuskan hambanya itu untuk menanggung akibat perbuatanya. Dengan demikian, manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatannya tampa ada paksaan sedikit pun dari tuhan. Dengan kebebasan itulah, manusia dapat bertanggung jawab atas segala perbuatan nya. Tidak lah adil jika tuhan memberikan pahala atau siksaan kepada hamba nya tampa mengiringinya dengan memberikan kebebasan terlebih dahulu.
Secara lebih jelas, aliran mu’tazilah mengatakan bahwa kekuasaan tuhan sebenar nya tidak mutlak lagi. Ketidak mutlakan kekuasaan tuhan itu di sebabkan oleh kebenasan yang di berikan  tuhan yang di beri kepada manusia serta adanya hukum alam (sunatullah) yang menurut al-quran tidak pernah berubah.
Oleh sebab itu, dalam pandangan mu’tazilah kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan berlaku dalam jalur hukum-hukum yang tersebar di tengah alam semesta. Itulah sebabnya mu’tazilah mempergunakan ayat 62 surat al-ahzab(33,) di samping ayat-ayat yang di menjelaskan kebebasan manusia yang di singgung dalam pembicaraan tentang free will dan predes tination[1].
Kebebasan manusia, yang memang di berikan tuhan kepadanya. Baru bermakna kalau tuhan membatasi kekuasaan dan kehendak mutlaknya, demikian pula keadilan tuhan, membuat tuhan sendiri terikat pada norma-norma keadilan yang bisa di langgar membuat tuhan bersifat tidak adil atau zalim.
Apabila kita memperhatikan uraian di atas, jelas sekali bahwa keadilan tuhan menurut konsep mu’tazilah merupakan titik tolak dalam pemikiranya tentang kehendak mutlak tuhan, keadilah tuhan terletak pada keharusan adanya tujuan dalam perbuata-perbuatan nya, yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi mahkluk dan memberi kebebasan kepada manusia adapun kehendak mutlak nya di batasi oleh keadilan tuhan itu sendiri.[2]
Pertentangan faham kaum mu’tazilah dengan kaum asy’ariah berkisar sekitar persoalan apakah tuhan mempunyai sifat, sifat itu mestilah kekal seperti hal nya zat tuhan jika sifat itu kekal, yang bersifat kekal bukan hanya satu sifat, tetapi bayak . tegasnya,kekalnya sifat-sifat membawa pada faham bayak yang kekal , ini lanjutan nya membawa pula kepada faham syiri.
Kaum mu’tazilah mencoba menyesaikan  persoalan ini dengan mengatakan bahwa tuhan tidak mempunyai sifat, definisi mereka tentang tuhan, sebagai mana yang telah dijelaskan oleh asy’ariah bersifat negative. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, kekuasaan, hajat, dan sebagainya ini tidak hidup, dan sebagainya, tuhan bagi mereka tidak tetap mengetahui, berkuasa, dan sebagainya tetapi bukan dengan sifat dalam arti sebenar nya.” Artinya tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah tuhan itu sendiri”.

B.                  SEJARAH ALIRAN MU’TAZILAH

Kaum mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoala-persoalan teologi yang lebih mendalam dan ber sifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang di bawa oleh kaum khawarij dan murjia’h dalam pembahasan, mereka bayak mengunakan akal sehinga mereka mendapat nama “kaum rasional islam “
Berbagai analisa yang di majukan tentang pemberian nama mu’tazilah kepada mereka, uraian yang biasa disebut buku-buku ilmu al-kalam berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil Ibnu ‘Ata’ serta teman nya ‘Amr Ibn ‘Ibaid dan Hasan al-Basri di basrah. Wasil selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang di berikan Hasan al-basri di masjid basrah. Pada suatu hari datang seorang yang berdosa besar, sebagai mana diketahui oleh kaum khawarij memandang mereka kafir sedang kan kaum murjiah memandang mereka mukmin, ketika Hasan al-Basri berfikir Wasil mengeluar kan pendapatnya sendiri dengan mengatakan : saya berpendapat bahwa orang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara keduanya ;tidak mukmin dan tidak kafir.”kemudian  ia berdiri dan menjauh kan duri dari Hasan al-Basri pergi ketempat lain kemesjid; disana ia mengulangi pendapatnya kembali, atas peristiwa ini Hasan al-Basri mengatakan :” Wasil menjauh kan diri dari kita (I’tazala’ anna)”. Dengan demikian ia beserta teman-temannya, kata al-syahrastani, di sebut kaum mu’tazilah.
Menurut al-baghdadi, Wasil dan temannya ‘Amr Ibn ‘Ubaid Ibn Bab di usir oleh Hasan al-Basri dari majlisnya karna adanya pertikaian antara mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang berdosa besar, keduanya menjauh kan diri dari Hasan al- Basri dan mereka serta pengikut-pengikutnya disebut kaum mu’tazilah karna mereka menjauh kan diri kaum paham umat islam tentang oaring yang berdosa besar. Menurut mereka  menurut mereka yang serupa ini tidak mukmin dan tidak pula kafir. Demikian keterangan al-Bahgdadi tentang pemberi nama mu’tazilah kepada golongan ini[3].
Versi lain yang di berikan Tasy Kurba Zadah, menyebut bahwa qatadah Ibn Da’amah pada suatu hari masuk kemesjid basrah dan menuju ke majlis ‘Amr ibn ‘Ubaid dan di sangkanya adalah majlis Hasan al-Basri, setelah ternyatanya baginya bahwa itu bukan majelis Hasan al-Basri ia berdiri dan meningal kan tempat itu, sambil berkata : “ ini kaum mu’tazilah. “ semenjak itu Tasy Kurba Zuhra, mereka disebut kaum mu’tazilah.
Al-Mas’udi memberikan keterangan lain lagi, yaitu dengan mempertalikan pemberian nama itu dengan peristiwa pertikaan paham antara Wasil dan Amr dari satu pihak dan Hasan al- Basri dan pihak lain. Mereka di sebut kaum mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa orang dosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara keduanya menurut versi mereka disebut kaum mu’tazilah karena mereka menbuat orang yang berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak masuk )golongan mukmin dan kafir[4].
Di samping keterangan-keterangan klasik ini, ada teori baru yang di majukan oleh Ahmad Amin, nama mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Wasil dan Hasan al-Basri dan sebelum timbul pendapat tentang posisi antara keduanya, kalau itu di pakai sebagai designatie terhadap golongan orang yang tak mau turut campur dalam pertikaian-pertikaian politik yang terjadi di masa Usman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib, mereka menjauh kan diri dari golongan-golongan pertikaian, golongan yang menjauh kan ini memang dijumpai dalam buku-buku sejarah.
Untuk mengetahui asal usul nama mu’tazilah itu dengan sebenarnya memang sulit, berbagai pendapat yang di ajukan ahli-ahli tetapi belum ada kata kesepakatan antara mereka, yang jelas ialah bahwa nama mu’tazilah sebagai designatie bagi aliran teologi rasional dan liberal dalam islam timbul sesudah peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri di basrah dan lama sebelum kejadian tersebut telah terdapat kata I’tazala, al-mu’tazilah. Tetapi apa hubungan yang terdapat antara mu’tazilah pertama dan kedua, fakta-fakta yang ada belum dapat memberi kepastian selanjutnya siapa yang sebenarnya memberi nama mu’tazilah kepada Wasil dan pengikut-pengikutnya tidak pula jelas, ada yang mengatakan golongan lawanan yang memberi nama itu kepada mereka, tetapi kalau kita kembali ke ucapan-ucapan mu’tazilah itu sendiri akan kita jumpa di sana keteranga-keterangan yang dapat memberi kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang memberi nama itu kepada golongan mereka; atau mereka setuju dengan nama itu[5] .
Al-qadi Abd Al-jabbar, umpamanya mengatakan bahwa kata-kata I’tazala yang terdapat dalam Al-quran menjauhkan arti menjauhi yang salah dan tidak benar dan dengan demikian kata mu’tazilah mengandung arti pujian, selanjutnya ia menerangkan adanya hadis nabiyang mengatakan bahwa umat akan terpecalah menjadi 73 golongan dan yang paling patuh dan terbaik dari seluruhnya ialah golongan mu’tazilah, bahkan menurut Ibn al-Murtada kaum mu’tazilah sendirilah, dan bukan orang lain yang memberikan nama itu kepada golongan mereka.
Dengan demikian mereka tidak memandang nama mu’tazilah itu sebagai nama ejekan. Selain nama mu’tazilah golongan itu juga dikenal dengan nama-nama lain,mereka sendiri selalu  menyebut golongan lain,mereka sendiri menyebut golongan mereka sebagai Ahl al-Adl dalam arti golongan yang mempertahankan keadilan tuhan, dan juga Al-Tauhid wa Al- Adl, golongan yang mempertahan kan keesaan murni dan keadilan tuhan, lawan mereka memakai nama-nama seperti Al-qadariah, karena mereka, menganut paham free will dan free act; Al-Mua’ttilah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman-ancaman tuhan terhadap orang-orang yang patuh, pasti dan tak boleh tidak akan menimpa diri mereka.
Dari uraian-uraian di atas dapat kita ketahui bahwa orang yang pertama membina aliran mu’tazilah adalah Wasil Ibn Ata’ sebagai dikataka Al-Masu’di, ia adalah, Syaikh al- mu’tazilah wa qadil muha yaitu kepala dan mu’tazilah yang tertua, ia lahir pada tahun 81H DI madinahdan meninggal tahun 131H. disana ia belajar pada Abu Ha  syim ‘Adullah Ibn Muhammad Ibn al-Hanifah, kemudian pindah ke barsah kemudian belajar pada Hasan al-Basri.
Ajaran pertama yang dibawa Wasil  tentulah paham mu’tazilah bain al-manzilatain, posisi di antara dua posisi dalam arti posisi menengah, menurut ajaran ini, orang yang berdosa besar bukan kafir sebagai disebut kaum khawarij, dan bukan pula mukmin sebagai dikatakan murjia’h , tetapi fasiq yang menduduki posisi di antara posisi mukmin dan kafir, kata mukmin dalam pendapat Wasil merupakan sifat baik dan nama pujian yang tak dapat di berikan kepada fasiq, dengan dosa besarnya, tetapi predikat kafir tak pula dapat di merikan kepadanya, karena di balik dosa besar, ia masih mengucapkan syahad dan mengerjakan perbutan-perbutan baik. Orang serupa ini, kalau meninggal dunia tampa taubat, akan kekal dalam neraka hanya siksaan yang di teriama kafir, dengan demikianlah pendapat dan argumen yang di amjukan Wasil sebagai diterangkan oleh al-syahrastani [6].
Ajaran yang kedua adalah paham qadariah yang di anjurkan oleh Ma’bad dan Ghailan. Tuhan, kata wasil bersifat bijaksana dan adil. Ia tak dapat berbuat jahat dan bersifat zalim, tidak mungkin tuhan menghendaki supaya manusia berbuat hal-hal yang bertentangan dengan perintahnya  dengan demikian manusia sendirilah sebenarnya yang mewujudkan perbuatannya ini, manusia mmperoleh balasan. Dan untuk terwujudnya perbuatan-perbuatan baik dan perbuatan jahatnya, iman dan kufur nya, tidak mungkin tuhan menurun kan perintahnya pada manusia untuk berbuat sesuatu.
Ajaran Wasil yang ke tiga mengambil bentuk peniadaan sifat-sifat tuhan dalam arti bahwa apa-apa yang disebut sifat tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud tersendiri di luar zat tuhan, tetapi sifat yang merupaka esensi tuhan, ajaran ini,sebagai dikatakan al-Syahrastani belum matang dalam pemikiran Wasil, tetapi kemudian disempurnakan oleh pengikut-pengikutnya setelah mereka mempelajari filsafat yunani.
Di atas telah disebut bahwa kaum mu’tazilah juga memperbincangkan soal-soal yang ada hubungan nya dengan politik, Wasil berpendapat bahwa diantara dua golongan yang bertentangan umpanya Ali dan pengikut-pengikutnya di satu pihak dan mua’wiyah serta pengiku-pengikutnya dilain pihak, mesti ada yang salah, tetapi pihak mana yang betul-betul salah dan menjadi fasiq, ia tak tahu dengan kata lain, kesucian masing-masing pihak telah di ragukannya, dengan demikian ia tak dapat menerima mereka menjadi saksi keduanya, demikian ajaran yang di tinggal kan Wasil, dua antara ajan tersebut yaitu posisi menengah dan peniadaan sifat tuhan, kemudian merupakan bagian integral dari al-Usul al-Khamsah atau pancasila mu’tazilah, ketiga sila lain nya adalah al-wa’d wa wai’d, janji baik dan ancaman dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-mungkar,memerintah orang untuk berbuat baik dan melarang orang berbuat jahat wajib di jalan kan, kalau perlu dengan kekerasan[7].

C.                TOKOH-TOKOH MU’TAZILAH DAN PEMIKIRANYA

Untuk mengetahui pandangan mu’tazilah tentang sifat-sifat Allah, berikut ini akan ditemukan pandangan tokoh-tokoh mu’tazilah diantarannya : An-Nazhzham dan Abu Hudzail. An-Nazhzham menafikan pengetahuan,kekuasaan,pendengaran, penglihatan,dan sifat-sifat zat allah yang lain ,ALLAH dalam pendapatnya, senantiasa tahu, hidup,kuasa,mendengar,melihat dan qadim dengan dirinya sendiri, bukan dengan  pengetahuan,kekuasaan,perikehidupan,pendengaran,penglihatan,dan qadimnya. Demikian pula sifat-sifat allah lain nya.
An-Naahzhzham mengatakan bahwa jika di tetap kan bahwa allah itu adalah zat yang tahu, berkuasa, hudup, mendengar, melihat dan qadim yang di tetapkan sebenarnya adalah zatnya (bukan sifatnya ). Di nafikan pula darinya kebodohan, kelemahan, kematian, tuli, dan buta.demikian pula sifat-sifat allah yang lain tatkala ia ditanya “mengapa anda menyebut nama yang beragam untuk zat allah,” yang tahu dan yang berkuasa,yang hidup, dan lain-lain “ mengapa anda tidak menyebut zatnya saja, mengapa anda juga anda  menolak pemaknaan “yang” tahu dengan pemaknaan “yang”berkuasa dan “yang” hidup? Ia menjawab, beragam lawan sifat-sifat itu yang harus di nafikan darinya, seperti bodoh, lemah, dan mati, “ namun” , ia tidak menjawab pertanyaan terakhir.
An-anzhzham berpendapat, perkataanku yang menyebutkan bahwa ALLAH “bersifat  “tahu, berkuasa, mendengar, dan melihat merupakan penamaan ALLAH yang bersifat positif dan meniadakan lawanya, allah memiliki perikehidupan atau pendengaran atau penglihatan karena yang disebut allah di dalam Al-Quran berkenan dengan  dirinya hanyalah pengetahuan dan kekuatan, sedangkan perikehidupan, pendengaran dan penglihatan tidak pernah di sebut-sebut.[8]
Aliran mu’tazilah yang memberi daya yang besar kepada akal berpendapat bahwa tuhan tidak dapat dikatakan mempunyai  sifat-sifat jasmani, seperti yang di ucapkan oleh Al-Jabbar, tentulah tuhan mempunyai ukuran panjang. Lebar dan dalam, atau tuhan diciptakan sebagai kemestian dari sesuatu yang bersifat jasmani. Oleh sebab itu,mu’tazilah menafsirkan ayat-ayat yang memberikan kesan bahwa tuhan bersifat jasmani secara metaforis, dengan kata lain, ayat-ayat al-quran yang menggab kan bahwa tuhan bersifat jasmani diberi ta’wil oleh mu’tazilah dengan pengertian yang layak bagi kebesaran dan keangungan allah. Selanjutnya mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan bersifat immaterial, tidak dapat dilihat dengan mata kepala karena pertama tuhan tidak mengambil tempat sehingga tidak dapat dilihat. Dan kedua, bila tuhan dapat dilihat dengan mata kepala itu berarti tuhan dapat dilihat sekarang di dunia ini, sedangkan kenyataan nya tidak seorang pun yang dapat melihat tuhan di alam ini, ayat-ayat Al-Quran yang dijadikan sandaran dalam mendukung pendapat di atas adalah ayat 103 surat Al-An’am
Mengetahui hakikat al-quran, aliran mu’tazilah berpendapat bahwa al-quran adalah makhluk sehingga tidak kekal, mereka berargumen bahwa al-quran itu sendiri tersusun dari kata-kata, dan kata-kata itu sendiri tersusun dari huruf-huruf, menurut Abd Al-Jabbar, huruf hamzah umpanya dalam kalimat al-hamd li allah, mengedahui huruf lam dan huruf lam mendahului huruf ha, demikian pula surat dan ayat pun ada yang terdahulu ada yang datang kemudian tidaklah dapat dikatakan qadim, ayat-ayat al-quran yang di pergunakan oleh mu’tazilah sebagai dalil bagi pendapat di atas.

D.                AL-USHUL AL-KHAMSAH ( LIMA AJARAN DASAR TEOLOGI MU’TAZILAH)

1.               At-Taudid
At-tauhid ( pengesahan tuhan ) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran mu’tazilah teologis dalam islam memegang doktrin ini,namun bagi mu’tazilah tauhid, memilikiarti spesifik, tuhan harus di sucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi atri kemahaesaan nya tuhanlah satu-satunya yang esa, dan taka da satupun yang menyamahinya oleh karena itu hanya dialah yang qadim, bila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah jadi taa’ddud al-qudama (berbilangan zat yang tak berpermulaan ).
Doktrin tauhid mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satupun yang dapat menyamai tuhan, begitu pula sebaliknya tuhan tidak serupa dengan mahkluknya. Tuhan adalah immaterial, oleh karena itu mu’tazilah tidak dapat diterima oleh akal dan itu adalah mustahel. Maha suci tuhan dari penyerupaan dengan ciptaannya tegasnya, mu’tazilah menolak antropomorfisme.

2.Al-Adl
 Ajaran dasar mu’tazilah yang kedua adalah al-adl, yang berarti tuhan mahaadil, adil ini merupakan sifat yang paling gampang untuk menunjuk kan kesempurnaan, karena tuhan maha sempurna, dia sudah pasti adil, ajaran ini bertujuan untuk menempatkan tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan manusia, tuhan di pandang adil apabila bertindak yang baik dan terbaik, dan bukan yang tidak baik, begitu juga tuhan itu adil bila tidak melanggar janjinya dengan begitu tuhan terikat dengan janjinya.[9]

a.                   Perbuatan manusia
Manusia menurut mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatanya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan tuhan bila secara langsung atau tidak  manusia benar-benar bebas untuk menentukan pilihan perbuatanya baik atau buruk tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk adapun yang di suruh tuhan pastilah baik dan yang di larang tuhan tentu buruk, tuhan berlepas diri dari perbuatan yang buruk.

b.                  Perbuatan baik dan buruk
Perbuatan baik dan terbaik maksudnya adalah kewajiban tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia, tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya. Karena akan timbul kesan tuhan penjahat dan peaniaya sesuatu yang tidak layak bagi tuhan.jika tuhan berlaku jahat kepada seseorang dan berlaku baik kepada orang lain berarti ia tidak adil.

3.                  Al-Wa’d wa al-Waid
Ajaran ketiga ini sangat erat hubungan nya dengan ajaran kedua di atas Al-Wa’d wa al-Wa’id  berarti janji dan ancaman. Tuhan yang maha adil dan maha bijaksana, tidak akan melanggar janjinya. Perbuatan tuhan terikat dan dibatasi oleh janjinya sendiri, yaitu memberi pahala surge bagi yang berbuat baik dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka begitu pula janji tuhan untuk memberi ampunan pada orang yang bertaubat nasuha pasti benar adanya, ini sesuai dengan prinsip keadilan jelasnya siapapun berbuat baik akan di balas dengan kebaikan, siapapun yang berbuat jahat akan di balasnya dengan siksaan yang sangat pedih.[10]

4.                  Al-Manzilah bain al-Manzilatain
Inilah ajaran yang mula-mula  menyebabkan lahirnya mazhab mu’tazilah, ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin ) yang melakukan dosa besar, seperti tercatat dalam sejarah, khawarij mengangap orang  tersebut sebagai  kafir bahkan musyrik, sedangkan murjiah berpendapat bahwa orang itu mukmin dan dosanya sepenuhnya diserahkan pada tuhan, boleh jadi dosanya itu di ampuni tuhan, adapun pendapat Wasil bin Ata’ (pendiri mazhab mu’tazilah ) menurutnya orang tersebut berada dalam dua posisi.
Pokok ajaran ini adalah mukmin yang melakukan dosa besar dan belum taubat bukan lagi mukmin atau kafir, tetapi fasik,izutsu, dengan mengutib Ibn Hazm, menguraikan kepada mu’tazilah sebagai berikut orang yang melakukan dosa besar disebut fasik ia bukan mukmin dan bukan juga kafir, menurut pandangan mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat di katakan sebagai mukmin secara mutlak, hal ini secara keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada tuhan, tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran, berdosa besar bukanlah kepatuhan melainkan kedurhakaan, pelakunya tidak dapat di katakana kafir secara mutlak karena ia masih percaya kepada tuhan, rasulnya. Dan mengerjakan pekerjaan yang baik hanya saja kalau ia meninggal sebelum bertaubat maka akan di masukan ke dalam neraka dan kekal di dalamnya.[11]

5.                  Al-Amr bi al-Ma’ruf wa An-Nahy an- Munkar
Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh kebajikan dan melarang kemunkaran (Al-Mmr bi Al-Ma’ruj wa An-Nahy an Munkar ). ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan, ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang, pengakuan keimanan harus di buktikan dengan perbuatan baik, di antaranya menyuruh orang berbuat dan mencegah dari kejahatan.
Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy An-Munkar bukan monopoli konsep mu’tazilah frase tersebut sering di gunakan di dalam Al-Quran arti asal al-ma’ruf adalah apa yang di akui dan di terima oleh masyarakat karena mengandung kebaikan dan kebenaran, lebih spesifik lagi al-ma’ruf adalah apa yang diterima dan di akui allah, sedangkan al-munkar adalah sebaliknya, yaitu sesuatu yang dikenal, diterima atau buruk, frase tersebut berarti seruan untuk berbuat sesuatu sesuai dengan keyakinan sebenar-benarnya serta menahan diri untuk mencegak timbulnya perbuatan yang bertentangan dengan norma tuhan,.
Perbedaan mazhab mu’tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaan, menurut mu’tazilah jika memang di perlukan kekerasan untuk ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut, sejarah pun telah mencatat kekerasan yang pernah di lakukan nya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.[12]

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

1.      Kaum mu’tazilah terlalu berlebih-lebihan dalam menghormati dan menggunakan akal, sedangkan akal itu sendiri sering keliru dan salah, penghormatan terhadap akal telah menyebabkan sebagian mereka berpendapat bahwa gerakan surga dan neraka akan terhenti, dan menyebab kan surge dan neraka itu beserta orang-orang yang ada di dalamnya menjadi diam dan tenang selama-lamanya. Pada saat diam itulah penduduk surga menikmati segala macam kelezetan dan penduduk neraka.
a.       Merasakan segala macamsiksaan, yang menyebabkan mereka berpendapat semacam itu ialah bahwa akal telak menganatkan kepadany, bahwa tiap-tiap yang ada awalnya tentu ada pula akhirnya. Oleh karena surga dan neraka itu  ada awalnya .
2.      Islam adalah agama yang mudah dan gampang, akan tetapi kaum mu’tazilah telah menyebabkan akidah islam yang mudah itu menjadi ruwet dan berbelit-belit, yaitu dengan memasukkan filsafat ketuhan dan alam, yang tidak dapat memperjelas kan ajaran-ajaran islam, bahkan membuatnya menjadi kabur.
3.      Kaum mu’tazilah menyalami lautan filsafat untuk mempertahankan agama islam, akan tetapi bayak di antara mereka itu memakai senjata tersebut untuk menikam diri sendiri, atau dengan perkataan lain, sebagian mereka tenggelam dalam lautan filsafat  itu, mereka kehilangan pedoman dan sesat jalan, sampai ada di antara mereka yang menganut paham reinkarnasi.
4.      Ketika kaum mu’tazilah membahas masaalah kekacauan yang terjadi pada permulaan islam, maka kebanyakan mereka membolehkan untuk mencela para sahabat nabi, bahkan mereka telah mencela dan menyerang para sahabat itu dengan serangan-serangan yang sengit, yang tidak selaras dengan riwayat perjuangan mereka yang gilang gemilang dalam menyiarkan islam dan mendukung rasul saw. Bahkan kadang-kadang serang itu membawa orang kepada keragu-ragu dan kefasikan.
5.      Semua faktor tersebut di atas di samping dukungan mereka untuk menggunakan kekerasan terhadap orang-orang yang tidak menerima pendapat tentang “Khalqul Quran “telah menyebab kan orang-orang lari dari kaum mu’tazilah dan menyebabkan kelemahan dan keruntuhan mereka sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak, dkk.  Ilmu Kalam. Pustaka Setia. Bandung. 2001.
Asy Shahrastani. Al-Milad Al-Nihal. PT Binailu. Surabaya. 2005.
Harun Nasution. Teologi Islam (Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan). UI Press.  Jakarta . 2002.
Harun Nasution. Teologi Rasional Mu’tazilah. UI Press. Bambang Bioso. 1987.
Rosihom Anwar.  Ilmu Kalam. CV Putra Pustaka Setia. Bandung.2011.
Salihun A. Nasir . Pemikiran Kalam (Teologi Islam). Kharisma Putra Utama. 2012.





           







[1] Abdul Rozak, dkk,. Ilmu Kalam, Cv Pustaka Setia, Bandung, 2001. Hlm,167.
[2] Ibid.
[3] Harun Nasutian, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), UI-Press,Jakarta, 2002, hlm 40
[4] Ibid
[5] Haruna Nasution,Teologi Rasional Mu’tazilah,UI-Press,Bambang Bioso,Jakarta,1987, hlm 13
[6] Ibid,15
[7] Asy Shahrastani,Al-Milal Wa AL-Nihal, PT Binailu, Surabaya, 2005, hlm.33
[8] Ibid, hlm 35
[9] Sahilun A.Nasir,Pemikiran Kalam (Teologo islam ),Kharisma Putra Utama, 2012, hlm 169
[10] Ibid., hlm 173
[11] Ibid, hlm 180
[12] Rosihom Anwar, Ilmu Kalam,CV Pustaka Setia, Bandung, 2011, hlm 85.

No comments: