BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum-hukum syariat Islam dibangun untuk
kemaslatan umat manusia, mencegah kerusakan, dan dan mewujudkan kebaikan. Siapa
saja yang melakukan penelitian terhadap syariat Islam dan mengkaji
tujuan-tujuannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dia akan mendapatkan kejelasan
bahwa hukum-hukum syariat termasuk peraturan ibadah yang dimaksudkan untuk
menjaga kemaslahatan manusia. Karena Allah tidak membutuhkan apapun dari
hamba-Nya. Oleh karena itu, kita dapat menemukan alasan-alasan rasional dalam
dalam penetapan ibadah-ibadah utama. Kemaslahatan ada yang bersifat primer
(dharuriyyah), skunder (hajiyyah), dan tersier (tahsiniyyah).
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Itu Syariat.
2.
Bagaiman Jalan Menuju Maksud-maksud Syariat.
3.
Bagaimana Membatasi Maksud-maksud Syariat pada
Al-Kulliyat Al-Khams.
4.
Apa saja Syarat-syarat Dalam Memahami Maqashid Syariat
Menurut Syatibi.
5.
Apa Peranan Maqashid Syariah dalam Pengembangan Hukum
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui Apa Itu Syariat.
2.
Mengetahui Jalan Menuju Maksud-maksud Syariat.
3.
Mengetahui Batasan Maksud-maksud Syariat pada Al-Kulliyat
Al-Khams.
4.
Mengetahui Syarat-syarat Dalam Memahami Maqashid Syariat
Menurut Syatibi.
5.
Mengetahui Peranan Maqashid Syariah dalam Pengembangan
Hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Syari’at
Syari’at adalah hukum yang ditetapkan oleh
Allah bagi hamba-Nya tentang urusan
agama. Atau, hukum agama yang ditetapkan dan diperintahkan oleh Allah. Baik
berupa ibadah (shaum, shalat, haji, zakat, dan seluruh amal kebaikan) atau
muamalah yang menggerakkan kehidupan manusia
(jual-beli, nikah, dll). Firman Allah swt.
¢OèO y7»oYù=yèy_ 4n?tã 7pyèΰ z`ÏiB ÌøBF{$# $yg÷èÎ7¨?$$sù wur ôìÎ7®Ks? uä!#uq÷dr& tûïÏ%©!$# w tbqßJn=ôèt ÇÊÑÈ
Artinya: 18. kemudian Kami jadikan kamu berada di atas
suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu
dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (al-Jaatsiyah:
18)
Hal yang pasti qath’i dan mapan adalah
bahwa al-Qur’an mengandung hukum-hukum syari’at dalam beberapa hal. Hukum-hukum
tersebut ada yang berkaitan dengan ibadah, urusan keluarga, urusan dagang dan
bisnis, harta, pajak, pendapatan, dan pengeluaran harta negara, kriminal,
hubungan antara penguasa dan rakyat, hubungan dengan luar negeri dalam bentuk
perang-damai, dan jihad.
Maksud-maksud syariat adalah maksud-maksud
sisi amal yang menjadi pembahasan fiqh atau seluruh maksud Islam yang mencakup
akidah dan amal. Maksud-maksud syariat adalah tujuan yang menjadi target teks
dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia. Baik
berupa perintah, larangan, dan mubah. Untuk individu, keluarga, jamaah, dan
umat. Maksud-maksud juga bisa disebut dengan hikmah-hikmah yang menjadi tujuan
ditetapkannya hukum. Baik yang diharuskan maupun tidak. Karena, dalam setiap
hukum yang disyariatkan Allah untuk hamba-Nya pasti terdapat hikmah. Ia bisa
diketahui oleh orang yang mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang
tidak mengetahuinya. Karena, Allah suci untuk membuat syariat yang
sewenang-wenang, sia-sia, dan sesuai dengan hukum.[1]
B.
Jalan Menuju Maksud-maksud Syariat
Kita bisa mencapai kepada maksud-maksud syariat dengan
beberapa jalan:
1.
Meneliti setiap ‘illat teks Al-Qur’an dan Sunnah.
Agar kita mengetahui maksud-maksud dan tujuan-tujuan Islam. Seperti Firman
Allah dalam QS. Al-Hadid ayat 25:
ôs)s9 $uZù=yör& $oYn=ßâ ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ $uZø9tRr&ur ÞOßgyètB |=»tGÅ3ø9$# c#uÏJø9$#ur tPqà)uÏ9 â¨$¨Y9$# ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( $uZø9tRr&ur yÏptø:$# ÏmÏù Ó¨ù't/ ÓÏx© ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 zNn=÷èuÏ9ur ª!$# `tB ¼çnçÝÇZt ¼ã&s#ßâur Í=øtóø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# ;Èqs% ÖÌtã ÇËÎÈ
Artinya: 25. Sesungguhnya Kami telah mengutus
Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan
bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan
berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan
supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya
Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.
Ayat diatas menjelaskan kepada kita tentang nilai
keadilan yang menjadi maksud seluruh ajaran samawi. Maksud didalam ayat
tersebut bisa kita ketahui dengan lam ta’dil, yaitu “agar manusia dapat
melaksanakan keadilan”
2.
Meneliti, mengikuti, dan memikirkan hukum-hukum
partikular. Untuk kemudian manyatukan antara satu hukum dengan hukum yang lain.
Agar dari penelitian kita bisa mendapatkan maksud-maksud syariat dalam membuat
hukum-hukum tersebut.
Rasyid Ridha telah merumuskan maksud syariat sebagai
berikut:
1.
Menjelaskan kenabian, ajaran, dan fungsi ajaran agama
yang tidak diketahui manusia.
2.
Menjelaskan bahwa Islam adalah agama fitrah, akal, ilmu,
hikmah, petunjuk, kebebasan, dan kemerdekaan.
3.
Reformasi sosial,
dan kemanusiaan.
4.
Menegaskan keistimewaan Islam ketika membebankan
kewajiban. Baik dalam hal ibadah maupun hal-hal yang dilarang.
5.
Melakukan perbaikan ekonomi.
6.
Melakukan perbaikan sistem peperangan, menolak kejelekannya,
dan membatasinya hanya dalam hal yang bisa memberikan kebaikan kepada manusia.
7.
Memberikan keadilan kepada seluruh wanita. Baik
kemanusiaan, agama, dan sipil.
8.
Membebaskan hamba sahaya.
Sedangkan Yusuf Al-Qaradhawi dalam bukunya “Kaifa
Nata’amal ma’a Al-Qur’an al-Azim” ( Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Qur’an
Al-Azhim) menyebutkan 7 maksud-maksud syariat:
1.
Memperbaiki akidah tentang konsep Tuhan, agama, dan
balasan.
2.
Menegaskan kemuliaan dan hak-hak manusia, terutama
orang-orang yang lemah.
3.
Mengajak agar beribadah dan takwa kepada Allah.
4.
Menyucikan hati manusia dan meluruskan akhlak.
5.
Membangun keluarga shaleh dan memberikan keadilan kepada
wanita.
6.
Membangun umat yang bersaksi bagi kemanusiaan.
7.
Mengajak kepada kemanusiaan yang penuh kerja sama.
Maksud-maksud dan tujuan-tujuan asasi Islam terdiri dari:
1.
Membangun manusia shaleh.
2.
Membangun keluarga shaleh.
3.
Membangun masyarakat shaleh.
4.
Membangun umat shaleh.
5.
Mengajak kemanusiaan.
C.
Membatasi Maksud-maksud Syariat pada
Al-Kulliyat Al-Khams
Dari adanya hukuman (had) bagi orang yang
murtad, diambil pemahaman mengenai pentingnya agama. Dari adanya hukuman berupa
Qishash, diambil pemahaman mengenai pentingnya jiwa. Dari adanya hukuman bagi
pelaku zina, diambil pemahaman mengenai pentingnya keturunan/nasab. Dari adanya
hukuman bagi orang yang mencuri, diambil pemahaman mengenai pentingnya harta
milik. Dan dari adanya hukuman bagi orang yang mabuk, diambil pemahaman
pentingnya akal.
Dengan demikian, adanya hukuman atas orang
yang mencemarkan nama baik orang lain (qadzaf), menunjukkan sama pentingnya hal
tersebut dengan hal-hal yang disebutkan diatas. Hal ini karena kehormatan
adalah martabat dan kemuliaan manusia. Dan, hal tersebut adalah salah satu
faktor dari beragama faktor hak-hak manusia yang menjadi perhatian besar zaman
sekarang.[2]
Asy-Syatibi (wafat 790 H) mengatakan bahwa
tujuan syariat Islam adalah mencapai kemaslahatan hamba, baik didunia maupun
diakhirat. Kemaslahatan tersebut didasarkan kepada lima hal mendasar, yaitu:
(1) memelihara agama (hifzh ad-din); (2) memelihara jiwa (hifzh
an-nafs); (3) memelihara akal (hifzl al-‘aql); (4) memelihara
keturunan (hifz an-nashl); dan (5) memelihara harta kekayaan (hifzh
al-mal).
Imam Al-Qurafi dan lainnya menambahkan
komponen keenam, yaitu memelihara kehormatan yang sering kita sebut sebagai
harga diri. Oleh karena itu, syariat mengharamkan fitnah atau menuduh zina (qadzaf),
membicarakan aib orang lain (ghibah), dan sebagainya. Dalam hal ini,
syariat menjatuhkan hukuman (hadd) bagi orang yang menuduh zina dan sanksi
(ta’zir) bagi orang yang mencemarkan nama baik selain hukuman qadzaf.[3]
Pengertian “memelihara” mempunyai dua aspek yang
mendasar, yaitu:
1.
Aspek yang menguatkan unsur-unsurnya dan mengokohkan
landasannya yang disebut hifzh ad-din min janib al-wujud, seperti
keimanan, mengucapkan dua kalimat syahadah, shalat, puasa,, dan naik haji; hifzh
an-nafs min janib al-wujud dan hifzh al-‘aql min janib al-wujud,
seperti aturan-aturan tentang pernikahan; dan hifzh al-mal min janib
al-wujud, seperti kewajiban mencari rezeki yang halal dan aturan-aturan
dalam bidang muamalah.
2.
Aspek-aspek yang mengantisipasi agar kelima hal tersebut
tidak terganggu dan terjaga baik. Aspek ini disebut dengan hifzh ad-din min
janib al-adam, seperti hukum pidana (jinayah). Dengan adanya aturan
jinayah, setiap pelaku kejahatan akan diadili dan mendapatkan sanksi hukum
dengan adil.[4]
Lima tujuan syariat yang telah disebutkan diatas
difokuskan menjadi tiga peringkat kebutuhan berdasarkan skala prioritasnya
masing-masing, yaitu:
1.
Kebutuhan dharuriyah;
2.
Kebutuhan hajjiyah; dan
3.
Kebetuhuan tahsiniyah.
Kebutuhan dharuriyah artinya kebutuhan
utama menjadi skala prioritas yang paling esensial, yaitu lima tujuan syariat
itu sendiri, yakni memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal,
memelihara ketururnan, dan memelihara harta. Kebutuhan hajjiyah, bukan
merupakan kebutuhan esensial, melainkan kebutuhan yang dapat menghindarkan
manusia dari kesulitan hidup. Apabila tidak terpenuhi, kebutuhan hajjiyah tidak
akan mengancam terganggunya kebutuhan tersebut, tetapi hanya menimbulkan
kesulitan bagi mukhallaf. Akan tetapi, karena mukhallaf tidak sanggup memenuhi
kebutuhan hajjiyatnya, dalam hukum Islam ada keringanan yang disebut dengan rukhshah.
Adapun kebutuhan tahsiniyah adalah kebutuhan yang menunjang penigkatan
taraf hidup manusia dan martabatnya dimata Allah, sesuai dengan ketaatannya.[5]
Aturan-aturan yang bersifat dharuriyah
dimaksudkan untuk menegakkan kehidupan manusia didunia dan diakhirat. Kebutuhan
hajjiyah ditujukan untuk menghilangkan kesulitan dalam pelaksanaannya,
karena hukum Islam tidak menghendaki kesulitan yang tidak wajar. Hukum Islam
tidak menghendaki kesempitan pada manusia yang pada hakikatnya sebagai makhluk
yang lemah (al-insan dha’ifun). Hukum Islam yang berkaitan dengan
kebutuhan tahsiniyah ditujukan untuk mengendalikan kehidupan manusia
agar selalu harmoni, serasi dan penuh dengan nilai-nilai estetika sehingga
terjaminlah manusia oleh prilaku atau akhlaknya yang terpuji. Dengan demikian,
kehidupan masyarakat terasa lebih damai dan sejahtera.[6]
1.
Kebutuhan Dharuriyat
Kebutuhan dharuriyat ialah kebutuhan yang
harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini
tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik didunia maupun
diakhirat kelak. Untuk memelihara lima pokok Syariat Islam Al-Qur’an
diturunkan. Setiap ayat hukum bila diteliti akan ditemukan alasan
pembentukkannya yang tidak lain adalah untuk memelihara lima pokok Syariat
Islam. Misalnya firman Allah yang mewajibkan qishash:
öNä3s9ur Îû ÄÉ$|ÁÉ)ø9$# ×o4quym Í<'ré'¯»t É=»t6ø9F{$# öNà6¯=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÐÒÈ
Artinya :. dan
dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang
yang berakal, supaya kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 179)
Dari ayat ini diketahui bahwa mengapa disyariatkan
qishash karena dengan itu ancaman terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan.
2.
Kebutuhan Hajiyyat
Kebutuhan hajiyat adalah kebutuhan sekunder,
bilamana tidak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan
mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan itu. Adanya
hukum rukhshah (keringanan) adalah sebagai contoh dari kepedulian
Syariat Islam terhadap kebutuhan ini.
Misalnya, Islam membolehkan tidak puasa bilamana dalam perjalanan dalam
jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari yang lain dan demikian juga
halnya dengan orang yang sedang sakit.
Islam mensyariatkan hukuman diyat
(denda) bagi pembunuhan tidak sengaja, dan menangguhkan hukuman potong tangan
atas seseorang yang mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari
kelaparan. Suatu kesempitan menimbulkan keringanan dalam Syariat Islam adalah
ditarik dari petunjuk-petunjuk ayat Al-Qur’an, misalnya, ayat 6 Surat
Al-Maidah:
Artinya: “.....Allah tidak hendak menyulitkan
kamu.....” (QS. Al-Maidah: 6)
3.
Kebutuhan Tahsiniyat
Kebutuhan tahsiniyat adalah tingkat kebutuhan
yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima
pokok tujuan Syariat Islam dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat
kebutuhan ini merupakan kebutuhan pelengkap, seperti yang dikatakan al-Syatibi,
hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal
yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan
tuntutan norma atau akhlak.[7]
D.
Syarat-syarat Dalam Memahami Maqashid Syariat Menurut
Syatibi
1. Memiliki
Pengetahuan Bahasa Arab
Syarat pertama ini bertolak dari alasan bahwa
al-Qur’an sebagai sumber hukum diturunkan oleh Allah swt. dalam bahasa arab. Seseorang
yang akan memahami al-Qur’an termasuk kandungan maqashid syariahnya, menurut
Syatibi harus memiliki pengetahuan tentang bahasa arab termasuk didalamnya
pengetahuan tentang kebiasaan bangsa arab dalam menggunakan bahasa mereka. Berdasarkan
tingginya bahasa al-Qur’an, maka pengetahuan tentang bahasa arab pada
hakikatnya mesti dimiliki oleh orang yang ingin mendalami kandungan al-Qur’an.
2. Memiliki
Pengetahuan Tentang Sunnah
Menurut Syatibi, sunnah merupakan sumber kedua
ajaran Islam setelah al-Qur’an. Posisi kedua ini dapat dilihat secara rasional
dan tekstual. Secara rasional, sunnah merupakan penjabaran dari al-Qur’an. Ini
berarti bahwa sunnah sebagai penjabar, menempati posisi lebih rendah dari yang
dijabarkan. Fungsi sunnah cukup penting dalam memahami al-Qur’an termasuk dalam
kaitan pemahaman maqashid syariah. Adapun fungsinya yaitu:
a.
Memperkuat hukum yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an.
Al-Qur’an berfungsi sebagai musbit (penetap hukum), sedangkan sunnah
berfungsi sebagai uayyid (penguat) ketetapan hukum al-Qur’an.
b.
Memberikan keterangan, bayan, terhadap apa yang telah
ditetapkan oleh al-Qur’an secara garis besar.
3. Mengetahui Sebab-sebab Turunnya Ayat
Ayat-ayat al-Qur’an yang turun dengan latar
belakang tertentu, hanya dapat dipahami secara sempurna apabila latar belakang
yang menjadi sebab turunnya ayat itu dapat diketahui dengan baik. Sebagai
contoh keterkaitan suatu ayat al-Qur’an dengan sebab turunnya, yaitu pada QS.
an-Nur ayat 3 berikut.
ÎT#¨9$# w ßxÅ3Zt wÎ) ºpuÏR#y ÷rr& Zpx.Îô³ãB èpuÏR#¨9$#ur w !$ygßsÅ3Zt wÎ) Ab#y ÷rr& Ô8Îô³ãB 4 tPÌhãmur y7Ï9ºs n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÌÈ
Artinya: 3. laki-laki yang berzina tidak mengawini
melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan
yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau
laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang
mukmin.
Para ahli tafsir menuturkan bahwa orang-orang
Muhajirin datang ke Madinah bersama-sama dengan kaum fakir yang tak memiliki
harta apapun. Sedangkan dimadinah terdapat perempuan-perempuan lacur yang kaya.
Fakir Muhajirin berkeinginan untuk mengawini mereka sampai diberikan kecukupan
harta oleh Allah. Mereka pun datang meminta izin kepada Nabi, maka turunlah
ayat ini.
Dengan adanya sebab turunnya, ayat diatas
dapat dipahami lebih baik, bahwa motivasi perkawinan tidak dapat ditentukan
oleh faktor ekonomi semata, akan tetapi juga ditentukan oleh faktor akhlak dan
keimanan diantara pasangan yang ingin melakukan perkawinan.[8]
Teori maqashid syariah baru dikenal pada abad
keempat Hijriah. Pertama kali istilah maqashid syariah dipergunakan oleh Abu
Abdalah al-Tirmizi al-Hakim dalam buku yang ditulisnya. Kemudian istilah ini
dipopulerkan oleh al-Imam Haramain al-Juaini dalam beberapa kitab yang
ditulisnya dan beliaulah orang pertama yang mengklasifikasikan maqashid syariah
kedalam tiga kategori besar, yaitu dharuriyah, hajjiyah, dan tahsiniyyah.
Pemikiran beliau kemudian dikembangkan oleh Abu Hamid Al-Ghazali (505 H) yang
menulis panjang lebar tentang maqashid syariah dalam kitabnya Shifa
al-Ghalil dan al-Musthafa min ‘ilmi al-Ushul.[9]
E.
Peranan Maqashid Syariah dalam Pengembangan
Hukum
Pengetahuan tentang maqashid syariah seperti
yang ditegaskan oleh Abd al-Wahhab Khallaf, adalah hal yang sangat penting yang
dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi Al-Qur’an dan Sunnah,
menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah
untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan sunnah
secara kajian kebahasaan.
Metode istinbat, seperti qiyas, istihsan,
dan maslahah mursalah adalah metode-metode pengembangan hukum Islam yang
didasarkan atas maqashid syariah. Qiyas misalnya, baru bisa dilaksanakan bila
dapat ditemukan maqashid syariahnya yang merupakan alasan logis (‘illat)
dari suatu hukum. Sebagai contoh, tentang kasus diharamkannya minuman khamar
adalah sifat memabukkannya, sedangkan khamar itu sendiri hanyalah sebagi contoh
dari yang memabukkan. Dari sini dapat dikembangkan dengan metode analogi
(qiyas) bahwa setiap yang memabukkan adalah haram juga.[10]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kemaslahatan yang ingin diwujudkan oleh
Syariat Islam terbagi kedalam tiga tingkatan: dharuriyyah (primer), hijiyyah
(sekunder), dan tahsinuyyah (tersier). Batasan-batasan primer mencakup lima
atau enam hal yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, harta, dan kehormatan. Semua
itu perlu dijaga oleh hukum dan sanksi-sanksinya karena merupakan hal sangat
istimewa dalam pandangan syariat. Syariat juga memiliki tujuan-tujuan lain
selain tujuan yang lima seperti tujuan sosial yaitu apabila individu-individu
telah baik, maka semua masyarakat kan menjadi baik. Tujuan nilai sosial, yaitu
keadilan, persaudaraan, solidaritas, kebebesan dan kemuliaan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaradhawi, Yusuf. Fiqh Maqashid Syariah: Moderasi
Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal. Penerjemah: Arif Munandar Riswanto. Jakarta.
Pustaka Al-Kautsar. 2007.
Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqashid Syari’ah Menurut
Syatibi. Jakarta. Raja
Grafindo Persada. 1996.
Efendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta. Kencana.
2005.
Manan, Abdul. Reformasi Hukum Islam di Indonesia.
Jakarta. Raja Grafindo Persada. 2006.
Qardhawi, Yusuf. Membumikan Syariat Islam Keluwesan
Aturan Ilahi untuk Manusia. Penerjemah; Ade Nurdin dan Riswan. Bandung.
Mizan. 2003.
Subaeni, Beni Ahmad. Filsafat Hukum Islam. Bandung. Pustaka
Setia. 2008.
[1] Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh Maqashid Syariah: Moderasi Islam antara Aliran
Tekstual dan Aliran Liberal, Penerjemah: Arif Munandar Riswanto, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2007), hlm. 12-17
[2] Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh Maqashid Syariah:
Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal,..... hlm. 27
[3] Yusuf Qardhawi, Membumikan
Syariat Islam; Keluwesan Aturan Ilahi untuk Manusia, Penerjemah; Ade Nurdin
dan Riswan, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 63
[8] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Syatibi,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 74-85
[9] Abdul Manan, Reformasi
Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 107
No comments:
Post a Comment