BAB I
PENDAHULUAN
Pertengahan
tahun 2001, nama "islam liberal" mulai dikenal luas di indonesia.
Dengan semboyannya yang indah menawan,"islam yang membebaskan ",
kelompok ini kemudian mengusung bendera" jaringan islam liberal"atau
yang biasa disebut JIL, mampu menarik banyak perhatian dari berbagai kalangan,
baik yang pro maupun yang kontra. Keberadaan JIL cukup menyita
perhatian masyarakat muslim indonesia, karena pesan-pesan atau wacana-wacana
kontroversial yang dibawa oleh kelompok ini. Misalnya: pertama, tentang teologi
inklusif-pluralis; suatu gagasan yang menyamakan semua agama. Kedua, penolakan
kelompok ini terhadap syariat islam, karena mereka menilai memberangus
kebebasan. Ketiga, tujuan dibentuknya JIL, yaitu untuk menghentikan (menurut
penilaian mereka) gerakan islam Fundamentalis atau Islam Militan yang mereka
nilai berbahaya untuk perkembangan demokratisasi. Dan mungkin masih sangat banyak
lagi tentang pemikiran- pemikiran kelompok ini yang kontrofersial dengan
pemahaman umat islam di indonesia.
Dari itu , dalam makalah yang sederhana ini penulis akan berusaha menyingkap sedikit sepak terjang kelompok ini, yang mungkin sampai hari ini masih menjadi perdebatan banyak kalangan di negara kita. namun sangat tidak mungkin dalam makalah ini akan mencakup semuanya. Mengingat keterbatasan waktu dan suatu hal lainya , tulisan ini hanya akan berbicara seputar pengertian, sejarah, tujuan di dirikan , beberapa pemahaman, dan pendapat ulama' mengenai kelompok ini.
Dari itu , dalam makalah yang sederhana ini penulis akan berusaha menyingkap sedikit sepak terjang kelompok ini, yang mungkin sampai hari ini masih menjadi perdebatan banyak kalangan di negara kita. namun sangat tidak mungkin dalam makalah ini akan mencakup semuanya. Mengingat keterbatasan waktu dan suatu hal lainya , tulisan ini hanya akan berbicara seputar pengertian, sejarah, tujuan di dirikan , beberapa pemahaman, dan pendapat ulama' mengenai kelompok ini.
Arti kata Islam liberal tidak
selamanya jelas. Leonard Binder, seorang guru besar UCLA, ketika menulis buku
berjudul Islamic Liberalism (University of Chicago Press,
1988) memberinya arti "Islamic political liberalism" dengan
penerapannya pada negara-negara Muslim di Timur Tengah. Mungkin di luar dugaan
sebagian orang, buku itu selain menyajikan pendapat Ali Abd Raziq (Mesir) yang
memang liberal karena tidak melihat adanya konsep atau anjuran negara Islam,
tetapi juga membahas pikiran Maududi (Pakistan) yang tentu saja lebih tepat
disebut sebagai tokoh fundamentalis atau revivalis.
Sebaliknya bagi Greg Barton, dalam
bukunya berjudul Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Penerbit
Paramadina, Jakarta, 1999) istilah "Islamic liberalism"
nampaknya cukup jelas. Dalam bukunya yang berasal dari disertasi itu ia
mengatakan bahwa Islam liberal di Indonesia adalah sama dengan pembaruan Islam
atau Islam neo-modernis. Selanjutnya, dalam penelitian yang mengcover periode
1968-1980 itu, Barton membatasi diri pada pemikiran empat orang tokoh dari kaum
neo-modernis, yaitu Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan
Abdurrahman Wahid.
Seperti diketahui, istilah
neo-modernis berasal dari Fazlur Rahman, seorang tokoh neo-modernis muslim asal
Pakistan yang terakhir menjadi Guru Besar studi keislaman di Universita[1]s
Chicago. Fazlur Rahman,sebagaimana dikutip Greg Barton, membedakan gerakan
pembaruan Islam dalam dua abad terakhir kepada empat macam, yaitu: revivalisme
Islam, modernisme Islam, neo-revivalisme Islam, dan neo-modernisme Islam.
Dengan revivalisme Islam
dimaksudkan gerakan pada abad ke-18 yang diwakili oleh Wahhabiyyah di Arab,
Sanusiyyah di Afrika Utara, dan Fulaniyyah di Afrika Barat. Sedangkan modernisme
Islam di pelopori oleh Sayyid Ahmad Khan (W 1898) di India, Jamaluddin
al-Afghani (W 1897) di Timur Tengah, dan Muhammad Abduh (W 1905) di Mesir.
Adapun neo-revivalisme diwakili oleh Maududi dengan organisasinya yang
terkenal, Jama’ati Islami, di Pakistan. Kemudian neo-modernisme Islam contohnya
ialah Fazlur Rahman sendiri dengan karakteristik sintesis progresif dari
rasionalitas modernis dengan ijtihad dan tradisi klasik (Greg Barton, 1999:9).
Meskipun tipologi Fazlur Rahman ini dimaksudkan untuk seluruh dunia Islam,
tetapi tipologi keempat diwakili juga oleh tokoh-tokoh Indonesia, khususnya
empat orang yang disebutkan di atas.
Di Indonesia terdapat beberapa buku
yang sering dinilai sebagai pendapat kelompok Islam liberal, dua diantaranya
ialah buku Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Jakarta,
2005) yang ditulis oleh Tim Pengarusutamaan Gender pimpinan Musdah Mulia dan
buku Fiqih Lintas Agama (Jakarta: Paramadina, 2004). Kalau
kita cermati isi kedua buku itu terlihatlah bahwa banyak pendapat dan argumen
di dalam kedua buku itu yang sama atau mungkin diambil dari pikiran-pikiran
Muhammad Syahrur, seorang sarjana teknik Syria yang pernah belajar di Moskow,
tetapi kemudian mengarang banyak buku tentang Islam, diantaranya yang terkenal
ialah Nahw Ushûl Jadîdah fî al-Fiqh al-Islâmî yang telah
diterbitkan juga dalam bahasa Indonesia dengan judul Metodologi Fiqih
Islam Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ, 2004). Ini berarti bahwa
pemikiran Islam liberal Indonesia bukanlah original, tetapi pengaruh literatur
internasional. Apalagi Fazlur Rahman memang adalah guru Nurcholish Madjid dan
mempunyai hubungan dengan kaum pemikir Islam Indonesia. Pemikir Timur Tengah
lain yang mempunyai pengaruh terhadap pemikiran Islam liberal di Indonesia
khususnya mengenai penggunaan hermeneutik untuk memahami Al Qur’an adalah Hamid
Nasr Abu Zaid.
BAB
II
PEMBAHASAN
Apa itu Islam liberal dan Mengapa disebut Islam Liberal?
“Islam liberal” sejatinya
pembangkangan diri dan pemikiran melalui gerakan, yayasan, kantor berita,
gerakan politik terhadap islam ala Nabi Muhammad SAW. Pemikiran Islam (klaim
mereka) menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur
sosial-politik yang menindas. Tujuan JIL adalah menyebarkan gagasan Islam
Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat dengan dukungan Yahudi Internasional
yang bercokol kuat di Indonesia dan dukungan pemerintah AS melalui Asia
Foundation yang disokong oleh CIA dan Imperialisme Barat dan kini menguasai
Universitas Paramadina dan UIN Syarif hidayatullah Jakarta.
JIL lebih mirip kepanjangan
imperalisme Barat atas dunia Islam yang dicarikan bentuk pembenarannya dari
khazanah Islam. Dari segi politis, ada benang merah dengan CIA. JIL yang
resmi hadir sekitar Maret 2001— impact penting yang timbul dari lahirnya gudang
pemikiran itu adalah lahirnya atmosfir ‘ndableg alias konyol’ yang oleh
kebanyakan pengikutnya disebut dengan istilah “kekritisan berfikir”. Mereka
begitu semangat ‘mengkritisi’ Al-Qur’an, menolak beberapa nash hadits-hadish
shahih, serta menuduh para ulama’ sebagai kelompok konservatif. Dilain pihak,
mereka bahkan teramat sibuk bergelut dengan referensi-referensi liberal.
Bacaan-bacaan wajib mereka, kini Tahrirul Mar’ah milik Qasim Amin, The Spirit
of Islam-nya Amir Ali, serta Al Islam wa Ushul Al Hukmi yang sesungguhnya hanya
jiplakan dari tulisan orientalis Inggris Thomas W. Arnold.
Nama-nama semisal, Sayid Ahmad
Khand, Arkeun, Ali Abdul Razik, Charles Kuzman, Fatimah Marnissi, Nasir Hamid
Abu Zaid dan Fadzlurrahman seolah-olah “kitab suci” baru yang kini melekat di
otak mereka. Di saat yang sama, mereka mulai tampak malas menelaah Al-Qur’an,
bahkan boleh jadi mules (muak, red) jika mendengar dalil-dalil dari hadits.
Kalau kita mengamati dengan seksama
tentang agenda-agenda JIL, maka kita akan menemukan korelasi antara
imperialisme barat dan agenda JIL. Luthfi Asy-Syaukanie, salah satu motor JIL
pernah menyebut dengan jujur empat agenda utama lahirnya Islam Liberal.
Pertama, agenda politik, Kedua, agenda toleransi agama, Ketiga, agenda
emansipasi wanita, dan Keempat, agenda kebebasan berekpresi.
Dalam agenda politik, misalnya,
kaum muslimin “diarahkan” oleh JIL untuk mempercayai sekularisme, dan menolak
sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Dalam agenda plurarisme, kelompok ini
menyeru bahwa semua agama adalah benar, tidak boleh ada truth claim. Agenda
emansipasi wanita, seperti menyamaratakan secara absolut peran atau hak pria
dan wanita tanpa kecuali, dan agenda kebebasan berekspresi, seperti hak untuk
tidak beragama, tak jauh bedanya dengan agenda politik di atas. Semua ide-ide
ini pada ujung-ujungnya, pada muaranya, kembali kepada ideologi dan kepentingan
imperialis. [2]
Adian Husaini dan Nuim Hidayat
menandaskan, Karena itu, sulit sekali-untuk untuk tidak mengatakan --minimal
mustahil-- mencari akar pemikiran-pemikiran tersebut dari Islam itu sendiri
secara murni, kecuali setelah melalui pemerkosaan teks-teks Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Misalnya teologi pluralisme yang menganggap semua agama benar,
sebenarnya berasal dari hasil Konsili Vatikan II 1963-1965) yang merevisi
prinsip extra ecclesium nulla salus (di luar Katolik tak ada keselamatan)
menjadi teologi inklusif-pluralis, yang menyatakan keselamatan dimungkinkan ada
di luar Katolik. (Islam Liberal: "Sejarah, Konsepsi dan
Penyimpangannya", Adian Husaini dan Nuim Hidayat).
Selain itu, dari kerangka ideologi, ide-ide JIL sendiri, dapatlah
kiranya dinyatakan sebagai ide-ide kapitalisme. Luthfi Asy-Syaukanie dalam
bukunya Wajah Liberal Islam di Indonesia (2002) telah berhasil menyajikan
deskripsi dan peta ide-ide JIL. Jika dikritisi, kesimpulannya adalah di sana
ada banyak contekan sempurna terhadap ideologi kapitalisme.
Tentu ada kreativitas dan modifikasi. Khususnya pencarian ayat
atau hadits atau preseden sejarah yang kemudian ditafsirkan secara paksa agar
cocok dengan kapitalisme. Ide-ide besar kapitalisme itu antara lain; (1)
sekularisme, (2) demokrasi, dan (3) kebebasan. Dukungan kepada sekularisme
--pengalaman partikular Barat-- nampak begitu getolnya mereka melakukan
penolakan terhadap bentuk sistem pemerintahan Islam (khilafah), dan penolakan
yang begitu bersemangat terhadap syariat Islam. Tetapi mereka menerima begitu
saja semua gagasan demokrasi tanpa ada nalar kritis. Istilahnya, mereka
cepat-cepat ‘melek’ (terbelalak) jika mengkritisi Islam, tapi buru-buru buta
(pura-pura tak melihat) jika sumber-sumber itu datangnya dari Barat.
Kentalnya ide-ide pokok kapitalisme dan berbagai derivatnya ini,
masih ditambah dengan suatu metode berpikir yang kapitalistik pula, yaitu
menjadikan ideologi kapitalisme sebagai standar pemikiran. Meminjam bahasa Al
Jawi, ide-ide kapitalisme diterima lebih dulu secara taken for granted dan
dianggap benar secara absolut, tanpa pemberian peluang untuk didebat (ghair
qabli li an-niqasy) dan tanpa ada kesempatan untuk diubah (ghair qabli li
at-taghyir). Lalu ide-ide kapitalisme itu dijadikan cara pandang (dan hakim!)
untuk menilai dan mengadili Islam.
A.Perkembangan Islam Liberal di Indonesia
Islam
Liberal di Indonesia (Era Orde Baru)
Sejak awal tahun 1970-an, bersamaan
dengan munculnya Orde Baru yang memberikan tantangan tersendiri bagi umat
Islam, beberapa cendekiawan Muslim mencoba memberikan respon terhadap situasi
yang dinilai tidak memberi kebebasan berpikir. Kelompok inilah yang kemudian
memunculkan ide-ide tentang "Pembaharuan Pemikiran Islam". Kelompok
ini mencoba menafsirkan Islam tidak hanya secara tekstual tetapi justru lebih
ke penafsiran kontekstual. Mereka dapat digolongkan sebagai Islam liberal dalam
arti menolak taklid, menganjurkan ijtihad, serta menolak otoritas bahwa hanya
individu atau kelompok tertentu yang berhak menafsirkan ajaran Islam.
Menurut Fachri Aly dan Bactiar
Effendi (1986: 170-173) terdapat sedikitnya empat versi Islam liberal, yaitu
modernisme, universalisme, sosialisme demokrasi, dan neo modernisme. Modernisme
mengembangkan pola pemikiran yang menekankan pada aspek rasionalitas dan
pembaruan pemikiran Islam sesuai dengan kondisi-kondisi modern. Tokoh-tokoh
yang dianggap mewakili pemikiran modernisme antara lain Ahmad Syafii Ma‘arif,
Nurcholish Madjid, dan Djohan Effendi. Adapun universalisme sesungguhnya
merupakan pendukung modernisme yang secara spesifik berpendapat bahwa, pada
dasarnya Islam itu bersifat universal. Betul bahwa Islam berada dalam konteks
nasional, tetapi nasionalisasi itu bukanlah tujuan final Islam itu sendiri.
Karena itu, pada dasarnya, mereka tidak mengenal dikotomi antara nasionalisme
dan Islamisme. Keduanya saling menunjang. Masalah akan muncul kalau Islam yang
me-nasional atau melokal itu menyebabkan terjadinya penyimpangan terhadap
hakikat Islam yang bersifat universal. Pola pemikiran ini, secara samar-samar
terlihat pada pemikiran Jalaluddin Rahmat, M. Amien Rais, A.M. Saefuddin,
Endang Saefudin Anshari dan mungkin juga Imaduddin Abdul Rahim.
Pola pemikiran sosialisme–demokrasi
menganggap bahwa kehadiran Islam harus memberi makna pada manusia. Untuk
mencapai tujuan ini, Islam harus menjadi kekuatan yang mampu menjadi motivator
secara terus menerus dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Para pendukung
sosialis-demokrasi melihat bahwa struktur sosial politik dan, terutama, ekonomi
di beberapa negara Islam termasuk Indonesia, masih belum mencerminkan makna
kemanusiaan, sehingga dapat dikatakan belum Islami. Proses Islamisasi, dengan
demikian, bukanlah sesuatu yang formalistik. Islamisasi dalam refleksi
pemikiran mereka adalah karya-karya produktif yang berorientasi kepada
perubahan-perubahan sosial ekonomi dan politik menuju terciptanya masyarakat
yang adil dan demokratis. Adi Sasono, M. Dawam Rahardjo, serta Kuntowidjojo
dapat dimasukkan dalam pola pemikiran ini.
Sedangkan neo modernisme mempunyai
asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan dalam proses pergulatan modernisme.
Bahkan kalau mungkin, Islam diharapkan menjadi leading ism (ajaran-ajaran
yang memimpin) di masa depan. Namun demikian, hal itu tidak berarti
menghilangkan tradisi keislaman yang telah mapan. Hal ini melahirkan postulat (dalil) al-muhâfazhat
‘alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdu bi al-jadîd alashlah (memelihara
tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Pada sisi
lain, pendukung neo modernisme cenderung meletakkan dasar-dasar keislaman dalam
konteks atau lingkup nasional.
Mereka percaya bahwa betapapun,
Islam bersifat universal, namun kondisikondisi suatu bangsa, secara tidak terelakkan,
pasti berpengaruh terhadap Islam itu sendiri. Ada dua tokoh intelektual yang
menjadi pendukung utama neo modernisme ini adalah Nurcholish Madjid dan
Abdurrahman Wahid.
Tampaknya pemikiran Nurcholish (Prisma,
nomor ekstra, 1984: 10-22), lebih dipengaruhi oleh ide Fazlur Rahman, gurunya
di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Sedang pemikiran neo modernisme
Abdurrahman Wahid telah dibentuk sejak awal karena ia dibesarkan dalam
kultur ahlussunnah wal jama’ah versi Indonesia, kalangan NU.
Karena itu, ide-ide keislamannya tampak jauh lebih empiris, terutama dalam
pemikirannya tentang hubungan Islam dan politik. (Prisma, Nomor ekstra,
1984: 3-9; dan Prisma, 4 April 1984: 31-38).
Islam
Liberal di Indonesia (Era Reformasi)
Sejak akhir tahun 1990an muncul
kelompok-kelompok anak muda yang menamakan diri kelompok "Islam
Liberal" yang mencoba memberikan respon terhadap permasalahan-permasalahan
yang muncul pada akhir abad ke- 20. Majelis Ulama Indonesia (MUI) melihat
betapa bahayanya pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh kelompok ini,
sehingga pada Munasnya yang ke-7 pada tanggal 25-29 Juli 2005 mengeluarkan
fatwa bahwa pluralisme, sekularisme dan liberalism merupakan paham yang
bertentangan dengan ajaran agama Islam. Oleh sebab itu umat Islam haram hukumnya
mengikuti paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama (Adian Husaini,
t.th: 2-4). Dalam Keputusan MUI No. 7/MUNAS VII/11/2005 dinyatakan bahwa yang
dimaksud dengan liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al Qur’an dan
As-Sunnah) menggunakan akal pikiran yang bebas, dan hanya menerima
doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.
Islam liberal di Indonesia era
reformasi nampak lebih nyata setelah didirikannya sebuah "jaringan"
kelompok diskusi pada tanggal 8 Maret 2001, yang tujuannya adalah untuk
kepentingan pencerahan dan pembebasan pemikiran Islam Indonesia. Usahanya
dilakukan dengan membangun milis ( islamliberal@yahoo.com).
Kegiatan utama kelompok ini adalah berdiskusi tentang hal-hal yang berkaitan
dengan Islam, negara, dan isu-isu kemasyarakatan. Menurut hasil diskusi yang
dirilis pada tanggal 1 Maret 2002, Jaringan Islam Liberal (JIL) mengklaim telah
berhasil menghadirkan 200 orang anggota diskusi yang berasal dari kalangan para
penulis, intelektual dan para pengamat politik. Di antara mereka muncul
nama-nama seperti; Taufik Adnan Amal, Rizal Mallarangeng, Denny JA, Eep
Saefullah Fatah, Hadimulyo, Ulil Abshar-Abdalla, Saiful Muzani, Hamid Basyaib,
Ade Armando dan Luthfi Assaukanie. Tentu tidak semua orang yang hadir diskusi
berarti mendukung ide-ide JIL.
Diskusi awal yang diangkat oleh JIL
adalah seputar definisi dan sikap Islam Liberal seputar isu-isu Islam, negara
dan isu-isu kemasyarakatan. Pendefinisian Islam Liberal diawali dengan kajian
terhadap buku Kurzman yang memilah tradisi keislaman dalam tiga kategori
yakni, customary Islam, fundamentalis atau Wahabis atau
Salafis, dan liberal Islam. Kategori ketiga diklaim sebagai koreksi dan respon
terhadap dua kategori yang disebut pertama. Pertanyaan yang muncul dalam
diskusi awal itu adalah apakah Islam Liberal di Indonesia akan bersifat elitis
dan sekedar membangun wacana atau Islam Liberal yang menyediakan refleksi
empiris, dan memiliki apresiasi terhadap realitas? Kalau Islam Liberal itu
paralel dengan civicculture (pro pluralisme, equal
opportunity, moderasi, trust, tolerance, memiliki sence of
communityyang nasional, lalu di mana Islamnya? Atau Islam Liberal adalah
skeptisisme dan agnostisme yang hidup dalam masyarakat Islam? Diskusi dalam
milis yang panjang akhirnya tidak menyepakati sebuah definisi tentang Islam
Liberal. Tetapi mereka menandai sebuah gerakan dan pemikiran yang mencoba
memberikan respon terhadap kaum modernis, tradisional, dan fundamentalis.[3]
Islam Liberal berkembang melalui
media massa. Surat kabar utama yang menjadi corong pemikiran Islam Liberal
adalah Jawa Pos yang terbit di Surabaya, Tempo di Jakarta dan Radio Kantor
Berita 68 H, Utan Kayu Jakarta. Melalui media tersebut disebarkan
gagasan-gagasan dan penafsiran liberal. Pernah suatu ketika, pemikiran dan
gerakan ini menuai protes bahkan ancaman kekerasan dari lawan-lawan mereka.
Bahkan masyarakat sekitar Utan Kayu pernah juga menuntut Radio dan komunitas
JIL untuk pindah dari lingkungan tersebut. Karya-karya yang dicurigai sebagai
representasi pemikiran liberal Islam dibicarakan dan dikutuk oleh
lawanlawannya, terutama melalui khutbah dan pengajian. Buku seperti Fiqih
Lintas Agama (Tim Penulis Paramadina), Menjadi Muslim
Liberal (Ulil Abshar-Abdalla) Counter-Legal Draft Kompilasi
Hukum Islam (Musda Mulia dkk), Indahnya Perkawinan Antar
Jenis (Jurnal IAIN Walisongo) dan banyak lagi artikel tentang Islam
yang mengikuti arus utama pemikiran liberal. Ketegangan antara yang pro dan
kontra JIL, memuncak setelah keluarnya Fatwa MUI tentang haramnya liberalisme,
sekularisme dan pluralisme pada tahun 2005. Ketegangan sedikit menurun setelah
salah seorang contributor dan sekaligus kordinator JIL, Ulil Abshar-Abdalla
pergi ke luar negeri, belajar ke Amerika Serikat.
Ulil melalui bukunya Menjadi
Muslim Liberal menolak jenis-jenis tafsir keagamaan yang hegemonik,
tidak pluralis, antidemokrasi, yang menurutnya potensial menggerogoti
persendian Islam sendiri. Dengan gaya narasi dan semantik yang
lugas, Ulil misalnya melancarkan kritiknya kepada MUI yang dalam pengamatannya
telah memonopoli penafsiran atas Islam. Fatwa MUI yang menyatakan bahwa
pluralisme, liberalisme, dan sekularisme adalah faham sesat; Ahmadiyah adalah
keluar dari Islam – telah menyalakan emosi Ulil.
Pemikiran Ulil tidak bebas seratus
persen. Sebagai alumni pesantren, ia tetap apresiatif terhadap keilmuan
pesantren. Melalui kolomnya On Being Muslim kita tahu bahwa
Ulil ternyata mendapatkan akar-akar liberalism pemikiran keislamannya juga dari
ilmu-ilmu tradisional seperti ushûl alfiqh, qawâ‘id
al-fiqhiyah yang dahulu diajarkan oleh para ustadznya di pesantren.
Ilmu-ilmu pesantren semacam balaghah dan mantiq (logika)
tampaknya turut melatih Ulil perihal bagaimana menstrukturkan kata dan kalimat,
mensistematisasikan argumen serta mengukuhkan kekuatan dalam bernalar.
Sayangnya, hanya kalangan
fundamentalis saja yang mencoba melakukan perlawanan retorik. Majalah
seperti Sabili, Hidayatullah, dan media-media di
lingkungan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia mencoba untuk memberikan counter opini
terhadap gagasan-gagasan yang diusung oleh JIL. Setelah Ulil pergi, dinamika
pemikiran dan gerakan Islam kontemporer kembali adem ayem.
BAB
III
RUMUSAN MASALAH
Rincian hasil pemikiran JIL tentang
hukum Islam dan masalah-masalah lain sebenarnya belum tertuang secara lengkap,
melainkan masih merupakan letupan-letupan pemikiran keagamaan yang sifatnya
sporadis.
Demikian pula kerangka metodologis
berpikirnya juga belum tertuangkan secara utuh dan jelas. Karena itu, untuk
menganalisisnya secara komprehensif tidaklah mungkin kecuali sekedar
mendasarkan diri pada percikan-percikan pemikiran yang sepotong-sepotong itu.
Menurut Greg Barton, beberapa
karakteristik pemikiran Islam liberal di Indonesia antara lain: 1) senantiasa
mengusung semangat ijtihad; 2) mengusung rasionalisme; 3)
menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi; 4) menjunjung tinggi peran ilmu
pengetahuan; 5) memandang bahwa keinginan mendirikan "negara Islam"
adalah pengalihan perhatian yang merugikan; 6) menerima dan mendukung
pluralisme masyarakat; 7) memegangi prinsip-prinsip humanitarianisme, bahkan
memandangnya sebagai essensi dan jantung Islam; 8). memperjuangkan kesetaraan
gender.
Jika pengamatan Greg Barton itu
benar, maka pemikiran Islam liberal nampaknya positif untuk membuktikan bahwa
Islam adalah agama yang sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Tetapi
nampaknya Greg Barton terlalu bersimpati terhadap pemikiran Islam liberal, atau
ia sebenarnya tidak berpikir mengenai Islam liberal sebagai suatu kelompok atau
jaringan, melainkan hanya sebagai suatu kecenderungan pemikiran. Ia juga tidak
secara eksplisit membedakan antara liberalisasi pemikiran Islam, dan
pembaharuan pemikiran Islam, yang biasa disandang oleh kaum modernis. Tentu
saja, liberalisasi berbeda dengan pembaharuan. Dalam pembaharuan, yang ada
ialah reformulasi pemikiran Islam terhadap teks-teks suci (nash) yang
ada. Sedangkan dalam liberalisasi terkandung makna keberanjakan (departure)
dari teks suci (nash). Dengan kata lain, dalam liberalisme ada unsur
meninggalkan nash. Dan inilah yang ditentang oleh MUI.
Menurut Hartono Ahmad Jaiz, di
antara pendapat-pendapat kaum pendukung Islam liberal adalah sebagai berikut
(Hartono Ahmad Jaiz, 2005: 109-110): 1) Al-Quran adalah teks dan harus dikaji
dengan hermeneutika; 2) Kitab-kitab tafsir klasik itu tidak diperlukan lagi; 3)
Poligami harus dilarang; 4) Mahar dalam perkawinan boleh dibayar oleh suami
atau isteri; 5) Masa iddah juga harus dikenakan kepada
laki-laki, baik cerai hidup ataupun cerai mati; 6) Pernikahan untuk jangka
waktu tertentu boleh hukumnya; 7) Perkawinan dengan orang yang berbeda agama
dibolehkan kepada laki-laki atau perempuan muslim; 8) Bagian warisan untuk anak
laki-laki dan anak perempuan sama 1:1; 9) Anak di luar nikah yang diketahui
secara pasti ayah biologisnya tetap mendapatkan hak warisan dari ayahnya.
Jika pendapat-pendapat di atas
dicermati maka akan Nampak sejumlah kesimpangsiuran cara berpikir JIL, dan
kecen[4]derungan
melonggar-longgarkan aturan agama seperti hendak melihatnya sama seperti aturan
buatan manusia. Untuk lebih jelasnya pendapat-pendapat itu dapat kita lihat
satu-persatu sebagai berikut.
1.
Al-Quran adalah teks dan harus dikaji dengan hermeneutika
Mengkaji Al-Quran sebagai teks
dengan konteks bukanlah sesuatu cara yang terlalu baru. Apalagi istilah
hermeneutika pun mempunyai banyak makna. Ada makna pada tataran filosofis, dan
ada makna pada tataran sosiologis dan historis. Sesungguhnya, ulama tafsir
klasik pun telah menggunakan kajian Asbabun Nuzul yang memberi konteks dari
turunnya sesuatu ayat. Apa yang dikhawatirkan orang ialah bahwa penggunaan
kajian hermeneutika terhadap Al-Quran, akan berarti penerapan kajian biblikal
untuk al-Qur’an, dan memalingkan arti teks Al-Quran dengan dalih hermeneutika.
Ada kekeliruan asumsi di sini, antara perbedaan status teks
Al-Quran
yang selamanya orisinal sebagai wahyu Tuhan, dan teks biblical yang ditulis
oleh orang-orang yang hidup beberapa lama setelah Nabi Isa.
2.
Kitab-kitab tafsir klasik itu tidak diperlukan lagi
Jika ini adalah pendapat JIL, maka
ini adalah pertanda kerancuan berpikir yang jelas, karena komunikasi dengan
pemikiran para mufasir klasik itu sangat diperlukan justeru antara lain untuk
memahami konteksnya, dan memahami konteks masyarakat mereka. Dan pemahaman
konteks itu adalah anjuran dari hermeneutika. Jadi, kalau kitab-kitab klasik
tidak diperlukan lagi, sebenarnya bertentangan dengan anjuran penggunaan
hermeneutika itu sendiri.
3.
Poligami harus dilarang
Pelarangan atas poligami
sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Di Turki dan Tunisia, hal itu sudah
berjalan lama. Tetapi pelarangan itu pun tidak berarti mengubah larangan Islam
yang sudah diatur dalam Al Quran, bahwa poligami itu memang diperbolehkan
dengan syarat-syarat tertentu. Pelarangan poligami di Turki dan Tunisia itu
hanyalah bersifat menon-aktifkan sesuatu aturan syariat pada suatu masa di
suatu tempat tertentu. Hal itu juga pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab
ketika memberhentikan pemberlakukan hukum potong tangan atas pencuri dalam
konteks tertentu pada waktu tertentu dan di tempat tertentu. Umar bin Khattab
sama sekali tidak mengklaim bahwa aturan syariat tentang hukum potong tangan
dalam Al-Quran itu telah ditiadakan. Masalahnya ialah, boleh jadi pada suatu
ketika nanti di suatu masyarakat tertentu, karena peperangan misalnya, akan
terjadi ketidakseimbangan yang besar antara penduduk laki-laki dan perempuan,
dimana jumlah penduduk perempuan jauh melebihi jumlah penduduk laki-laki. Dalam
hal demikian, maka poligami pada saat itu justeru mungkin harus dianjurkan
untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Dengan demikian, teks Al-Quran
tentang kebolehan poligami tidak perlu dihapuskan. Saran penghapusan seperti
itu sesungguhnya menunjukkan kerancuan berpikir antara aturan sebagai hukum dan
pelaksanaan aturan hukum sebagai kemaslahatan di lapangan.
4.
Mahar dalam perkawinan boleh dibayar oleh suami atau isteri
Dalam bahasa Inggris, kata dowry memang
bisa berarti pemberian dari pihak calon suami kepada calon isteri atau
sebaliknya. Pemberian seperti itu tentu saja tidak bermasalah, baik dilakukan
sebelum maupun sesudah perkawinan. Bahkan tukar menukar pemberian pun tentu
baik-baik saja. Tetapi mahar dalam konteks akad nikah adalah pemberian calon
suami kepada calon isteri sebagai simbol bahwa mulai saat itu tanggung jawab
nafkah isteri berada pada pihak suami. Makna simbolik ini tentu tidak bisa
dibalik menjadi pemberian isteri kepada suami.
5.
Masa iddah juga harus dikenakan kepada laki-laki, baik cerai
hidup ataupun cerai mati.
Di sini terjadi kerancuan antara
berpikir hukum dan berpikir psikologis. Masa iddah bagi
perempuan memang mengandung aspek psikologis karena tentu tidak etislah
seseorang perempuan yang baru sehari diceraikan suaminya atau kematian suaminya
kemudian menikah lagi.
Tetapi lebih penting dari itu,
wanita harus menunggu pembuktian ada tidaknya kehamilan di dalam dirinya.
Meskipun alat-alat kedokteran baru mungkin mampu mendeteksi ketiadaan kehamilan
pada hari pertama setelah perceraian atau kematian suami, tetapi kesempurnaan
pemahaman itu baru akan terjadi setelah tiga kali putaran menstruasi atau 4
bulan dan 10 hari setelah kematian suami. Laki-laki pun secara psikologis
memang perlu waktu menunggu setelah perceraian atau kematian istrinya sebelum
melakukan perkawinan baru, tetapi waktu tunggu itu semata-mata masalah
psikologis dan bukan masalah kejelasan keturunan kelak, seperti terjadi pada
perempuan. Jadi memang ada perbedaan antara berpikir secara hukum dan berpikir
secara psikologis.
6.
Pernikahan untuk jangka waktu tertentu boleh hukumnya
Pendapat ini terkesan terpengaruh
oleh pendapat kaum syiah yang selama ini memang memperbolehkan nikah mut’ah atau
kawin untuk jangka waktu tertentu. Nikahmut’ah memang pernah dibolehkan
pada zaman Nabi, tetapi kemudian dilarang kembali. Konteksnya pada waktu itu
ialah bahwa pasukan yang berperang di negeri jauh tidak memungkinkan
berkomunikasi dengan isterinya, karena teknologi komunikasi belum memungkinkan.
Sekarang ketika teknologi komunikasi begitu mudah, ada korespondensi, SMS,
email, telepon suara, telepon bergambar, video, dan sebagainya, maka komunikasi
dapat dilakukan ke manapun suami pergi. Karena itu, usul untuk membuka kembali
pintu nikah mut’ah sebenarnya justeru tidak berpikir
kontekstual. Usul seperti itu lebih dikhawatirkan sebagai upaya
melonggar-longgarkan aturan agama. Apalagi lembaga nikah mut’ah itu memang
telah jelas-jelas dilarang.
7.
Perkawinan dengan orang yang berbeda agama dibolehkan kepada laki-laki atau
perempuan muslim
Sama halnya dengan usul pelarangan
poligami, untuk masalah ini pun perlu pembedaan antara hukum pada tataran
syariat dan pada tataran pelaksanaan. Kita tidak perlu dan tidak boleh
menghapus aturan syariat, tetapi kita boleh menonaktifkan sementara suatu
aturan hukum di tempat tertentu karena illat tertentu, yang
kemudian harus diubah kembali ketika illat itu tidak ada.
Melonggar-longgarkan aturan agama, atau memperketat-ketatkan aturan agama
adalah sama tidak bolehnya. Karena itu fatwa MUI yang mengharamkan laki-laki
muslim kawin dengan non muslim yang ahli kitab adalah juga berlebihan. Fatwa
seperti itu hanya dapat diterima apabila dimaksudkan hanya untuk menjaga
kemaslahatan dalam konteks tertentu untuk waktu tertentu dan di tempat tertentu.
8.
Bagian warisan untuk anak laki-laki dan anak perempuan sama 1:1
Di Turki, Tunisia, dan Somalia,
pernah diberlakukan undang-undang yang mengatur warisan untuk anak laki-laki
dan perempuan adalah sama. Di Indonesia pun, melalui Kompilasi Hukum Islam, hal
itu dapat dilakukan atas kesepakatan bersama antara para ahli waris yang ada,
setelah mereka mengetahui bagiannya masing-masing. Tetapi sekali lagi teks nash
tidak perlu diubah, karena pada suatu ketika mungkin akan terjadi suatu konteks
yang justeru menginginkan apa yang diatur oleh teks nash sekarang ini.
9.
Anak di luar nikah yang diketahui secara pasti ayah biologisnya tetap
mendapatkan hak warisan dari ayahnya
Lagi-lagi di sini terjadi kerancuan
antara berpikir hukum dan berpikir non-hukum. Nikah adalah suatu lembaga yang
secara hukum memberikan legalitas. Pada sisi lain, hak warisan adalah salah
satu bentuk hak hukum. Karena itu, berbicara hak warisan harus didasarkan
kepada hak-hak hukum, dan hak hukum hanya ada pada legalitas.
Demikianlah beberapa catatan di
seputar berbagai pemikiran kaum Islam liberal di Indonesia. Agar supaya
perdebatan pemikiran itu lebih sehat, sebaiknya mereka yang mengumandangkan
pembaruan atau liberalisasi atau apapun namanya, merumuskan secara cermat dan
menyeluruh kerangka berpikir metodologis mereka, sehingga tidak sekedar
menimbulkan kontroversi yang sesungguhnya sia-sia dan tidak berujung.
BAB IV
PENUTUP
A.Kesimpulan
Berfikir adalah salah satu anjuran dalam islam, karena dia
adalah pintu gerbang pengetahuan, dan salah satu wasilah seorang hamba untuk
mengetahui bukti-bukti akan adanya Sang Maha Pencipta lagi Maha Perkasa, yang
menjadikan hambanya semakin bertambah keimanan dan ketaqwaannya. Namun berfikir
pula dapat menjadikan seorang hambanya tersesat dari jalanNya, ketika hamba ini
hanya mengandalkan fikiran dan melupakan hati nurani dan ajaran rasulnya.
Demikianlah sedikit tentang paham Liberalis ini, semoga
dengan sedikit ini kita semua menjadi tidak puas dan berusaha untuk mencari
lebih banyak lagi pengetahuan tentang paham ini (khususnya) dan
pengetahuan-pengetahuan lain (umumnya). Tak lupa juga saya berharap kritik dan
koreksi dari teman- teman sekalian dari makalah ini, karena saya yakin banyak
sekali kekurangan dan kesalahan baik dari penulisan ataupun penyusunannya atau
mungkin pengambilan sumber referensinya.
Keberadaan
islam radikal di Indonesia ini masih kontroversi, sebagian orang ada yang
berpendapat tidak ada, karena bila dikatakan ada kemungkinan itu hanya untuk
memecah umat islam dan biasanya hanya orang yang tidak suka dengan islamlah
yang mengatakan bahwa islam radikal itu ada. Namun, sebenarnya inilah
propaganda kaum kafir yang menginginkan islam itu dipandang buruk, islam
dipandang agama yang penuh dengan kekerasan dan dipandang senbagai teroris.
Sebagai penutup ada baiknya, kita semua merenungkan sebuah
firman Allah subkhanallahu wata'âla; "Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil sebagai wali' (pemimpin, teman kepercayaan,
panutan) orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan
permainan."(Al-Mâidah:57)
No comments:
Post a Comment