Thursday, December 25, 2014

MAQASIDUS SYARI'AH

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Hukum-hukum syariat Islam dibangun untuk kemaslatan umat manusia, mencegah kerusakan, dan dan mewujudkan kebaikan. Siapa saja yang melakukan penelitian terhadap syariat Islam dan mengkaji tujuan-tujuannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dia akan mendapatkan kejelasan bahwa hukum-hukum syariat termasuk peraturan ibadah yang dimaksudkan untuk menjaga kemaslahatan manusia. Karena Allah tidak membutuhkan apapun dari hamba-Nya. Oleh karena itu, kita dapat menemukan alasan-alasan rasional dalam dalam penetapan ibadah-ibadah utama. Kemaslahatan ada yang bersifat primer (dharuriyyah), skunder (hajiyyah), dan tersier (tahsiniyyah).

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa Itu Syariat.
2.      Bagaiman Jalan Menuju Maksud-maksud Syariat.
3.      Bagaimana Membatasi Maksud-maksud Syariat pada Al-Kulliyat Al-Khams.
4.      Apa saja Syarat-syarat Dalam Memahami Maqashid Syariat Menurut  Syatibi.
5.      Apa Peranan Maqashid Syariah dalam Pengembangan Hukum

C.    Tujuan Penulisan

1.      Mengetahui Apa Itu Syariat.
2.      Mengetahui Jalan Menuju Maksud-maksud Syariat.
3.      Mengetahui Batasan Maksud-maksud Syariat pada Al-Kulliyat Al-Khams.
4.      Mengetahui Syarat-syarat Dalam Memahami Maqashid Syariat Menurut  Syatibi.
5.      Mengetahui Peranan Maqashid Syariah dalam Pengembangan Hukum.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Syari’at

Syari’at adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah  bagi hamba-Nya tentang urusan agama. Atau, hukum agama yang ditetapkan dan diperintahkan oleh Allah. Baik berupa ibadah (shaum, shalat, haji, zakat, dan seluruh amal kebaikan) atau muamalah yang menggerakkan kehidupan manusia  (jual-beli, nikah, dll). Firman Allah swt.
¢OèO y7»oYù=yèy_ 4n?tã 7pyèƒÎŽŸ° z`ÏiB ̍øBF{$# $yg÷èÎ7¨?$$sù Ÿwur ôìÎ7®Ks? uä!#uq÷dr& tûïÏ%©!$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÊÑÈ  
Artinya: 18. kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (al-Jaatsiyah: 18)

Hal yang pasti qath’i dan mapan adalah bahwa al-Qur’an mengandung hukum-hukum syari’at dalam beberapa hal. Hukum-hukum tersebut ada yang berkaitan dengan ibadah, urusan keluarga, urusan dagang dan bisnis, harta, pajak, pendapatan, dan pengeluaran harta negara, kriminal, hubungan antara penguasa dan rakyat, hubungan dengan luar negeri dalam bentuk perang-damai, dan jihad.
Maksud-maksud syariat adalah maksud-maksud sisi amal yang menjadi pembahasan fiqh atau seluruh maksud Islam yang mencakup akidah dan amal. Maksud-maksud syariat adalah tujuan yang menjadi target teks dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia. Baik berupa perintah, larangan, dan mubah. Untuk individu, keluarga, jamaah, dan umat. Maksud-maksud juga bisa disebut dengan hikmah-hikmah yang menjadi tujuan ditetapkannya hukum. Baik yang diharuskan maupun tidak. Karena, dalam setiap hukum yang disyariatkan Allah untuk hamba-Nya pasti terdapat hikmah. Ia bisa diketahui oleh orang yang mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya. Karena, Allah suci untuk membuat syariat yang sewenang-wenang, sia-sia, dan sesuai dengan hukum.[1]
                       
B.     Jalan Menuju Maksud-maksud Syariat

Kita bisa mencapai kepada maksud-maksud syariat dengan beberapa jalan:
1.      Meneliti setiap ‘illat teks Al-Qur’an dan Sunnah. Agar kita mengetahui maksud-maksud dan tujuan-tujuan Islam. Seperti Firman Allah dalam QS. Al-Hadid ayat 25:
ôs)s9 $uZù=yör& $oYn=ßâ ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ $uZø9tRr&ur ÞOßgyètB |=»tGÅ3ø9$# šc#uÏJø9$#ur tPqà)uÏ9 â¨$¨Y9$# ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( $uZø9tRr&ur yƒÏptø:$# ÏmŠÏù Ó¨ù't/ ÓƒÏx© ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 zNn=÷èuÏ9ur ª!$# `tB ¼çnçŽÝÇZtƒ ¼ã&s#ßâur Í=øtóø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# ;Èqs% ÖƒÌtã ÇËÎÈ                                                                     
Artinya: 25. Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.

Ayat diatas menjelaskan kepada kita tentang nilai keadilan yang menjadi maksud seluruh ajaran samawi. Maksud didalam ayat tersebut bisa kita ketahui dengan lam ta’dil, yaitu “agar manusia dapat melaksanakan keadilan”

2.      Meneliti, mengikuti, dan memikirkan hukum-hukum partikular. Untuk kemudian manyatukan antara satu hukum dengan hukum yang lain. Agar dari penelitian kita bisa mendapatkan maksud-maksud syariat dalam membuat hukum-hukum tersebut.
Rasyid Ridha telah merumuskan maksud syariat sebagai berikut:
1.      Menjelaskan kenabian, ajaran, dan fungsi ajaran agama yang tidak diketahui manusia.
2.      Menjelaskan bahwa Islam adalah agama fitrah, akal, ilmu, hikmah, petunjuk, kebebasan, dan kemerdekaan.
3.      Reformasi sosial,  dan kemanusiaan.
4.      Menegaskan keistimewaan Islam ketika membebankan kewajiban. Baik dalam hal ibadah maupun hal-hal yang dilarang.
5.      Melakukan perbaikan ekonomi.
6.      Melakukan perbaikan sistem peperangan, menolak kejelekannya, dan membatasinya hanya dalam hal yang bisa memberikan kebaikan kepada manusia.
7.      Memberikan keadilan kepada seluruh wanita. Baik kemanusiaan, agama, dan sipil.
8.      Membebaskan hamba sahaya.

Sedangkan Yusuf Al-Qaradhawi dalam bukunya “Kaifa Nata’amal ma’a Al-Qur’an al-Azim” ( Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Qur’an Al-Azhim) menyebutkan 7 maksud-maksud syariat:
1.      Memperbaiki akidah tentang konsep Tuhan, agama, dan balasan.
2.      Menegaskan kemuliaan dan hak-hak manusia, terutama orang-orang yang lemah.
3.      Mengajak agar beribadah dan takwa kepada Allah.
4.      Menyucikan hati manusia dan meluruskan akhlak.
5.      Membangun keluarga shaleh dan memberikan keadilan kepada wanita.
6.      Membangun umat yang bersaksi bagi kemanusiaan.
7.      Mengajak kepada kemanusiaan yang penuh kerja sama.
Maksud-maksud dan tujuan-tujuan asasi Islam terdiri dari:
1.      Membangun manusia shaleh.
2.      Membangun keluarga shaleh.
3.      Membangun masyarakat shaleh.
4.      Membangun umat shaleh.
5.      Mengajak kemanusiaan.

C.    Membatasi Maksud-maksud Syariat pada Al-Kulliyat Al-Khams

Dari adanya hukuman (had) bagi orang yang murtad, diambil pemahaman mengenai pentingnya agama. Dari adanya hukuman berupa Qishash, diambil pemahaman mengenai pentingnya jiwa. Dari adanya hukuman bagi pelaku zina, diambil pemahaman mengenai pentingnya keturunan/nasab. Dari adanya hukuman bagi orang yang mencuri, diambil pemahaman mengenai pentingnya harta milik. Dan dari adanya hukuman bagi orang yang mabuk, diambil pemahaman pentingnya akal.
Dengan demikian, adanya hukuman atas orang yang mencemarkan nama baik orang lain (qadzaf), menunjukkan sama pentingnya hal tersebut dengan hal-hal yang disebutkan diatas. Hal ini karena kehormatan adalah martabat dan kemuliaan manusia. Dan, hal tersebut adalah salah satu faktor dari beragama faktor hak-hak manusia yang menjadi perhatian besar zaman sekarang.[2]        
Asy-Syatibi (wafat 790 H) mengatakan bahwa tujuan syariat Islam adalah mencapai kemaslahatan hamba, baik didunia maupun diakhirat. Kemaslahatan tersebut didasarkan kepada lima hal mendasar, yaitu: (1) memelihara agama (hifzh ad-din); (2) memelihara jiwa (hifzh an-nafs); (3) memelihara akal (hifzl al-‘aql); (4) memelihara keturunan (hifz an-nashl); dan (5) memelihara harta kekayaan (hifzh al-mal).

Imam Al-Qurafi dan lainnya menambahkan komponen keenam, yaitu memelihara kehormatan yang sering kita sebut sebagai harga diri. Oleh karena itu, syariat mengharamkan fitnah atau menuduh zina (qadzaf), membicarakan aib orang lain (ghibah), dan sebagainya. Dalam hal ini, syariat menjatuhkan hukuman (hadd) bagi orang yang menuduh zina dan sanksi (ta’zir) bagi orang yang mencemarkan nama baik selain hukuman qadzaf.[3]
Pengertian “memelihara” mempunyai dua aspek yang mendasar, yaitu:
1.      Aspek yang menguatkan unsur-unsurnya dan mengokohkan landasannya yang disebut hifzh ad-din min janib al-wujud, seperti keimanan, mengucapkan dua kalimat syahadah, shalat, puasa,, dan naik haji; hifzh an-nafs min janib al-wujud dan hifzh al-‘aql min janib al-wujud, seperti aturan-aturan tentang pernikahan; dan hifzh al-mal min janib al-wujud, seperti kewajiban mencari rezeki yang halal dan aturan-aturan dalam bidang muamalah.
2.      Aspek-aspek yang mengantisipasi agar kelima hal tersebut tidak terganggu dan terjaga baik. Aspek ini disebut dengan hifzh ad-din min janib al-adam, seperti hukum pidana (jinayah). Dengan adanya aturan jinayah, setiap pelaku kejahatan akan diadili dan mendapatkan sanksi hukum dengan adil.[4]
Lima tujuan syariat yang telah disebutkan diatas difokuskan menjadi tiga peringkat kebutuhan berdasarkan skala prioritasnya masing-masing, yaitu:
1.      Kebutuhan dharuriyah;
2.      Kebutuhan hajjiyah; dan
3.      Kebetuhuan tahsiniyah.

Kebutuhan dharuriyah artinya kebutuhan utama menjadi skala prioritas yang paling esensial, yaitu lima tujuan syariat itu sendiri, yakni memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara ketururnan, dan memelihara harta. Kebutuhan hajjiyah, bukan merupakan kebutuhan esensial, melainkan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan hidup. Apabila tidak terpenuhi, kebutuhan hajjiyah tidak akan mengancam terganggunya kebutuhan tersebut, tetapi hanya menimbulkan kesulitan bagi mukhallaf. Akan tetapi, karena mukhallaf tidak sanggup memenuhi kebutuhan hajjiyatnya, dalam hukum Islam ada keringanan yang disebut dengan rukhshah. Adapun kebutuhan tahsiniyah adalah kebutuhan yang menunjang penigkatan taraf hidup manusia dan martabatnya dimata Allah, sesuai dengan ketaatannya.[5]
Aturan-aturan yang bersifat dharuriyah dimaksudkan untuk menegakkan kehidupan manusia didunia dan diakhirat. Kebutuhan hajjiyah ditujukan untuk menghilangkan kesulitan dalam pelaksanaannya, karena hukum Islam tidak menghendaki kesulitan yang tidak wajar. Hukum Islam tidak menghendaki kesempitan pada manusia yang pada hakikatnya sebagai makhluk yang lemah (al-insan dha’ifun). Hukum Islam yang berkaitan dengan kebutuhan tahsiniyah ditujukan untuk mengendalikan kehidupan manusia agar selalu harmoni, serasi dan penuh dengan nilai-nilai estetika sehingga terjaminlah manusia oleh prilaku atau akhlaknya yang terpuji. Dengan demikian, kehidupan masyarakat terasa lebih damai dan sejahtera.[6]          
             
1.      Kebutuhan Dharuriyat

Kebutuhan dharuriyat ialah kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik didunia maupun diakhirat kelak. Untuk memelihara lima pokok Syariat Islam Al-Qur’an diturunkan. Setiap ayat hukum bila diteliti akan ditemukan alasan pembentukkannya yang tidak lain adalah untuk memelihara lima pokok Syariat Islam. Misalnya firman Allah yang mewajibkan qishash:
öNä3s9ur Îû ÄÉ$|ÁÉ)ø9$# ×o4quŠym Í<'ré'¯»tƒ É=»t6ø9F{$# öNà6¯=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÐÒÈ  
Artinya :. dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 179)
Dari ayat ini diketahui bahwa mengapa disyariatkan qishash karena dengan itu ancaman terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan.

2.      Kebutuhan Hajiyyat

Kebutuhan hajiyat adalah kebutuhan sekunder, bilamana tidak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan itu. Adanya hukum rukhshah (keringanan) adalah sebagai contoh dari kepedulian Syariat Islam terhadap kebutuhan ini.  Misalnya, Islam membolehkan tidak puasa bilamana dalam perjalanan dalam jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari yang lain dan demikian juga halnya dengan orang yang sedang sakit.
Islam mensyariatkan hukuman diyat (denda) bagi pembunuhan tidak sengaja, dan menangguhkan hukuman potong tangan atas seseorang yang mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan. Suatu kesempitan menimbulkan keringanan dalam Syariat Islam adalah ditarik dari petunjuk-petunjuk ayat Al-Qur’an, misalnya, ayat 6 Surat Al-Maidah:

Artinya: “.....Allah tidak hendak menyulitkan kamu.....” (QS. Al-Maidah: 6)

3.      Kebutuhan Tahsiniyat

Kebutuhan tahsiniyat adalah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok tujuan Syariat Islam dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini merupakan kebutuhan pelengkap, seperti yang dikatakan al-Syatibi, hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma atau akhlak.[7]

                                                                             
D.    Syarat-syarat Dalam Memahami Maqashid Syariat Menurut  Syatibi

1.      Memiliki Pengetahuan Bahasa Arab

Syarat pertama ini bertolak dari alasan bahwa al-Qur’an sebagai sumber hukum diturunkan oleh Allah swt. dalam bahasa arab. Seseorang yang akan memahami al-Qur’an termasuk kandungan maqashid syariahnya, menurut Syatibi harus memiliki pengetahuan tentang bahasa arab termasuk didalamnya pengetahuan tentang kebiasaan bangsa arab dalam menggunakan bahasa mereka. Berdasarkan tingginya bahasa al-Qur’an, maka pengetahuan tentang bahasa arab pada hakikatnya mesti dimiliki oleh orang yang ingin mendalami kandungan al-Qur’an.

2.      Memiliki Pengetahuan Tentang Sunnah

Menurut Syatibi, sunnah merupakan sumber kedua ajaran Islam setelah al-Qur’an. Posisi kedua ini dapat dilihat secara rasional dan tekstual. Secara rasional, sunnah merupakan penjabaran dari al-Qur’an. Ini berarti bahwa sunnah sebagai penjabar, menempati posisi lebih rendah dari yang dijabarkan. Fungsi sunnah cukup penting dalam memahami al-Qur’an termasuk dalam kaitan pemahaman maqashid syariah. Adapun fungsinya yaitu:
a.       Memperkuat hukum yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an. Al-Qur’an berfungsi sebagai musbit (penetap hukum), sedangkan sunnah berfungsi sebagai uayyid (penguat) ketetapan hukum al-Qur’an.
b.      Memberikan keterangan, bayan, terhadap apa yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an secara garis besar.

3.      Mengetahui Sebab-sebab Turunnya Ayat

Ayat-ayat al-Qur’an yang turun dengan latar belakang tertentu, hanya dapat dipahami secara sempurna apabila latar belakang yang menjadi sebab turunnya ayat itu dapat diketahui dengan baik. Sebagai contoh keterkaitan suatu ayat al-Qur’an dengan sebab turunnya, yaitu pada QS. an-Nur ayat 3 berikut.
ÎT#¨9$# Ÿw ßxÅ3Ztƒ žwÎ) ºpuŠÏR#y ÷rr& Zpx.ÎŽô³ãB èpuÏR#¨9$#ur Ÿw !$ygßsÅ3Ztƒ žwÎ) Ab#y ÷rr& Ô8ÎŽô³ãB 4 tPÌhãmur y7Ï9ºsŒ n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÌÈ  
Artinya: 3. laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.

Para ahli tafsir menuturkan bahwa orang-orang Muhajirin datang ke Madinah bersama-sama dengan kaum fakir yang tak memiliki harta apapun. Sedangkan dimadinah terdapat perempuan-perempuan lacur yang kaya. Fakir Muhajirin berkeinginan untuk mengawini mereka sampai diberikan kecukupan harta oleh Allah. Mereka pun datang meminta izin kepada Nabi, maka turunlah ayat ini.
Dengan adanya sebab turunnya, ayat diatas dapat dipahami lebih baik, bahwa motivasi perkawinan tidak dapat ditentukan oleh faktor ekonomi semata, akan tetapi juga ditentukan oleh faktor akhlak dan keimanan diantara pasangan yang ingin melakukan perkawinan.[8]
Teori maqashid syariah baru dikenal pada abad keempat Hijriah. Pertama kali istilah maqashid syariah dipergunakan oleh Abu Abdalah al-Tirmizi al-Hakim dalam buku yang ditulisnya. Kemudian istilah ini dipopulerkan oleh al-Imam Haramain al-Juaini dalam beberapa kitab yang ditulisnya dan beliaulah orang pertama yang mengklasifikasikan maqashid syariah kedalam tiga kategori besar, yaitu dharuriyah, hajjiyah, dan tahsiniyyah. Pemikiran beliau kemudian dikembangkan oleh Abu Hamid Al-Ghazali (505 H) yang menulis panjang lebar tentang maqashid syariah dalam kitabnya Shifa al-Ghalil dan al-Musthafa min ‘ilmi al-Ushul.[9]

E.     Peranan Maqashid Syariah dalam Pengembangan Hukum

Pengetahuan tentang maqashid syariah seperti yang ditegaskan oleh Abd al-Wahhab Khallaf, adalah hal yang sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi Al-Qur’an dan Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan sunnah secara kajian kebahasaan.
Metode istinbat, seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah adalah metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas maqashid syariah. Qiyas misalnya, baru bisa dilaksanakan bila dapat ditemukan maqashid syariahnya yang merupakan alasan logis (‘illat) dari suatu hukum. Sebagai contoh, tentang kasus diharamkannya minuman khamar adalah sifat memabukkannya, sedangkan khamar itu sendiri hanyalah sebagi contoh dari yang memabukkan. Dari sini dapat dikembangkan dengan metode analogi (qiyas) bahwa setiap yang memabukkan adalah haram juga.[10]


                                                                                                                                             

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Kemaslahatan yang ingin diwujudkan oleh Syariat Islam terbagi kedalam tiga tingkatan: dharuriyyah (primer), hijiyyah (sekunder), dan tahsinuyyah (tersier). Batasan-batasan primer mencakup lima atau enam hal yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, harta, dan kehormatan. Semua itu perlu dijaga oleh hukum dan sanksi-sanksinya karena merupakan hal sangat istimewa dalam pandangan syariat. Syariat juga memiliki tujuan-tujuan lain selain tujuan yang lima seperti tujuan sosial yaitu apabila individu-individu telah baik, maka semua masyarakat kan menjadi baik. Tujuan nilai sosial, yaitu keadilan, persaudaraan, solidaritas, kebebesan dan kemuliaan.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaradhawi, Yusuf. Fiqh Maqashid Syariah: Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal.  Penerjemah: Arif Munandar Riswanto. Jakarta. Pustaka Al-Kautsar. 2007.
Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Syatibi. Jakarta. Raja
Grafindo Persada. 1996.
Efendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta. Kencana. 2005.
Manan, Abdul. Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta. Raja Grafindo Persada. 2006.
Qardhawi, Yusuf. Membumikan Syariat Islam Keluwesan Aturan Ilahi untuk Manusia. Penerjemah; Ade Nurdin dan Riswan. Bandung. Mizan. 2003.
Subaeni, Beni Ahmad.  Filsafat Hukum Islam. Bandung. Pustaka Setia. 2008.



[1] Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh Maqashid Syariah: Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal, Penerjemah: Arif Munandar Riswanto, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), hlm. 12-17
[2] Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh Maqashid Syariah: Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal,..... hlm. 27
[3] Yusuf Qardhawi, Membumikan Syariat Islam; Keluwesan Aturan Ilahi untuk Manusia, Penerjemah; Ade Nurdin dan Riswan, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 63
[4] Beni Ahmad Subaeni, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 245-246
[5] Ibid, hlm. 247
[6] Ibid, hlm. 248
[7] Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 234-236
[8] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Syatibi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 74-85
[9] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 107
[10] Satria Efendi, Ushul Fiqh,.....hlm. 237

No comments: