BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Makanan
mempunyai pengaruh yang besar pada diri seseorang. Bukan saja pada badannya,
tetapi pada perilaku dan akhlaknya. Bagi seorang muslim, makanan bukan saja
sekedar pengisi perut dan penyehat badan, sehingga diusahakan harus sehat dan
bergizi sebagaimana yang dikenal dengan nama “Empat sehat lima sempurna”,
tetapi selain itu juga harus halal. Baik halal pada zat makanan itu sendiri,
yaitu tidak termasuk makanan yang diharamkan oleh Allah, dan halal pada cara
mendapatkannya.
Allah
menegaskan bahwa Dia Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik, termasuk
makanan. Dan Allah memerintahkan kepada orang mukmin sebagaimana Dia
memerintahkan kepada para Rasul untuk memakan makanan yang baik, sebagaimana
firman-Nya: "Wahai para rasul, makanlah yang baik dan lakukanlah perbuatan
yang baik. Dan tinggalkanlah sesuatu yang haram karena dapat menjerumuskan
seseorang ke dalam lembah kemaksiatan. Penjelasan tentang halal, haram dan
syubhat akan dibahas sebagai berikut.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana pengertian halal, haram dan syubhat ?
2.
Apa urgensi dari halal, haram dan syubhat ?
3.
Bagaimana kriteria halal, haram dan syubhat ?
4.
Apa batasan halal dan haram ?
C.
TUJUAN MASALAH
1.
Untuk mengetahui pengertian halal, haram dan syubhat.
2.
Untuk mengetahui urgensi halal, haram dan syubhat.
3.
Untuk mengetahui kriteria halal, haram dan syubhat.
4.
Untuk mengetahui batasan halal dan haram.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Devinisi Halal, Haram dan Syubhat
1.
Halal
Kata
‘halalan’ berasal dari lafadz ‘halla’ yang artinya ‘lepas’ atau ‘tidak
terikat’. Yusuf Qardhawi (2000) mendefinisikan istilah halal sebagai segala
sesuatu yang boleh dikerjakan, syariat membenarkan dan orang yang melakukannya
tidak dikenai sanksi dari Allah Swt.
Pertama,
makanan itu jelas-jelas halal. Artinya boleh dimakan karena zatnya memang
halal, dan secara hukum makanan itu halal dimakan. Seperti : buah-buahan,
gandum,pakaian yang diharamkan dan lain-lain yang tidak terhitung.[1]
Sesuai dengan firman Allah yang artinya: “Hai Manusia, makanlah yang halal
lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagimu”
(Q.S. Al-Baqarah/2: 168).
Kedua,
usaha yang halal. Artinya untuk mendapatkannya dilakukan dengan cara-cara yang
halal. Makanan jadi tidak halal karena cara memperolehnya tidak dibenarkan
syar'i, misalnya mengambil makanan orang lain, atau makanan itu dibeli dengan
uang yang diperoleh dari mencuri, menipu, dan korupsi. Uang yang berasal dari
usaha haram, jika dibelikan makanan akan menjadikan makanan itu haram. Hal ini
sesuai dengan firman Allah yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang
baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika
benar-benar kepada-Nya kamu menyembah. (Q.S. Al-Baqarah/2: 172).
2.
Haram
Haram
berarti segala sesuatu atau perkara-perkara yang dilarang oleh syara’ (hukum
Islam), jika perkara tersebut dilakukan akan menimbulkan dosa dan jika
ditinggalkan akan berpahala. Seperti : perbuatan zina, mencuri , minum khamar
dan yang semisalnya.[2]
Selanjutnya,
masih menurut Qardhawi, Haram dibagi ke dalam dua kategori, yaitu haram lid-dzati
atau haram karena zatnya seperti : darah, bangkai, dan babi. Dan haram
li-gharihi atau haram karena cara memperoleh dan cara memprosesnya, seperti:
disembelih bukan untuk kepentingan ibadah/ Allah, hewan yang mati karena tercekik, ditanduk,
jatuh, dipukul, diterkam binatang buas.
Di
dalam Islam makanan dinyatakan haram karena zatnya dan haram karena hukumnya.
Haram karena zatnya, yaitu makanan yang menjijikkan (kotor/najis) dan makanan
yang berasal dari babi, bangkai, darah yang mengalir, binatang bertaring,
binatang berkuku tajam.
Haram
karena hukumnya, antara lain disebabkan
disembelih tanpa membaca basmalah atau makanan itu berupa sesaji. Untuk makanan
sesaji atau yang dihidangkan pada ritual-ritual tertentu, jelas haram karena
hal itu merupakan kesyirikan. Islam mengatur hewan yang akan dimakan hendaknya
dipotong saluran pernafasannya dengan membaca basmalah. Jika tidak dilakukan
proses ini maka hewan yang halalpun menjadi haram.[3]
Menurut
Q.S. Al-Maidah ayat 3, proses kematian hewan yang menyebabkan hewan itu menjadi
haram dimakan antara lain karena dicekik, dipukul, ditanduk binatang lain atau
akibat kematian lain yang tidak sesuai
dengan hukum. Terkecuali hewan laut atau yang hidup di air seperti ikan
bangkainya tetap halal dimakan. Rusaknya Kehalalan Salah satu prinsip dalam Islam,
apabila Allah swt. telah mengharamkan sesuatu, maka semua masakan atau produk
yang dibuat dari bahan dasar yang diharamkan akan menjadi makanan yang haram
pula.
3.
Syubhat
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَال: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
[رواه البخاري ومسلم]
Artinya : Dari
Abu ABdillah Nu’man bin Basyir r.a,”Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda,
‘Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya
terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh
orang banyak. Maka, barang siapa yang takut terhadap syubhat, berarti dia telah
menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan barang siapa yang terjerumus dalam
perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan.
Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar
(ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan
memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah
adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal
daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka
buruklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa dia adalah hati.”[4]
(HR. Bukhari dan Muslim).
Penjelasan
dari hadis diatas sebagai berikut : Sekilas memang banyak orang yang memahami
hadits pertama dengan pandangan bahwa yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, lalu di tengah keduanya adalah hal
yang syubhat. Siapa yang jatuh ke dalam syubhat, maka dia akan jatuh ke dalam
yang haram.[5]
Dengan
pengertian seperti ini, sebenarnya agak rancu. Sebab berarti kita mengatakan
bahwa yang syubhat itu sudah pasti hukumnya haram. Maka seharusnya bunyi
haditsnya begini, "Yang halal itu adalah yang jelas halalnya, sedangkan
yang haram ada dua, pertama yang haramnya jelas dan kedua yang haramnya tidak
jelas (syubhat)".
Sementara
banyak ulama yang tidak demikian memahami hadits ini. Misalnya kitab yang
ditulis oleh Syeikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syeikh. Beliau dalam syarah
hadits ini menuliskan bahwa yang dimaksud dengan masalah mutasyabihat adalah
hukum sesuatu yang kurang dimengerti oleh orang awam.
Dan
kebanyakan umat Islam memang awam dalam hukum-hukum syariah. Karena itu dalam
teks hadits ini secara tegas disebutkan, "Kebanyakan manusia tidak
mengetahuinya." Maksudnya orang yang tidak belajar ilmu syariah tidak akan
mengetahuinya. Sebab yang mereka baca hanya teks yang lahiriyah saja, tanpa
mengerti bagaimana cara membedah da mengambil kesimpulan hukumnya.
B.
Urgensi Halal, haram dan syubhat
Urgensi
makanan yang halal menuntut adanya usaha yang halal, sebab salah satu cara
mendapatkan makanan yang halal adalah dengan sarana usaha yang halal juga.
Apalagi dizaman sekarang dimana keimanan semakin tipis dan kebodohan sangat
mendominasi kaum muslimin. Bagaimana tidak! Mereka sudah tidak mengenal lagi
halal dan haram, bahkan ada yang menyatakan: “Yang haram aja susah apalagi yang
halal”. Padahal setiap orang sudah sitetapkan bagian rizkinya dan telah
disiapkan Allah seluruhnya. Kita hanya diperintahkan mencarinya dengan cara
yang baik dan sesuai koridor syariat. Rasulullah bersabda:
“Wahai sekalian manusia bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah
usaha mencari rizki, karena jiwa tidak akan mati sampai sempurna rizkinya
walaupun kadang agak tersendat-sendat. Maka bertakwalah kepada Allah dan
perbaguslah dalam mengusahakannya, ambillah yang halal dan buanglah yang
haram.” (HR Ibnu Majah
dan dishohihkan Al Albani dalam Shohih Ibnu Majah).
Jelas
sekali perintah mencari usaha yang halal dalam sabda beliau diatas dan hal ini
termasuk perkara besar yang sangat ditekankan kepada manusia.
Al
Habib Abdullah bin Alawiy Al Haddad RA dalam untaian nasehatnya
menyatakan, “Ketahuilah semoga Allah merahmati kalian bahwa makanan
halal akan menyinari hati dan melembutkannya dan menyebabkan adanya rasa takut
kepada Allah dan _khusyu’ kepadaNya, memberikan semangat dan motivasi pada
anggota tubuh untuk taat dan beribadah serta menumbuhkan sikap zuhud terhadap
dunia dan kecintaan pada akhirat. Dan inilah sebab diterimanya amal amal sholeh
kita dan dikabulkannya doa-doa kita.”
Zat
gizi dari makanan berfungsi sebagai zat yang kita butuhkan untuk melaksanakan
kegiatan-kegiatan kehidupan sekaligus sebagai pembentuk struktur sel dan organ
tubuh. Dengan zat gizi pula tubuh dapat membentuk sel-sel keturunan (sperma dan
ovum), menumbuhkembangkan hasil pembuahan menjadi janin, kemudian menjadi bayi,
dan selanjutnya zat gizi digunakan untuk menumbuhkembangkan bayi menjadi anak,
lalu menjadi remaja dan kemudian menjadi dewasa. Karena fungsi tersebut, adalah
logis bila Allah SWT. memerintahkan kita mengkonsumsi makanan yang halal dan
baik.
Ibnu
Abbas r.a. berkata, “Tatkala aku membaca ayat di hadapan Rasulullah, yang
artinya, ‘Wahai manusia makanlah apa-apa yang ada di bumi yang halal dan baik.’
Tiba-tiba berdirilah Sa’ad bin Abi Waqqas kemudian berkata,’Ya Rasulullah,
berdoalah kepada Allah agar menjadikan doaku mustajab.’ Rasulullah SAW.
menjawab, ‘Perbaikailah makananmu, niscaya doamu mustajab. Demi yang jiwa
Muhammad ada di tangan-Nya, seseorang yang memasukkan sesuatu yang haram ke
dalam perutnya, maka tidak diterima dari amal-amalnya 40 hari. Dan seorang
hamba yang dagingnya tumbuh dari yang haram dan riba maka neraka lebih layak
baginya’.”
Dalam
dua hadits yang disajikan ini, Rasullullah telah memberikan konsekuensi bagi
pengkonsumsi makanan yang tidak halal, yaitu: tidak diterima ibadahnya serta
akan merasakan panasnya api neraka. Konsumsi teramat penting artinya bagi
diterimanya amal ibadah kita oleh Allah SWT.
“Adapun makanan haram dan syubhat maka kebalikan dari yang sudah
disebutkan tadi, dia akan menyebabkan kekerasan hati dan menggelapkannya,
mengikat (mengekang) tubuh dari ketaatan dan menjadikannya rakus terhadap
dunia. Inilah sebab ditolaknya amal-amal ibadah dan doanya.”
Maka
berusahalah mencari pekerjaan dan makanan yang halal dan jauhilah keharaman. Dan
ketahuilah bahwa pengkajian ini tidak hanya pada makanan saja tapi mencakup
semua aspek pekerjaan kita. Berbuat apapun harus dilandasi dengan kehati-hatian
dan kewaspadaan, jika masih ragu maka tingglkanlah, khawatir akan terjerumus
pada keharaman dan akibatnya pasti fatal.
C.
Kriteria halal, haram dan syubhat
1.
Halal
Sesuatu
yang dinash halal oleh Allah. Tak diragukan lagi bahwa ia adalah halal. Seperti
daging hewan yang disembelih dengan menyebut nama Allah, buah-buahan,
biji-bijian, kurma, anggur, dan lain-lain. Banyak disebutkan dalam hadist bahwa
makanan-makanan tersebut halal untuk dimakan. Sedikit kami ingatkan bahwa kita
mesti berhati-hati dalam memilih dan memilah produk yang halal. Terlebih dalam
hal makanan, minuman, dan pakaian. Sebab, di antara faktor terkabulknya doa
adalah makanan atau minuman yang masuk ke dalam perut kita harus halal. Begitu
pun pakaian yang kita kenakan, harus berasal dari sumber dan jenis yang halal.[6]
Artinya
: Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah
rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.
2.
Haram
Sesuatu yang dinash haram oleh Allah. Maka tidak diragukan lagi
bahwa ia jelas haram. Seperti bangkai, daging babi, dan daging hewan yang
disembelih tanpa menyebut nama Allah. Ini semua telah dinash oleh Allah sebagai
makanan yang haram. Contoh lain ialah pacaran dan berikhtilat dengan wanita
non-mahram. Ini juga telah dinash haram oleh syariat.
Artinya : dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak
disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam
itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada
kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka,
Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.
3.
Syubhat
Perkara
Syubhat. Maksud syubhat di sini ialah sesuatu yang masih dipertentangkan
hukumnya berdasarkan dalil – dalil yang ada dalam Kitab dan Sunnah, dan maknanya
pun masih diperdebatkan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa
perkara syubhat adalah sesuatu yang halal Ulama lain berpendapat bahwa syubhat
bukanlah sesuatu yang halal atau sesuatu yang haram. Pasalnya, Nabi secara
jelas memosisikan perkara syubhat di antara yang halal dan yang haram. Hanya
saja, sebagai langkah kehati-hatian, seyogyanya kita menghindari barang
syubhat. Tindakan seperti ini juga bagian dari sikap wara’.
Benar, kita harus menjauhi sesuatu yang syubhat, karena siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka lambat laun ia pasti akan terjerembab perkara yang haram. Dan dasarnya sebagai berikut : "Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada yang syubhat, manusia tidak banyak mengetahui. Siapa yang menjaga dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yang haram." (HR Bukhari dan Muslim).
Benar, kita harus menjauhi sesuatu yang syubhat, karena siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka lambat laun ia pasti akan terjerembab perkara yang haram. Dan dasarnya sebagai berikut : "Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada yang syubhat, manusia tidak banyak mengetahui. Siapa yang menjaga dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yang haram." (HR Bukhari dan Muslim).
Contoh perbuatan syubhat adalah
merokok. Pada mulanya (ketika pertama kali ditemukan) perkara ini termasuk
syubhat. Tetapi di zaman sekarang, di saat teknologi medi berkembang dengan
pesatnya, dan setelah diadkan penelitian padanya, maka disimpulkan bahwa rokok
mutlak haram. Bagi kami, keharamannya tidak diragukan lagi. Jadi, pada mulanya
rokok termasuk perkara syubhat dan belum memiliki kejelasan. Setelah itu
keharamannya terbukti dan ada larangan uantuka menghisabnya.[7]
Bahwa sebab
ketidakjelasan perkara syubhat ada empat :
a.
Kurang menguasai ilmu (agama). Hal ini akan menyebabkan suatu
perkara menjadi samar, karena dengan banyaknya ilmu, seseorang akan banyak
mengetahui masalah yang tidak diketahui oleh orang banyak.
b.
Lemahnya pemahaman akan suatu ilmu. Bias jadi seseorang memiliki
ilmu yang cukup banyak, namun ia tidak memahami maksudnya. Hal ini pula yang
menyebabkan tidak jelasnya suatu masalah.
c.
Sedikitnya upaya penelitian, dimana ia tidak mau bersusah payah
meneliti sebuah masalah, dengan menulis, mengamati, atau menelusuri makna yang
sulit dari sebuah teks, dengan dalil hal itu tidak diperlukan.
d.
Yang paling buruk dari ketiga hal di atas adalah niat yang buruk,
di mana seseorang hanya (berusaha) memenangkan argumentasinya tanpa
memperdulikan pendapatnya benar atau salah. Sapa yang memiliki niat seperti
ini, maka sulit baginya untuk sampai kepada ilmu yang benar, -kita memohon
kepada-Nya keselaman dari seperti ini- karena dia tidakk berniat dengan ilmunya
kecuali mengikuti hawa nafsunya saja.
D.
Batas halal dan haram
Mengetahui
batas halal dan haram ini sangat penting sekali bagi manusia umumnya dan umat
islam khususnya. Mengapa? Jawabannya ialah karena inilah salah satu perbedaan
antara manusia dengan binatang, antar manusia yang kafir dan yang mukmin.
Orang-orang kafir itu tidak mengetahui batas halal dan haram dalam segala hal.
Oleh karena itu dinilai sama dengan binatang. Dasarnyaa firman allah dalam
surat Muhammad (47) ayat: 12.
Artinya : Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang mukmin dan
beramal saleh ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. dan
orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka Makan seperti makannya
binatang. dan Jahannam adalah tempat tinggal mereka.
Dalam
ayat tersebut terkandung berita gembira orang-orang yang beriman dan beramal
saleh. Mereka dijamin akan masuk ke dalam surga. Sebaliknya, Allah mengancap
orang-orang kafir untuk dalam neraka, karena cara hidup mereka seperti
binatang. Mereka tidak mengenal batas antara halal dan haram dalam hal makanan
dan minuman atau dalam usaha memenuhi nafsu kebutuhan perutnya. Tak ubahnya
seperti pada binatang, yang penting bagi mereka sedap dan bergizi, sesuai
dengan selera, dan menggemukkan seperti binatang. Pada dasarnya semua ciptaan
allah di bumi ini adalah untuk manusia. Akan tetapi sebagian dari karunia allah
di bumi ini ada yang bermanfaat bagi manusia dan ada pula yang membahayakan
manusia itu. Makanan dan minuman yang membahayakan akan manusia itu diharamkan
allah, sedang yang berguna bagi pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan manusia
tetap dihalalkan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sesuatu yang halal adalah sesuatu yang sudah dinaskan halal oleh
allah, dan yang haram adalah sesuatu yang sudah dinaskan haram oleh allah, dan
diantara perkara kedua itu terddapat syubhat, sesuatu yang belum jelas. Dan
sebaiknya sesuatu yang belum jelas itu ditinggalkan oleh manusia, karena bisa
menjerumuskan seseorang itu kedalam sesuatu yang haram.
DAFTAR PUSTAKA
An
nawawi bin syarafudin, hadits arba’in.1997: darul fikr, Riyadh.
Al-‘Utsaimin,
Syaih Muhammad bin Shahih, Syarah Hadits Arba’in, Jakarta : Pustaka Ibnu
Katsir, 2010.
[1] Al-‘Utsaimin, Syaih Muhammad bin Shahih, Syarah Hadits Arba’in,
Jakarta : Pustaka Ibnu Katsir, 2010. Hal 170
[2] Ibid
[4] Al-‘Utsaimin, Syaih Muhammad bin Shahih, Syarah Hadits Arba’in,
Jakarta : Pustaka Ibnu Katsir, 2010. Hal 168-169
[5] Ibid
[7] Al-‘Utsaimin, Syaih Muhammad bin Shahih, Syarah Hadits Arba’in,
Jakarta : Pustaka Ibnu Katsir, 2010.
1 comment:
Mohon izin memasang makalah ini di laman google saya agar saya bisa dengan mudah mencari dan membacanya kembali
Post a Comment