Sunday, December 28, 2014

PERKEMBANGAN ISLAM LIBERAL DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

Pertengahan tahun 2001, nama "islam liberal" mulai dikenal luas di indonesia. Dengan semboyannya yang indah menawan,"islam yang membebaskan ", kelompok ini kemudian mengusung bendera" jaringan islam liberal"atau yang biasa disebut JIL, mampu menarik banyak perhatian dari berbagai kalangan, baik yang pro maupun yang kontra. Keberadaan JIL cukup menyita perhatian masyarakat muslim indonesia, karena pesan-pesan atau wacana-wacana kontroversial yang dibawa oleh kelompok ini. Misalnya: pertama, tentang teologi inklusif-pluralis; suatu gagasan yang menyamakan semua agama. Kedua, penolakan kelompok ini terhadap syariat islam, karena mereka menilai memberangus kebebasan. Ketiga, tujuan dibentuknya JIL, yaitu untuk menghentikan (menurut penilaian mereka) gerakan islam Fundamentalis atau Islam Militan yang mereka nilai berbahaya untuk perkembangan demokratisasi. Dan mungkin masih sangat banyak lagi tentang pemikiran- pemikiran kelompok ini yang kontrofersial dengan pemahaman umat islam di indonesia.
Dari itu , dalam makalah yang sederhana ini penulis akan berusaha menyingkap sedikit sepak terjang kelompok ini, yang mungkin sampai hari ini masih menjadi perdebatan banyak kalangan di negara kita. namun sangat tidak mungkin dalam makalah ini akan mencakup semuanya. Mengingat keterbatasan waktu dan suatu hal lainya , tulisan ini hanya akan berbicara seputar pengertian, sejarah, tujuan di dirikan , beberapa pemahaman, dan pendapat ulama' mengenai kelompok ini.
Arti kata Islam liberal tidak selamanya jelas. Leonard Binder, seorang guru besar UCLA, ketika menulis buku berjudul Islamic Liberalism (University of Chicago Press, 1988) memberinya arti "Islamic political liberalism" dengan penerapannya pada negara-negara Muslim di Timur Tengah. Mungkin di luar dugaan sebagian orang, buku itu selain menyajikan pendapat Ali Abd Raziq (Mesir) yang memang liberal karena tidak melihat adanya konsep atau anjuran negara Islam, tetapi juga membahas pikiran Maududi (Pakistan) yang tentu saja lebih tepat disebut sebagai tokoh fundamentalis atau revivalis.
Sebaliknya bagi Greg Barton, dalam bukunya berjudul Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Penerbit Paramadina, Jakarta, 1999) istilah "Islamic liberalism" nampaknya cukup jelas. Dalam bukunya yang berasal dari disertasi itu ia mengatakan bahwa Islam liberal di Indonesia adalah sama dengan pembaruan Islam atau Islam neo-modernis. Selanjutnya, dalam penelitian yang mengcover periode 1968-1980 itu, Barton membatasi diri pada pemikiran empat orang tokoh dari kaum neo-modernis, yaitu Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid.
Seperti diketahui, istilah neo-modernis berasal dari Fazlur Rahman, seorang tokoh neo-modernis muslim asal Pakistan yang terakhir menjadi Guru Besar studi keislaman di Universita[1]s Chicago. Fazlur Rahman,sebagaimana dikutip Greg Barton, membedakan gerakan pembaruan Islam dalam dua abad terakhir kepada empat macam, yaitu: revivalisme Islam, modernisme Islam, neo-revivalisme Islam, dan neo-modernisme Islam.
Dengan revivalisme Islam dimaksudkan gerakan pada abad ke-18 yang diwakili oleh Wahhabiyyah di Arab, Sanusiyyah di Afrika Utara, dan Fulaniyyah di Afrika Barat. Sedangkan modernisme Islam di pelopori oleh Sayyid Ahmad Khan (W 1898) di India, Jamaluddin al-Afghani (W 1897) di Timur Tengah, dan Muhammad Abduh (W 1905) di Mesir. Adapun neo-revivalisme diwakili oleh Maududi dengan organisasinya yang terkenal, Jama’ati Islami, di Pakistan. Kemudian neo-modernisme Islam contohnya ialah Fazlur Rahman sendiri dengan karakteristik sintesis progresif dari rasionalitas modernis dengan ijtihad dan tradisi klasik (Greg Barton, 1999:9). Meskipun tipologi Fazlur Rahman ini dimaksudkan untuk seluruh dunia Islam, tetapi tipologi keempat diwakili juga oleh tokoh-tokoh Indonesia, khususnya empat orang yang disebutkan di atas.
Di Indonesia terdapat beberapa buku yang sering dinilai sebagai pendapat kelompok Islam liberal, dua diantaranya ialah buku Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Jakarta, 2005) yang ditulis oleh Tim Pengarusutamaan Gender pimpinan Musdah Mulia dan buku Fiqih Lintas Agama (Jakarta: Paramadina, 2004). Kalau kita cermati isi kedua buku itu terlihatlah bahwa banyak pendapat dan argumen di dalam kedua buku itu yang sama atau mungkin diambil dari pikiran-pikiran Muhammad Syahrur, seorang sarjana teknik Syria yang pernah belajar di Moskow, tetapi kemudian mengarang banyak buku tentang Islam, diantaranya yang terkenal ialah Nahw Ushûl Jadîdah fî al-Fiqh al-Islâmî yang telah diterbitkan juga dalam bahasa Indonesia dengan judul Metodologi Fiqih Islam Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ, 2004). Ini berarti bahwa pemikiran Islam liberal Indonesia bukanlah original, tetapi pengaruh literatur internasional. Apalagi Fazlur Rahman memang adalah guru Nurcholish Madjid dan mempunyai hubungan dengan kaum pemikir Islam Indonesia. Pemikir Timur Tengah lain yang mempunyai pengaruh terhadap pemikiran Islam liberal di Indonesia khususnya mengenai penggunaan hermeneutik untuk memahami Al Qur’an adalah Hamid Nasr Abu Zaid.


BAB II
PEMBAHASAN

Apa itu Islam liberal dan Mengapa disebut Islam Liberal?

“Islam liberal” sejatinya pembangkangan diri dan pemikiran melalui gerakan, yayasan, kantor berita, gerakan politik terhadap islam ala Nabi Muhammad SAW. Pemikiran Islam (klaim mereka) menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. Tujuan JIL adalah menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat dengan dukungan Yahudi Internasional yang bercokol kuat di Indonesia dan dukungan pemerintah AS melalui Asia Foundation yang disokong oleh CIA dan Imperialisme Barat dan kini menguasai Universitas Paramadina dan UIN Syarif hidayatullah Jakarta.
JIL lebih mirip kepanjangan imperalisme Barat atas dunia Islam yang dicarikan bentuk pembenarannya dari khazanah Islam. Dari segi politis, ada benang merah dengan CIA.  JIL yang resmi hadir sekitar Maret 2001— impact penting yang timbul dari lahirnya gudang pemikiran itu adalah lahirnya atmosfir ‘ndableg alias konyol’ yang oleh kebanyakan pengikutnya disebut dengan istilah “kekritisan berfikir”. Mereka begitu semangat ‘mengkritisi’ Al-Qur’an, menolak beberapa nash hadits-hadish shahih, serta menuduh para ulama’ sebagai kelompok konservatif. Dilain pihak, mereka bahkan teramat sibuk bergelut dengan referensi-referensi liberal. Bacaan-bacaan wajib mereka, kini Tahrirul Mar’ah milik Qasim Amin, The Spirit of Islam-nya Amir Ali, serta Al Islam wa Ushul Al Hukmi yang sesungguhnya hanya jiplakan dari tulisan orientalis Inggris Thomas W. Arnold.
Nama-nama semisal, Sayid Ahmad Khand, Arkeun, Ali Abdul Razik, Charles Kuzman, Fatimah Marnissi, Nasir Hamid Abu Zaid dan Fadzlurrahman seolah-olah “kitab suci” baru yang kini melekat di otak mereka. Di saat yang sama, mereka mulai tampak malas menelaah Al-Qur’an, bahkan boleh jadi mules (muak, red) jika mendengar dalil-dalil dari hadits.
Kalau kita mengamati dengan seksama tentang agenda-agenda JIL, maka kita akan menemukan korelasi antara imperialisme barat dan agenda JIL. Luthfi Asy-Syaukanie, salah satu motor JIL pernah menyebut dengan jujur empat agenda utama lahirnya Islam Liberal. Pertama, agenda politik, Kedua, agenda toleransi agama, Ketiga, agenda emansipasi wanita, dan Keempat, agenda kebebasan berekpresi.
Dalam agenda politik, misalnya, kaum muslimin “diarahkan” oleh JIL untuk mempercayai sekularisme, dan menolak sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Dalam agenda plurarisme, kelompok ini menyeru bahwa semua agama adalah benar, tidak boleh ada truth claim. Agenda emansipasi wanita, seperti menyamaratakan secara absolut peran atau hak pria dan wanita tanpa kecuali, dan agenda kebebasan berekspresi, seperti hak untuk tidak beragama, tak jauh bedanya dengan agenda politik di atas. Semua ide-ide ini pada ujung-ujungnya, pada muaranya, kembali kepada ideologi dan kepentingan imperialis. [2]

Adian Husaini dan Nuim Hidayat menandaskan, Karena itu, sulit sekali-untuk untuk tidak mengatakan --minimal mustahil-- mencari akar pemikiran-pemikiran tersebut dari Islam itu sendiri secara murni, kecuali setelah melalui pemerkosaan teks-teks Al-Qur’an dan As-Sunnah. Misalnya teologi pluralisme yang menganggap semua agama benar, sebenarnya berasal dari hasil Konsili Vatikan II 1963-1965) yang merevisi prinsip extra ecclesium nulla salus (di luar Katolik tak ada keselamatan) menjadi teologi inklusif-pluralis, yang menyatakan keselamatan dimungkinkan ada di luar Katolik. (Islam Liberal: "Sejarah, Konsepsi dan Penyimpangannya", Adian Husaini dan Nuim Hidayat).
Selain itu, dari kerangka ideologi, ide-ide JIL sendiri, dapatlah kiranya dinyatakan sebagai ide-ide kapitalisme. Luthfi Asy-Syaukanie dalam bukunya Wajah Liberal Islam di Indonesia (2002) telah berhasil menyajikan deskripsi dan peta ide-ide JIL. Jika dikritisi, kesimpulannya adalah di sana ada banyak contekan sempurna terhadap ideologi kapitalisme.
Tentu ada kreativitas dan modifikasi. Khususnya pencarian ayat atau hadits atau preseden sejarah yang kemudian ditafsirkan secara paksa agar cocok dengan kapitalisme. Ide-ide besar kapitalisme itu antara lain; (1) sekularisme, (2) demokrasi, dan (3) kebebasan. Dukungan kepada sekularisme --pengalaman partikular Barat-- nampak begitu getolnya mereka melakukan penolakan terhadap bentuk sistem pemerintahan Islam (khilafah), dan penolakan yang begitu bersemangat terhadap syariat Islam. Tetapi mereka menerima begitu saja semua gagasan demokrasi tanpa ada nalar kritis. Istilahnya, mereka cepat-cepat ‘melek’ (terbelalak) jika mengkritisi Islam, tapi buru-buru buta (pura-pura tak melihat) jika sumber-sumber itu datangnya dari Barat.
Kentalnya ide-ide pokok kapitalisme dan berbagai derivatnya ini, masih ditambah dengan suatu metode berpikir yang kapitalistik pula, yaitu menjadikan ideologi kapitalisme sebagai standar pemikiran. Meminjam bahasa Al Jawi, ide-ide kapitalisme diterima lebih dulu secara taken for granted dan dianggap benar secara absolut, tanpa pemberian peluang untuk didebat (ghair qabli li an-niqasy) dan tanpa ada kesempatan untuk diubah (ghair qabli li at-taghyir). Lalu ide-ide kapitalisme itu dijadikan cara pandang (dan hakim!) untuk menilai dan mengadili Islam.







A.Perkembangan Islam Liberal di Indonesia

Islam Liberal di Indonesia (Era Orde Baru)
Sejak awal tahun 1970-an, bersamaan dengan munculnya Orde Baru yang memberikan tantangan tersendiri bagi umat Islam, beberapa cendekiawan Muslim mencoba memberikan respon terhadap situasi yang dinilai tidak memberi kebebasan berpikir. Kelompok inilah yang kemudian memunculkan ide-ide tentang "Pembaharuan Pemikiran Islam". Kelompok ini mencoba menafsirkan Islam tidak hanya secara tekstual tetapi justru lebih ke penafsiran kontekstual. Mereka dapat digolongkan sebagai Islam liberal dalam arti menolak taklid, menganjurkan ijtihad, serta menolak otoritas bahwa hanya individu atau kelompok tertentu yang berhak menafsirkan ajaran Islam.
Menurut Fachri Aly dan Bactiar Effendi (1986: 170-173) terdapat sedikitnya empat versi Islam liberal, yaitu modernisme, universalisme, sosialisme demokrasi, dan neo modernisme. Modernisme mengembangkan pola pemikiran yang menekankan pada aspek rasionalitas dan pembaruan pemikiran Islam sesuai dengan kondisi-kondisi modern. Tokoh-tokoh yang dianggap mewakili pemikiran modernisme antara lain Ahmad Syafii Ma‘arif, Nurcholish Madjid, dan Djohan Effendi. Adapun universalisme sesungguhnya merupakan pendukung modernisme yang secara spesifik berpendapat bahwa, pada dasarnya Islam itu bersifat universal. Betul bahwa Islam berada dalam konteks nasional, tetapi nasionalisasi itu bukanlah tujuan final Islam itu sendiri. Karena itu, pada dasarnya, mereka tidak mengenal dikotomi antara nasionalisme dan Islamisme. Keduanya saling menunjang. Masalah akan muncul kalau Islam yang me-nasional atau melokal itu menyebabkan terjadinya penyimpangan terhadap hakikat Islam yang bersifat universal. Pola pemikiran ini, secara samar-samar terlihat pada pemikiran Jalaluddin Rahmat, M. Amien Rais, A.M. Saefuddin, Endang Saefudin Anshari dan mungkin juga Imaduddin Abdul Rahim.
Pola pemikiran sosialisme–demokrasi menganggap bahwa kehadiran Islam harus memberi makna pada manusia. Untuk mencapai tujuan ini, Islam harus menjadi kekuatan yang mampu menjadi motivator secara terus menerus dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Para pendukung sosialis-demokrasi melihat bahwa struktur sosial politik dan, terutama, ekonomi di beberapa negara Islam termasuk Indonesia, masih belum mencerminkan makna kemanusiaan, sehingga dapat dikatakan belum Islami. Proses Islamisasi, dengan demikian, bukanlah sesuatu yang formalistik. Islamisasi dalam refleksi pemikiran mereka adalah karya-karya produktif yang berorientasi kepada perubahan-perubahan sosial ekonomi dan politik menuju terciptanya masyarakat yang adil dan demokratis. Adi Sasono, M. Dawam Rahardjo, serta Kuntowidjojo dapat dimasukkan dalam pola pemikiran ini.
Sedangkan neo modernisme mempunyai asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan dalam proses pergulatan modernisme. Bahkan kalau mungkin, Islam diharapkan menjadi leading ism (ajaran-ajaran yang memimpin) di masa depan. Namun demikian, hal itu tidak berarti menghilangkan tradisi keislaman yang telah mapan. Hal ini melahirkan postulat (dalilal-muhâfazhat ‘alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdu bi al-jadîd alashlah (memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Pada sisi lain, pendukung neo modernisme cenderung meletakkan dasar-dasar keislaman dalam konteks atau lingkup nasional.
Mereka percaya bahwa betapapun, Islam bersifat universal, namun kondisikondisi suatu bangsa, secara tidak terelakkan, pasti berpengaruh terhadap Islam itu sendiri. Ada dua tokoh intelektual yang menjadi pendukung utama neo modernisme ini adalah Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid.
Tampaknya pemikiran Nurcholish (Prisma, nomor ekstra, 1984: 10-22), lebih dipengaruhi oleh ide Fazlur Rahman, gurunya di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Sedang pemikiran neo modernisme Abdurrahman Wahid telah dibentuk sejak awal karena ia dibesarkan dalam kultur ahlussunnah wal jama’ah versi Indonesia, kalangan NU. Karena itu, ide-ide keislamannya tampak jauh lebih empiris, terutama dalam pemikirannya tentang hubungan Islam dan politik. (Prisma, Nomor ekstra, 1984: 3-9; dan Prisma, 4 April 1984: 31-38).


Islam Liberal di Indonesia (Era Reformasi)
Sejak akhir tahun 1990an muncul kelompok-kelompok anak muda yang menamakan diri kelompok "Islam Liberal" yang mencoba memberikan respon terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul pada akhir abad ke- 20. Majelis Ulama Indonesia (MUI) melihat betapa bahayanya pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh kelompok ini, sehingga pada Munasnya yang ke-7 pada tanggal 25-29 Juli 2005 mengeluarkan fatwa bahwa pluralisme, sekularisme dan liberalism merupakan paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Oleh sebab itu umat Islam haram hukumnya mengikuti paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama (Adian Husaini, t.th: 2-4). Dalam Keputusan MUI No. 7/MUNAS VII/11/2005 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al Qur’an dan As-Sunnah) menggunakan akal pikiran yang bebas, dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.
Islam liberal di Indonesia era reformasi nampak lebih nyata setelah didirikannya sebuah "jaringan" kelompok diskusi pada tanggal 8 Maret 2001, yang tujuannya adalah untuk kepentingan pencerahan dan pembebasan pemikiran Islam Indonesia. Usahanya dilakukan dengan membangun milis ( islamliberal@yahoo.com). Kegiatan utama kelompok ini adalah berdiskusi tentang hal-hal yang berkaitan dengan Islam, negara, dan isu-isu kemasyarakatan. Menurut hasil diskusi yang dirilis pada tanggal 1 Maret 2002, Jaringan Islam Liberal (JIL) mengklaim telah berhasil menghadirkan 200 orang anggota diskusi yang berasal dari kalangan para penulis, intelektual dan para pengamat politik. Di antara mereka muncul nama-nama seperti; Taufik Adnan Amal, Rizal Mallarangeng, Denny JA, Eep Saefullah Fatah, Hadimulyo, Ulil Abshar-Abdalla, Saiful Muzani, Hamid Basyaib, Ade Armando dan Luthfi Assaukanie. Tentu tidak semua orang yang hadir diskusi berarti mendukung ide-ide JIL.
Diskusi awal yang diangkat oleh JIL adalah seputar definisi dan sikap Islam Liberal seputar isu-isu Islam, negara dan isu-isu kemasyarakatan. Pendefinisian Islam Liberal diawali dengan kajian terhadap buku Kurzman yang memilah tradisi keislaman dalam tiga kategori yakni, customary Islam, fundamentalis atau Wahabis atau Salafis, dan liberal Islam. Kategori ketiga diklaim sebagai koreksi dan respon terhadap dua kategori yang disebut pertama. Pertanyaan yang muncul dalam diskusi awal itu adalah apakah Islam Liberal di Indonesia akan bersifat elitis dan sekedar membangun wacana atau Islam Liberal yang menyediakan refleksi empiris, dan memiliki apresiasi terhadap realitas? Kalau Islam Liberal itu paralel dengan civicculture (pro pluralisme, equal opportunity, moderasi, trust, tolerance, memiliki sence of communityyang nasional, lalu di mana Islamnya? Atau Islam Liberal adalah skeptisisme dan agnostisme yang hidup dalam masyarakat Islam? Diskusi dalam milis yang panjang akhirnya tidak menyepakati sebuah definisi tentang Islam Liberal. Tetapi mereka menandai sebuah gerakan dan pemikiran yang mencoba memberikan respon terhadap kaum modernis, tradisional, dan fundamentalis.[3]
Islam Liberal berkembang melalui media massa. Surat kabar utama yang menjadi corong pemikiran Islam Liberal adalah Jawa Pos yang terbit di Surabaya, Tempo di Jakarta dan Radio Kantor Berita 68 H, Utan Kayu Jakarta. Melalui media tersebut disebarkan gagasan-gagasan dan penafsiran liberal. Pernah suatu ketika, pemikiran dan gerakan ini menuai protes bahkan ancaman kekerasan dari lawan-lawan mereka. Bahkan masyarakat sekitar Utan Kayu pernah juga menuntut Radio dan komunitas JIL untuk pindah dari lingkungan tersebut. Karya-karya yang dicurigai sebagai representasi pemikiran liberal Islam dibicarakan dan dikutuk oleh lawanlawannya, terutama melalui khutbah dan pengajian. Buku seperti Fiqih Lintas Agama (Tim Penulis Paramadina), Menjadi Muslim Liberal (Ulil Abshar-Abdalla) Counter-Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Musda Mulia dkk), Indahnya Perkawinan Antar Jenis (Jurnal IAIN Walisongo) dan banyak lagi artikel tentang Islam yang mengikuti arus utama pemikiran liberal. Ketegangan antara yang pro dan kontra JIL, memuncak setelah keluarnya Fatwa MUI tentang haramnya liberalisme, sekularisme dan pluralisme pada tahun 2005. Ketegangan sedikit menurun setelah salah seorang contributor dan sekaligus kordinator JIL, Ulil Abshar-Abdalla pergi ke luar negeri, belajar ke Amerika Serikat.
Ulil melalui bukunya Menjadi Muslim Liberal menolak jenis-jenis tafsir keagamaan yang hegemonik, tidak pluralis, antidemokrasi, yang menurutnya potensial menggerogoti persendian Islam sendiriDengan gaya narasi dan semantik yang lugas, Ulil misalnya melancarkan kritiknya kepada MUI yang dalam pengamatannya telah memonopoli penafsiran atas Islam. Fatwa MUI yang menyatakan bahwa pluralisme, liberalisme, dan sekularisme adalah faham sesat; Ahmadiyah adalah keluar dari Islam – telah menyalakan emosi Ulil.
Pemikiran Ulil tidak bebas seratus persen. Sebagai alumni pesantren, ia tetap apresiatif terhadap keilmuan pesantren. Melalui kolomnya On Being Muslim kita tahu bahwa Ulil ternyata mendapatkan akar-akar liberalism pemikiran keislamannya juga dari ilmu-ilmu tradisional seperti ushûl alfiqhqawâ‘id al-fiqhiyah yang dahulu diajarkan oleh para ustadznya di pesantren. Ilmu-ilmu pesantren semacam balaghah dan mantiq (logika) tampaknya turut melatih Ulil perihal bagaimana menstrukturkan kata dan kalimat, mensistematisasikan argumen serta mengukuhkan kekuatan dalam bernalar.
Sayangnya, hanya kalangan fundamentalis saja yang mencoba melakukan perlawanan retorik. Majalah seperti SabiliHidayatullah, dan media-media di lingkungan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia mencoba untuk memberikan counter opini terhadap gagasan-gagasan yang diusung oleh JIL. Setelah Ulil pergi, dinamika pemikiran dan gerakan Islam kontemporer kembali adem ayem.






BAB  III
RUMUSAN MASALAH

Rincian hasil pemikiran JIL tentang hukum Islam dan masalah-masalah lain sebenarnya belum tertuang secara lengkap, melainkan masih merupakan letupan-letupan pemikiran keagamaan yang sifatnya sporadis.
Demikian pula kerangka metodologis berpikirnya juga belum tertuangkan secara utuh dan jelas. Karena itu, untuk menganalisisnya secara komprehensif tidaklah mungkin kecuali sekedar mendasarkan diri pada percikan-percikan pemikiran yang sepotong-sepotong itu.
Menurut Greg Barton, beberapa karakteristik pemikiran Islam liberal di Indonesia antara lain: 1) senantiasa mengusung semangat ijtihad; 2) mengusung rasionalisme; 3) menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi; 4) menjunjung tinggi peran ilmu pengetahuan; 5) memandang bahwa keinginan mendirikan "negara Islam" adalah pengalihan perhatian yang merugikan; 6) menerima dan mendukung pluralisme masyarakat; 7) memegangi prinsip-prinsip humanitarianisme, bahkan memandangnya sebagai essensi dan jantung Islam; 8). memperjuangkan kesetaraan gender.
Jika pengamatan Greg Barton itu benar, maka pemikiran Islam liberal nampaknya positif untuk membuktikan bahwa Islam adalah agama yang sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Tetapi nampaknya Greg Barton terlalu bersimpati terhadap pemikiran Islam liberal, atau ia sebenarnya tidak berpikir mengenai Islam liberal sebagai suatu kelompok atau jaringan, melainkan hanya sebagai suatu kecenderungan pemikiran. Ia juga tidak secara eksplisit membedakan antara liberalisasi pemikiran Islam, dan pembaharuan pemikiran Islam, yang biasa disandang oleh kaum modernis. Tentu saja, liberalisasi berbeda dengan pembaharuan. Dalam pembaharuan, yang ada ialah reformulasi pemikiran Islam terhadap teks-teks suci (nash) yang ada. Sedangkan dalam liberalisasi terkandung makna keberanjakan (departure) dari teks suci (nash). Dengan kata lain, dalam liberalisme ada unsur meninggalkan nash. Dan inilah yang ditentang oleh MUI.
Menurut Hartono Ahmad Jaiz, di antara pendapat-pendapat kaum pendukung Islam liberal adalah sebagai berikut (Hartono Ahmad Jaiz, 2005: 109-110): 1) Al-Quran adalah teks dan harus dikaji dengan hermeneutika; 2) Kitab-kitab tafsir klasik itu tidak diperlukan lagi; 3) Poligami harus dilarang; 4) Mahar dalam perkawinan boleh dibayar oleh suami atau isteri; 5) Masa iddah juga harus dikenakan kepada laki-laki, baik cerai hidup ataupun cerai mati; 6) Pernikahan untuk jangka waktu tertentu boleh hukumnya; 7) Perkawinan dengan orang yang berbeda agama dibolehkan kepada laki-laki atau perempuan muslim; 8) Bagian warisan untuk anak laki-laki dan anak perempuan sama 1:1; 9) Anak di luar nikah yang diketahui secara pasti ayah biologisnya tetap mendapatkan hak warisan dari ayahnya.
Jika pendapat-pendapat di atas dicermati maka akan Nampak sejumlah kesimpangsiuran cara berpikir JIL, dan kecen[4]derungan melonggar-longgarkan aturan agama seperti hendak melihatnya sama seperti aturan buatan manusia. Untuk lebih jelasnya pendapat-pendapat itu dapat kita lihat satu-persatu sebagai berikut.
1. Al-Quran adalah teks dan harus dikaji dengan hermeneutika
Mengkaji Al-Quran sebagai teks dengan konteks bukanlah sesuatu cara yang terlalu baru. Apalagi istilah hermeneutika pun mempunyai banyak makna. Ada makna pada tataran filosofis, dan ada makna pada tataran sosiologis dan historis. Sesungguhnya, ulama tafsir klasik pun telah menggunakan kajian Asbabun Nuzul yang memberi konteks dari turunnya sesuatu ayat. Apa yang dikhawatirkan orang ialah bahwa penggunaan kajian hermeneutika terhadap Al-Quran, akan berarti penerapan kajian biblikal untuk al-Qur’an, dan memalingkan arti teks Al-Quran dengan dalih hermeneutika. Ada kekeliruan asumsi di sini, antara perbedaan status teks
Al-Quran yang selamanya orisinal sebagai wahyu Tuhan, dan teks biblical yang ditulis oleh orang-orang yang hidup beberapa lama setelah Nabi Isa.
2. Kitab-kitab tafsir klasik itu tidak diperlukan lagi
Jika ini adalah pendapat JIL, maka ini adalah pertanda kerancuan berpikir yang jelas, karena komunikasi dengan pemikiran para mufasir klasik itu sangat diperlukan justeru antara lain untuk memahami konteksnya, dan memahami konteks masyarakat mereka. Dan pemahaman konteks itu adalah anjuran dari hermeneutika. Jadi, kalau kitab-kitab klasik tidak diperlukan lagi, sebenarnya bertentangan dengan anjuran penggunaan hermeneutika itu sendiri.
3. Poligami harus dilarang
Pelarangan atas poligami sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Di Turki dan Tunisia, hal itu sudah berjalan lama. Tetapi pelarangan itu pun tidak berarti mengubah larangan Islam yang sudah diatur dalam Al Quran, bahwa poligami itu memang diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Pelarangan poligami di Turki dan Tunisia itu hanyalah bersifat menon-aktifkan sesuatu aturan syariat pada suatu masa di suatu tempat tertentu. Hal itu juga pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab ketika memberhentikan pemberlakukan hukum potong tangan atas pencuri dalam konteks tertentu pada waktu tertentu dan di tempat tertentu. Umar bin Khattab sama sekali tidak mengklaim bahwa aturan syariat tentang hukum potong tangan dalam Al-Quran itu telah ditiadakan. Masalahnya ialah, boleh jadi pada suatu ketika nanti di suatu masyarakat tertentu, karena peperangan misalnya, akan terjadi ketidakseimbangan yang besar antara penduduk laki-laki dan perempuan, dimana jumlah penduduk perempuan jauh melebihi jumlah penduduk laki-laki. Dalam hal demikian, maka poligami pada saat itu justeru mungkin harus dianjurkan untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Dengan demikian, teks Al-Quran tentang kebolehan poligami tidak perlu dihapuskan. Saran penghapusan seperti itu sesungguhnya menunjukkan kerancuan berpikir antara aturan sebagai hukum dan pelaksanaan aturan hukum sebagai kemaslahatan di lapangan.
4. Mahar dalam perkawinan boleh dibayar oleh suami atau isteri
Dalam bahasa Inggris, kata dowry memang bisa berarti pemberian dari pihak calon suami kepada calon isteri atau sebaliknya. Pemberian seperti itu tentu saja tidak bermasalah, baik dilakukan sebelum maupun sesudah perkawinan. Bahkan tukar menukar pemberian pun tentu baik-baik saja. Tetapi mahar dalam konteks akad nikah adalah pemberian calon suami kepada calon isteri sebagai simbol bahwa mulai saat itu tanggung jawab nafkah isteri berada pada pihak suami. Makna simbolik ini tentu tidak bisa dibalik menjadi pemberian isteri kepada suami.
5. Masa iddah juga harus dikenakan kepada laki-laki, baik cerai hidup ataupun cerai mati.
Di sini terjadi kerancuan antara berpikir hukum dan berpikir psikologis. Masa iddah bagi perempuan memang mengandung aspek psikologis karena tentu tidak etislah seseorang perempuan yang baru sehari diceraikan suaminya atau kematian suaminya kemudian menikah lagi.
Tetapi lebih penting dari itu, wanita harus menunggu pembuktian ada tidaknya kehamilan di dalam dirinya. Meskipun alat-alat kedokteran baru mungkin mampu mendeteksi ketiadaan kehamilan pada hari pertama setelah perceraian atau kematian suami, tetapi kesempurnaan pemahaman itu baru akan terjadi setelah tiga kali putaran menstruasi atau 4 bulan dan 10 hari setelah kematian suami. Laki-laki pun secara psikologis memang perlu waktu menunggu setelah perceraian atau kematian istrinya sebelum melakukan perkawinan baru, tetapi waktu tunggu itu semata-mata masalah psikologis dan bukan masalah kejelasan keturunan kelak, seperti terjadi pada perempuan. Jadi memang ada perbedaan antara berpikir secara hukum dan berpikir secara psikologis.
6. Pernikahan untuk jangka waktu tertentu boleh hukumnya
Pendapat ini terkesan terpengaruh oleh pendapat kaum syiah yang selama ini memang memperbolehkan nikah mut’ah atau kawin untuk jangka waktu tertentu. Nikahmut’ah memang pernah dibolehkan pada zaman Nabi, tetapi kemudian dilarang kembali. Konteksnya pada waktu itu ialah bahwa pasukan yang berperang di negeri jauh tidak memungkinkan berkomunikasi dengan isterinya, karena teknologi komunikasi belum memungkinkan. Sekarang ketika teknologi komunikasi begitu mudah, ada korespondensi, SMS, email, telepon suara, telepon bergambar, video, dan sebagainya, maka komunikasi dapat dilakukan ke manapun suami pergi. Karena itu, usul untuk membuka kembali pintu nikah mut’ah sebenarnya justeru tidak berpikir kontekstual. Usul seperti itu lebih dikhawatirkan sebagai upaya melonggar-longgarkan aturan agama. Apalagi lembaga nikah mut’ah itu memang telah jelas-jelas dilarang.
7. Perkawinan dengan orang yang berbeda agama dibolehkan kepada laki-laki atau perempuan muslim
Sama halnya dengan usul pelarangan poligami, untuk masalah ini pun perlu pembedaan antara hukum pada tataran syariat dan pada tataran pelaksanaan. Kita tidak perlu dan tidak boleh menghapus aturan syariat, tetapi kita boleh menonaktifkan sementara suatu aturan hukum di tempat tertentu karena illat tertentu, yang kemudian harus diubah kembali ketika illat itu tidak ada. Melonggar-longgarkan aturan agama, atau memperketat-ketatkan aturan agama adalah sama tidak bolehnya. Karena itu fatwa MUI yang mengharamkan laki-laki muslim kawin dengan non muslim yang ahli kitab adalah juga berlebihan. Fatwa seperti itu hanya dapat diterima apabila dimaksudkan hanya untuk menjaga kemaslahatan dalam konteks tertentu untuk waktu tertentu dan di tempat tertentu.

8. Bagian warisan untuk anak laki-laki dan anak perempuan sama 1:1
Di Turki, Tunisia, dan Somalia, pernah diberlakukan undang-undang yang mengatur warisan untuk anak laki-laki dan perempuan adalah sama. Di Indonesia pun, melalui Kompilasi Hukum Islam, hal itu dapat dilakukan atas kesepakatan bersama antara para ahli waris yang ada, setelah mereka mengetahui bagiannya masing-masing. Tetapi sekali lagi teks nash tidak perlu diubah, karena pada suatu ketika mungkin akan terjadi suatu konteks yang justeru menginginkan apa yang diatur oleh teks nash sekarang ini.
9. Anak di luar nikah yang diketahui secara pasti ayah biologisnya tetap mendapatkan hak warisan dari ayahnya
Lagi-lagi di sini terjadi kerancuan antara berpikir hukum dan berpikir non-hukum. Nikah adalah suatu lembaga yang secara hukum memberikan legalitas. Pada sisi lain, hak warisan adalah salah satu bentuk hak hukum. Karena itu, berbicara hak warisan harus didasarkan kepada hak-hak hukum, dan hak hukum hanya ada pada legalitas.
Demikianlah beberapa catatan di seputar berbagai pemikiran kaum Islam liberal di Indonesia. Agar supaya perdebatan pemikiran itu lebih sehat, sebaiknya mereka yang mengumandangkan pembaruan atau liberalisasi atau apapun namanya, merumuskan secara cermat dan menyeluruh kerangka berpikir metodologis mereka, sehingga tidak sekedar menimbulkan kontroversi yang sesungguhnya sia-sia dan tidak berujung.

BAB IV
PENUTUP
A.Kesimpulan
Berfikir adalah salah satu anjuran dalam islam, karena dia adalah pintu gerbang pengetahuan, dan salah satu wasilah seorang hamba untuk mengetahui bukti-bukti akan adanya Sang Maha Pencipta lagi Maha Perkasa, yang menjadikan hambanya semakin bertambah keimanan dan ketaqwaannya. Namun berfikir pula dapat menjadikan seorang hambanya tersesat dari jalanNya, ketika hamba ini hanya mengandalkan fikiran dan melupakan hati nurani dan ajaran rasulnya.
Demikianlah sedikit tentang paham Liberalis ini, semoga dengan sedikit ini kita semua menjadi tidak puas dan berusaha untuk mencari lebih banyak lagi pengetahuan tentang paham ini (khususnya) dan pengetahuan-pengetahuan lain (umumnya). Tak lupa juga saya berharap kritik dan koreksi dari teman- teman sekalian dari makalah ini, karena saya yakin banyak sekali kekurangan dan kesalahan baik dari penulisan ataupun penyusunannya atau mungkin pengambilan sumber referensinya.
Keberadaan islam radikal di Indonesia ini masih kontroversi, sebagian orang ada yang berpendapat tidak ada, karena bila dikatakan ada kemungkinan itu hanya untuk memecah umat islam dan biasanya hanya orang yang tidak suka dengan islamlah yang mengatakan bahwa islam radikal itu ada. Namun, sebenarnya inilah propaganda kaum kafir yang menginginkan islam itu dipandang buruk, islam dipandang agama yang penuh dengan kekerasan dan dipandang senbagai teroris.
Sebagai penutup ada baiknya, kita semua merenungkan sebuah firman Allah subkhanallahu wata'âla; "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil sebagai wali' (pemimpin, teman kepercayaan, panutan) orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan."(Al-Mâidah:57)



[1] Fachri Aly & Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Masa Orde Baru, Bandung, Mizan, 1986.
[2] Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN, Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 2006.
[3] Abdurrahman Wahid "Massa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa", Prisma, nomor ekstra, 1984.
[4] Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN, Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 2006.

No comments: