Sunday, December 28, 2014

SISTEM PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

1.      SISTEM PENDIDIKAN ISLAM

            Membicarakan system pendidikan Islam di Indonesia kita tidak bisa melepaskan diri dari perjalanan sejarah perkembangan islam di Indonesia itu sendiri. Untuk mengetahui bagaimana sistem pendidikan Islam di Indonesia, akan ditelusuri dari sudut sejarah perkembangannya, dapat diuraikan berturut-turut sebagai berikut.

A.    SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA

            Pada awal berkembangnya agama Islam di Indonesia, pendidikan Islam dilaksanakan secara informal. Pendidikan dan pengajaran Islam secara informal ini ternyata membawa hasil yang sangat baik sekali dan bahkan menakjubkan. Karena dengan berangsur-angsur tersiarlah agama Islam diseluruh kepulauan Indonesia, mulai sabang sampai Maluku.
            Sistem pendidikan Islam informal ini, terutama yang berjalan dalam keluarga sudah diakui keampuhannya dalam menanamkan senalam sendi-sendi agama dalam jiwa anak-anak. Mereka dilatih membaca Al-Qur’an, melakukan shalat dengan berjamaah, berpuasa dibulan ramadhan, dan lain-lain.
            Usaha-usaha pendidikan agama di masyarakat, yang kemudian dikenal dengan pendidikan non-formal, ternyata mampu menyediakan kondisi yang sangat baik dalam menunjang keberhasilan pendidikan Islam untuk menyelenggarakan pendidikan agama yang lebih baik dan sempurna.
            Dalam bentuk permulaan, pendidikan agama Islam disurau atau dimesjid masih sederhana. Tempat-tempat pendidikan yang seperti inilah yang menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren dan pendidikan Islam yang formal yang berbentuk madrasah atau sekolah yang berdasar keagamaan.[1]

B.     PESANTREN DAN SEKOLAH ISLAM DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

            UU Sisdiknas mengatur pendidikan melalui dua bentuk utama penyelenggaraan pendidikan saruan dan pogram pendidikan. Satuan pendidikan digunakan untuk pendidikan formal, sperti SD, MI dll. Sedangkan program pendidikan digunakan untuk nonformal, misalnya program-program dalam kursus dan pelatihan, namun terkadang juga untuk formal. Misalnya dalam perguruan tinggi. Uniknya bukanlah satuan dan bukan pula program. Pesantren dalam hal itu menjadi semacam lembaga yang didalamnya diselenggarakan berbagai satuan pendidikan atau pogram pendidikan.
            Jadi, jika pesantren diambil dari sisi pendidikannya saja, maka satuan atau pogram pendidikan pesantren dapat dibagi menjadi dua:
            Pertama, satuan dan program sudah ikut pemerintah, mislanya misalnya pesantren menyelenggarakan SD, MI, SMK, SMA, atau perguruan tinggi umum.
            Kedua, satuan atau program yang selama ini tidak mengikuti aturan maupun kurikulum Negara. Misalnya Madrasah diniah, kuliyatul muallimin, diniyah safiah, majlis taklim, dll. Kemasyrakatan yang sering diselenggarakan pesantren, namun dalam UU Sisdiknas dimasukkan kedalam salah satu bentuk pendidikan, yaitu pendidikan nonformal.[2]

C.     KEUNGGULAN DAN PELUANG

            Kecenderungan sebagian masyarakat Indonesia penyelenggara pendidikan yang tidak ingin sepenuhnya ikut aturan sekolah dan madrasah bersumber dari asset pendidikan yang besar manknanya, yaitu inovasi dan kreatifitas. Ada beberapa fakta yang sangat kongrit di tengah masyarakat, bahwa mereka banyak bisa memajukan mutu pendidikan dengan caranya sendiri, dengan kadar kompetensi lulusan yang mereka bangun sendiri. Patuh pada aturan pendidikan yang kaku sekarang ini juga mereka nilai sering berdampak pada fenomena pendidikan yang terkoopsi oleh birokrasi. Itu semua akan menyulitkan pertahanan misi dan visi, serta dapat menimbulkan ketajaman pandangan satuan pendidikan dalam membaca arah kebutuhan yang sebenarnya.
            kesempatan untuk mengelola secara berbeda ini agaknya menjadi nilai tawar yang paling mhal dalam negoesasi antara pesantren  dan pemerintah. Pemerintah sendiri kini mendorong masyarakat pendidikan ke arah itu, mislanya menggulirkan program-program school based management, perkembangan kurikulum berdivertifikasi yang berbasis kompetisi oleh satuan pendidikan yang sesuai minat dan bakat peserta didik, pendidikan dengan keunggulan lokal, perhatian tuntunan lingkungan setempat, serta menggalakkan pendidikan multy entry exit yang menjamin peserta didik dari jenis pendidikan manapun bisa pindah atau melanjutkan ke jenis dan jalur pendidikan yang berbeda.[3]

2.      KONDISI SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA

Melihat kondisi real yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia, kini kita sering menemukan berbagai macam celotehan berbagai pendapat-pendapat warga Negara yang begitu abstrak mengenai system pendidikan yang sedang dianut oleh Indonesia. Ujian Negara (UN), mungkin merupakan salah satu hal yang cukup disoroti disoroti banyak pihak, pelaksanaannya yang masih controversial dan semu dimata para guru dan wali murid. Sehingga memunculkan banyak gugatan tentang penghapusan UN yang selama ini menjadi musuh khusus bagi setiap siswa, untuk tidak diselenggarakan secara nasional yang ditangani kemendiknas. Namun standarisasi penilaian dan kelulusan siswa diserahkan sepenuhnya kepada guru yang bertindak sebagai “orang tua” mereka dalam habitat sekolah.
Mengenai UN, tak salah bagi setiap dewan guru yang mengusulkan hal di atas, tak salah untuk mereka karena mereka tidak ingin anak didik mereka harus mendekam di sekolah karena belum lulus UN yang berarti satu tahun tertunda dari waktu normal karena tidak berhasil melewati ujian empat hari yang menentukan masa belajar mereka selama tiga tahun. Namun, dilain sisi kita harus mengamati kondisi lapangan yang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sebagian besar dari guru tersebut belum dapat mengadilkan pemberian nilai dalam raport jika harus diserahkan sepenuhnya tingkat kelulusan siswa. Banyak fakta mengatakan bahwa guru rela mengkatrol nilai siswanya demi meraih anggapan akan keberhasilan beliau dalam pendidikan dan pengajaran, atau agar siswa dapat memenuhi persyaratan mendapatkan beasiswa sehingga dapat menduduki bangku sekolah atau perguruan tinggi favorit, sedangkan hal tersebut sangat bertolak belakang dengan pencapaian hasil belajar siswa tersebut.[4]
System memaksa siswa untuk menguasai sedemikian kompleksnya ilmu pengetahuan dengan segabrek mata pelajaran. Hal ini yang menjadi sebab utama “kenakalan” siswa, menyontek saat ujian, membolos, tawuran dan sebagainya. Karena mereka merasa tidak sanggup dan merasa bosan dan jenuh dengan kesemuanya. Yang pada akhirnya mereka tidak dapat meraih nilai baik, padahal sudah diadakannya ujian susulan, bahkan bimbingan-bimbingan belajar exlusive selama masa-masa mendekati ujian.
Setiap manusia dilahirkan dengan membawa karakteristik (kelebihan/kekurangan tersendiri), jadi kurang tepat jika ada yang berpendapat bahwa adanya manusia yang bodoh. Pada dasarnya tidak ada manusia yang bodoh, hanya mungkin belum tergalinya potensi anak tersebut, sehingga yang patut mengarahkan adalah orang tua ataupun guru untuk mendiagnosa kecenderungan anak dan segera menyalurkan potensi yang ada. Jadi system pendidikan di Indonesia masih perlu dievaluasi berdasar pada kondisi real agar pendidikan tidak berjalan dalam dunia semu namun dapat benaar-benar dirasakan sebagai kebutuhan dan penuh kejujuran.

A.    Arah Pendidikan Nasional
Arah pendidikan nasional menurut undang-undang no.20/2003 tentang system pendidikan nasional adalah terwujudnya system pendidikan sebagai pranata social yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara  Indonesia  berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

B.     Kekuatan dan Kelemahan
Beberapa kekuatan system pendidikan diantaranya :[5]
a.       Telah ditargetkannya pembenahan dan pembentukan karakter siswa
b.      Telah ditetapkan untuk penyiapan generasi yang selalu update dengan perkembangan zaman
c.       Penyiapan insan yang cerdas dan kompetitif, baik dalam kancah nasional, regional atau bahkan internasional
d.      Perencanaan pemerataan system untuk seluruh warga Negara.

Dilain sisi, adapula beberapa kelemahan dari berbagai macam system pendidikan Indonesia, anatara lain:
a.       Target pemerataan yang tidak kondisional dengan lapangan, misalnya target persamaan ujian yang dilaksanakan di kota besar dengan daerah yang tertinggal
b.      Dengan semanagat persiapan generasi yang update perkembangan zaman, membuat semakin banyak dan abstraknya pelajaran yang diberikan. Padahal, hal tersebut berefek negative pada diri siswa, karena menimbulkan rasa bosan dan lain-lain, sehingga mendorong untuk bolos, mencontek saat ujian dan lain sebagainya
c.       Pelaksanaan target pendidikan karakter, belum dimulai pada pencontohan karakter seorang guru kepada siswa.

3.      AGAMA DAN PENDIDIKAN NASIONAL

Setiap agama memposisikan dirinya sebagai sebuah tatanan nilai mulia yang menjiwai apapun yang terdapat di dunia ini. Termasuk didalamnya pendidikan. Awal sejarah pendidikan di negeri inipun sebenarnya sudah diawali dengan fenomena itu. Jauh sebelum Indonesia merdeka, mereka telah menyebarkan agama melalui penyelenggaraan pendidikan. Agama akhirnya diakomodasi oleh konstitusi Indonesia sebagai bagian tak terpisahkan dari sector pendidikan.[6]

4.      SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

Pengelolaan pendidikan yang baik sebenarnya adalah pendidikan yang dapat memanfaatkan potensi budaya yang tumbuh dan berkembang di Indonesia yang dihuni oleh bermacam suku, agama, dan adat istiadat yang sangat berbeda satu sama lain, maka seberagam itu pula pola pendidikan yang mereka kembangkan. Atas dasar ini konstitusi UUD 1945 dan UU Sisdiknas mengamanatkan perlunya penyelenggaraan pendidikan dengan melestarikan keanekaragaman penyelenggaraan pendidikan di masyarakat, akan tetapi berada dalam satu payung pengelolaan, bernama “system pendidikan nasional”. Di dalam satu system itu, diharapkan keragaman penyelenggaraan pendidikan bias melahirkan kekuatan pendidikan yang dahsyat.[7]
Di dalam memperbincangkan pendidikan ada dua pemaknaan yang selalu didengungkan oleh para pakar. Pertama, pendidikan adalah memanusiakan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan pendidikan adalah transfer budaya. Di pandang dari sudut pendidikan sebagai alat untuk memanusiakan manusia pada dasarnya berupaya untuk mengembangkan potensi manusia semaksimal mungkin sehingga pada suatu saat ia tumbuh sebagai manusia yang seutuhnya.[8]
Dipandang dari sudut potensi manusi baik jasmani dan rohani tidak boleh tidak memperoleh pendidikan agar potensi yang ada itu tumbuh dan berkembang. Potensi jasmani adalah seluruh potensi manusia berwujud nyata meliputi indra manusia dan lainnya. Sedangkan potensi rohani manusia adalah seluruh perlengkapan manusia yang tidak berwujud nyata yang berbentuk spiritual.

5.      SOLUSI

            Diantaranya adalah :[9]
a.       Pelaksanaan target siswa yang berkarakter, harus dimulai pada diri pribadi seorang guru terlebih dahulu, yang setiap apa yang ia perbuat yang merupakan tuntunan dan didikan padda siswanya.
b.      Mata pelajaran (khususnya sekolah dasar) perlu diadakan pengevaluasian karena dipandang masih belum dapat ditaklukkan oleh siswa karena keanekaragaman yang begitu kompleks sedangkan tidak sesuai dengan tingkat pemahaman siswa sehinggan menimbulkan perbuatan-perbuatan negative.
c.       Diadakannya pembinaan dan pelatihan pada setiap Kepala Sekolah agar lebih terarah, serta monitoring untuk mengevaluasi jalannya roda pendidikan
d.      Perlu kiranya pemerintah memasukkan mata pelajaran agama (islam, dll) dalam ujian Negara, karena didalamnya diajarkan budi pekerti luhur yang dapat menyetir tingkah laku siswa.
e.       Perlu ditanamkan dalam konsep pendidikan Indonesia bahwa keberhasilan pendidikan bukan dinilai dari hasil akhir, namun lebih berpacu pada proses yang dialami. Kesuksesan bukan dinilai dari keberhasilan seorang siswa yang berhasil masuk disekolah atau Universitas ternama dengan nilai baik dan prestasi beasiswa, akan tetapi melalui proses penilaian yang kurang adil, karena ternyata nilai tersebut sengaja dibuat oleh Guru agar tampak berhasil mengajar dan membanggakan sekolah. Namun, proses pembelajaran yang siswa lalui selam disekolah merupakan hal yang patut untuk dipertimbangkan.
f.       Pemerintah hendaknya menghilangkan rasa kekhawatiran serta ketidakpercayaan Guru atas hasil muridnya jika harus mengikuti UN secara murni tampa kecurangan. Yakinkan mereka bahwa mereka bisa menyelesaikan ujian dengan mengeksplorasi kemampuan mereka tanpa harus tercampuri dengan keandilan para Bapak/Ibu Guru.
g.      Perlu adanya pengakuan pemerintah kepada lembaga penyelenggara pendidikan nonformal, setelah memenuhi ketentuan-ketentuan tertentu. Selanjutnya tetap diadakannya monitoring kegiatan lembaga tersebut yang ditangani sebuah badan dibawah kemendiknas. Karena pada perkembangannya, mungkin akan dapat kita temukan bahwa pengkhususan pendidikan skill akan lebih dapat melahirkan tenaga professional daripada pendidikan umum secara global.
h.      Pelaksanaan ketetapan tentang ketentuan-ketentuan pendidikan hendaknya disesuaikan dengan ketetapan yang telah disepakati bersama. Misalnya mengenai penilaian yang harus diambil melalui tiga aspek, yakni penilaian sikap (afektif), penilaian pengetahuan (kognitif), serta penilaian ketrampilan (psikomotorik), ketiga aspek ini sering kali diabaikan pada lapangan yang tentunya bertentangan dengan ketetapan. 


DAFTAR PUSTAKA

Daulay, Haidar Putra, Pendidikan Islam, Jakarta, Prenada Media, 2004
Fathoni, Muhammad Kholid, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional, Jakarta, Departemen Agama RI, 2005
Http://www.kemendiknas.co.id
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 2008



[1] Dra. Zuraini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta, Bumi Aksara , 2008) hal. 208-212


[2] Muhammad kholid fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional, (Jakarta:Deparemen Agama RI, 2005). Hal 75-77.
[3] Muhammad Khalid : Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional  . hal 96-99
[4] Google, http://www.kemendiknas.co.id
[5] Google, http://www.kemendiknas.co.id
[6] Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional, (Jakarta:Departemen Agama RI, 2005), hal.9
[7] Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional, … hal.10
[8] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media,2004), hal. 196
[9] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam, …hal.89

No comments: