BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Didalam pembahasan ushul fiqh
merupakan kaidah yang penting untuk mempelajari ilmu fiqh, banyak topik-topik
yang menjadi bahasan dalam ilmu ushul fiqh seperti: amar, nahi, ‘am, khas,
mujmal, mutlak, muqayyad dan lain sebagainya.
Di dalam pembahasan tentang mutlak
dan muqayyad merupakan hal yang paling terpenting untuk dijelaskan karena
seseorang yang tidak mengerti akan perbedaan dari masing-masing keduanya
sehingga seseorang yang belajar ilmu fiqh dan dia tidak mengerti akan perbedaan
dari mutlak dan muqayyad akan terjadi kesalahpahaman dalam mengartikansebuah
ayat atau kitab lainnya.
Hukum lafadz mutlak dan muqayyad
merupakan pembahasan yang sangat penting seperti halnya seseorang yang memahami
hadis yang berbunyi “sesesorang yang membunuh orang mukmin secara tidak sengaja
maka dia harus memerdekakan hamba sahaya” di hadis ini banyak orang yang keliru
pemahaman karena dia tidak memahami makna dari mutlak dan muqayyad. Sehingga
mereka mereka memahami hamba sahaya yang mutlak artinya baik hamba yang kafir
atau yang islam, sebenarnya pada keterangan tersebut di batasi artinya hamba
sahaya yang muslim.
Dan didalam pembahasan ushul fiqh
yang banyak terjadi kesalahpahaman itu terletak pada pembahasan mutlak dan
muqayyad. Memang pembahasan tersebut sangat sulit sehingga seseorang dalam
memahami ayat tidak cukup memahami secara dhahir saja. akan tetapi harusmengetahui
tentang mutlat dan muqayyad atau memahami tafsiran ayat tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian Mutlaq Dan Muqayyad
2.
Kaidah Mutlaq Dan Muqayyad
3.
Macam- Macam Mutlak Dan Muqayad Dan Sestatus Hukum Masing-Maisng
4.
Membawa Hukum Mutlaq Kepada Muqayyad
5.
Ketentuan Hukumnya Sendiri-Sendiri Tidak Bisa Dijadikan Satu.
BAB II
PEMBAHASAN
MUTLAQ DAN MUQOYYAD
A.
Pengertian
Mutlaq menurut ushul fiqih adalah
suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi
oleh lafadz lainnya. Misalnya: kata “meja”, “rumah”, “jalan”, kata-kata ini
memiliki makna mutlak karena secara makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada
pengertian makna tertentu yang telah kita pahami,
Munurut bahasa yaitu tidak terikat
sedangkan muqayyad kebalikan dari mutlak. Sedangkan menurut istilah
adalah suatu kata yang menunjukan suatu materi dengan tanpa ikatan. Mutlaq dan Muqayad itu
sama dengan‘am dan Khasa. Mutlaq adalah Lafaz yang menunjukan
suatu hakikat tanpa suatu qayid (pembatas). Jadi ia hanya menunjukan
kepada suatu individu tidak tertentu dari hakikat tersebut. Lafadz mutlaq ini
pada umumnya berbentuk nakirah dalam konteks kalimat positif. [1]Misalnya
lapadz:
ãÌóstGsù… 7pt7s%u `ÏiB È@ö6s% br& $¢!$yJtFt ... (المجادلة:3)
“…. Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang
budak sebelum kedua istri itu bercampur…., (QS. Al-Mujadalah :3).
Peryataan ini di liputi pembebasan
seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baik yang mukmin atau yang
kafir. Lafadz “raqabah” adalah nakiroh dalam konteks positif. Karena itu
pengertian ayat ini adalah, wajib atasnya memerdekakan seorang budak dengan
jenis apapun juga. Juga seperti ucapan Nabi: “Tak ada pernikahan tanpa seorang
wali.” Pada kata “Wali” di sini adalah mutlak, meliputi semua jenis wali baik
yang berakal atau tidak. Oleh karena itu Ulama Ushul mendefinisikan mutlak
dengan “suatu ungkapan dengan isim nakirah dalam kontek positif. Pengecualian
isim nakirah dalam konteks negatif (nafi) karena nakirah dalam konteks negatif
memiliki arti umum menyangkup semua individu yang termasuk jenisnya.
Muqayad adalah lafadz yang
menunjukan suatu hakikat dengan qayid (batasan), seperti kata-kata
“raqabah” yang dibatasi dengan “iman” dalam ayat: 7poYÏB÷sB7pt7s%uÌóstGsù (maka [hendaklah pembunuh itu] memerdekakan budak yang beriman).
An-Nisa’ [4]: 92).
`tBur… @tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ãÌóstGsù 7pt7s%u 7poYÏB÷sB ×ptÏur îpyJ¯=|¡B #n<Î) ¾Ï&Î#÷dr& …(النساء:92)
“…. Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena salah,
hendakalah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman dan membayar diyah
yang di serahkan kepada keluarganya….”[2]
(QS. An-Nisa’ : 92).
Para ulama berkata:”kapan saja
ditemukan suatu dalil yang mengikat (menjadikan muqayad), maka
yang mutlaq itu ditafsirkan dengannya. Dan jika tidak ditemukan, maka
juga tidak. Tetapi yang mutlaq itu tetap pada kemutlakanya. Dan
yang muqayad tetap pada maknanya. Karna Allah menurunkan firman-Nya
kepada kita dengan Bahasa Arab.[3]
B.
Kaidah Mutlaq dan Muqayyad
Apabila nash hukum datang dengan
bentuk mutlaq dan pada sisi yang lain dengan bentuk muqayyad,
maka menurut ulama ushul ada empat kaidah di dalamnya, yaitu:
1.
Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq sama dengan
sebab dan hukum yang ada dalam muqayyad. Maka dalam hal
ini hukum yang ditimbulkan oleh ayat yang mutlaq tadi harus
ditarik atau dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad. Contoh:
a.
Ayat mutlaq:
Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah
yang diharamkan, yaitu:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ÍÌYÏø:$# …(المائدة:3)
“Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah daging babi…”
(QS. Al-Maidah :3)
Ayat ini
menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa
terkecuali, karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat
oleh sifat atau hal-hal lain yang mengikatnya.
Adapun sebab
ayat ini ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal
bahaya bagi siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.[4]
b.
Ayat Muqayyad:
Surat al-An’am
ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang
diharamkan.
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜt HwÎ) br& cqä3t ºptGøtB ÷rr& $YBy %·nqàÿó¡¨B …(الأنعام:145)
“Katakanlah:
“Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir….” QS.
Al-An’am : 145).
Lafadz “dam” (darah)
dalam ayat di atas berbentuk muqayyad, karena diikuti
oleh qarinah atau qayid yaitu
lafadz “masfuhan” (mengalir). Oleh karena itu darah
yang diharamkan menurut ayat ini ialah “dam-an
masfuhan” (darah yang mengalir).
Sebab dan hukum
antara ayat al-An’am ayat 145 ini dengan surat al-Maidah ayat 3
adalah sama yaitu masalah darah yang diharamkan. Berdasarkan kaidah
bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak sama
dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan
hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan
demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang
diharamkan harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-An’am
ayat 145.
2.
Jika sebab yang ada
dalam mutlaq dan muqayyad sama tetapi hukum keduanya
berbeda, maka dalam hal ini yang mutlaq tidak bisa ditarik
kepada muqayyad. Contoh:
a.
Ayat mutlaq
Surat al-Maidah ayat 6 tentang
tayammum, yaitu:
È(#qßJ£JutFsù… #YÏè|¹ $Y6ÍhsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3Ï÷r&ur çm÷YÏiB 4 …( المائدة:6)
“Maka bertayammumlah dengan tanah
yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah…” (QS.Al-Maidah : 6).
Lafadz “yad” (tangan)
dalam ayat di atas berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz lain yang
mengikat lafadz “yad” (tangan). Dengan demikian kesimpulan dari ayat
ini ialah keharusan menyapukan tanah ke muka dan kedua tangan, baik itu hingga
pergelangan tangan atau sampai siku, tidak ada masalah. Kecuali jika di sana
ada dalil lain seperti hadits yang menerangkan tata cara tayammum oleh Nabi
yang memberikan contoh mengusap tangan hanya sampai pergelangan tangan.[5]
b.
Ayat Muqayyad
Surat al-Maidah ayat 6 tentang wudhu’,
yaitu:
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tÏ÷r&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# …(المائدة:6)
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai siku…” QS. Al-Maidah
: 6).
Lafadz “yad” (tangan)
dalam ayat ini berbentuk muqayyad karena ada lafadz yang mengikatnya
yaitu “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Maka berdasarkan ayat
tersebut mencuci tangan harus sampai siku.
Sebab dari ayat
di atas adalah sama dengan ayat mutlaq yang sebelumnya yaitu
keharusan bersuci untuk mendirikan shalat, akan tetapi hukumnya berbeda. Ayat
mutlaq sebelumnya menerangkan keharusan menyapu dengan tanah, sedang ayat muqayyad menerangkan
keharusan mencuci dengan air. Maka ketentuan hukum yang ada pada
ayat mutlaqtidak bisa ditarik kepada yang muqayyad. Artinya,
ketentuan menyapu tangan dengan tanah tidak bisa dipahami sampai siku,
sebagaimana ketentuan wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampaisiku. Dengan
demikian ayat mutlaq dan muqayyad berjalan sesuai dengan
ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.
3.
Jika sebab yang ada pada mutlaq dan muqayyad berbeda,
tetapi hukum keduanya sama, maka yang mutlaq tidak bisa dipahami dan
diamalkan sebagaimana yang muqayyad. Contoh ;
a.
Mutlaq
Surat
al-Mujadalah ayat 3 tentang kafarah dzihar yang dilakukan seorang
suami kepada istrinya.
tûïÏ%©!$#ur tbrãÎg»sàã `ÏB öNÍkɲ!$|¡ÎpS §NèO tbrßqãèt $yJÏ9 (#qä9$s% ãÌóstGsù 7pt7s%u `ÏiB È@ö6s% br& $¢!$yJtFt …(المجادلة:3)
“Orang-orang yang menzhihar isteri
mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka
(wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu
bercampur…” QS.
Al-Mujadalah :3).
Lafadz “raqabah” (hamba
sahaya) dalam masalah dzihar ini berbentukmutlaq karena tidak
ada lafadz yang mengikatnya. Sehingga seorang suami yang sudah terlanjur
men-dzihar istrinya dan ingin ditarik ucapannya, maka sebelum mencampurinya
harus memerdekan hamba sahaya atau budak, baik yang beriman ataupun yang tidak.
b.
Muqayyad
Surat an-Nisa’ ayat 92 tentang
kafarah qatl (pembunuhan) yang tidak sengaja, yaitu :
`tBur... @tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ãÌóstGsù 7pt7s%u 7poYÏB÷sB …(النساء:92)
“dan barangsiapa membunuh seorang
mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman.” (QS. An-Nisa’
: 92).
Lafadz “raqabah” (hamba
sahaya) dalam ayat ini berbentuk muqayyad dengan diikat
lafadz “mukminah” (beriman), maka hukumnya ialah keharusan untuk
memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Karena sebabnya berbeda, satu
masalah kafarah dzihar dan yang lain kafarahqatl, walaupun hukumnya
sama-sama memerdekakan hamba sahaya, namun tetap diamalkan sesuai dengan ketentuannya
masing-masing. Ayatmutlaq berjalan berdasarkan kemutlaq-annya, sedang
yang muqayyadberjalan berdasarkan kemuqayyadannya.[6]
4.
Jika sebab dan hukum yang ada pada mutlaq berbeda dengan
sebab dan hukum yang ada pada muqayyad, maka
yang mutlak tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana
yang muqayyad.
Contoh:
a.
Mutlaq
Masalah had pencurian yang
terdapat dalam surat al-Maidah ayat 38 yang berbunyi :
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtÏ÷r& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# … ( المائدة:38)
“Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.” (QS. AL-Maidah :38)
Lafadz “yad” dalam ayat di atas berbentuk mutlaq, yakni keharusan
memotong tangan tanpa diberi batasan sampai daerah mana dari tangan yang harus
dipotong.[7]
b.
Muqayyad
Masalah wudhu’ yang dijelaskan dalam
surat al-Maidah ayat 6, yaitu:
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tÏ÷r&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# …(المائدة:6)
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku.”
(Al-Maidah:6).
Lafadz “yad” dalam ayat wudhu’ ini
berbentuk muqayyad karena diikat dengan lafadz “ilal marafiqi”
(sampai dengan siku). Ketentuannya hukumnya adalah kewajiban mencuci tangan
sampai siku.
Dari dua ayat di atas terdapat lafadz yang sama yaitu
lafadz “yad”. Ayat pertama
berbentuk mutlaq, sedangkan yang kedua berbentuk muqayyad.Keduanya
mempunyai sebab dan hukum yang berbeda. Yang mutlaqberkenaan dengan
pencurian yang hukumannya harus potong tangan. Sedangkan
yang muqayyad berkenaan masalah wudhu’ yang mengharuskan membasuh
tangan sampai siku. Dari sini dapat disimpulkan bahwa
yang mutlaq tidak bisa dipahami menurut yang muqayyad.
C.
Macam- macam Mutlak dan Muqayad dan Sestatus Hukum Masing-maisng
Mutlak dan Muqayad memiliki
bentuk aqliyah dan sebagai realitas bentukya sebagai berikut ini:
1.
Sebab dan hukumnya sama, seperti “puasa” untuk kafarah sumpah. Lafadz
itu dalam qara’ah mutawatir yang terdapat dalam mushaf dan di
ungkapkan secara mutlak.
ã`yJsù… óO©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$r& 4 y7Ï9ºs äot»¤ÿx. öNä3ÏY»yJ÷r& #sÎ) óOçFøÿn=ym 4 …(المائدة:89)
Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka
kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat
sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). (Al-Maidah:89).
Dan ia muqayyad di batasi
dengan tatabu (berturut turut) dalam qira’ah Ibn Mas’ud (Maka
kafarahnya puasa selama tiga hari berturut-turut). Dalam hal seperti ini,
pengertian lapadz yang mutlaq dibawa kepada lapadz yang muqayyad (dengan
arti ) yang di maksud lapadz mutlaq adalah sama dengan yang di maksud
dengan lapadz muqayyad, karena sebab yang satu tidak akan menghendaki
dua hal yang bertentangan. Oleh karna itu segolong berpendapat bahwa puasa tiga
hari tersebut harus di lakukan tiga hari berturut-turut.[8] Maka
dalam kasus ini dipandang tidak ada muqoyyad yang karena nya lafadz mutlaq dibawa
kepadanya.
2.
Sebab sama namun hukum bebeda, seperti kata “tangan” dalam wudhu
dan tayamum. Membasuh tangan dalam wudhu di batasi sampai dengan siku Allah
berfirman:
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tÏ÷r&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# …(المائدة:6)
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku. (Al-Maidah:6).
(#qßJ£JutFsù… #YÏè|¹ $Y6ÍhsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3Ï÷r&ur çm÷YÏiB … (المائدة:6)
Maka bertayammumlah dengan tanah
yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. (Al-Maidah:6).
Dalam hal ada yang berependapat
lapadz yang mutlaq tidak di bawa kepada
lapad muqayyad karena berlainan hukumnya. Namun Al-Ghazali menukil
dari mayoritas ulam Syafi’i bahwa mutlaq disi dibawa
kepadamuqayyad mengingat “sebab” nya sama sekalipun berbeda hukumnya.
D.
Membawa Hukum Mutlaq kepada Muqayyad
Apabila nash hukum datang dengan
bentuk mutlaq dan pada sisi yang lain dengan bentuk muqayyad,
maka menurut ulama ushul ada empat kaidah di dalamnya, yaitu:
Jika sebab dan hukum yang ada
dalam mutlaq sama dengan sebab dan hukum yang ada
dalam muqayyad. Maka dalam hal ini hukum yang
ditimbulkan oleh ayat yang mutlaq tadi harus ditarik atau dibawa
kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad.
Contoh:
a.
Ayat mutlaq:
Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ÍÌYÏø:$# …(المائدة:3)
“Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah daging babi…”(Al-Maidah:3).
Ayat ini menerangkan bahwa darah
yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa terkecuali, karena
lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau
hal-hal lain yang mengikatnya.
Adapun sebab ayat ini
ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi
siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.[9]
b.
Ayat Muqayyad:
Surat al-An’am ayat 145, dalam
masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜt HwÎ) br& cqä3t ºptGøtB ÷rr& $YBy %·nqàÿó¡¨B …(الأنعام:145)
“Katakanlah: “Tiadalah aku
peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi
orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang
mengalir”. QS. Al-An’am :
145).
Lafadz “dam” (darah) dalam
ayat di atas berbentuk muqayyad, karena diikuti
oleh qarinah atau qayid yaitu
lafadz “masfuhan” (mengalir). Oleh karena itu darah
yang diharamkan menurut ayat ini ialah “dam-an masfuhan” (darah
yang mengalir).
Sebab dan hukum antara ayat al-An’am
ayat 145 ini dengan surat al-Maidah ayat 3 adalah sama yaitu
masalah darah yang diharamkan.
Berdasarkan kaidah
bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak sama
dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan
hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan
demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang
diharamkan harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-An’am
ayat 145.
E.
ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.
·
Ayat mutlaq:
Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ÍÌYÏø:$# …(المائدة:3)
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,
darah daging babi…”
Ayat ini menerangkan bahwa darah
yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa terkecuali, karena
lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau
hal-hal lain yang mengikatnya.
Adapun sebab ayat ini
ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi
siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.
·
Ayat Muqayyad:
Surat al-An’am ayat 145, dalam
masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜt HwÎ) br& cqä3t ºptGøtB ÷rr& $YBy %·nqàÿó¡¨B …(الأنعام:145)
“Katakanlah: “Tiadalah aku
peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi
orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah
yang mengalir”.[10]
Lafadz “dam” (darah) dalam
ayat di atas berbentuk muqayyad, karena diikuti
oleh qarinah atau qayid yaitu
lafadz “masfuhan” (mengalir). Oleh karena itu darah
yang diharamkan menurut ayat ini ialah “dam-an
masfuhan” (darah yang mengalir). Sebab dan hukum antara ayat
al-An’am ayat 145 ini dengan surat al-Maidah ayat 3 adalah sama
yaitu masalah darah yang diharamkan.
Berdasarkan kaidah
bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak sama
dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan
hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan
demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang
diharamkan harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-An’am
ayat 145.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Mutlaq adalah suatu lafadz yang
menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya.
Contoh: lafadz ” hamba sahaya/ raqabah ”. Muqayyad adalah lafadz yang
menunjukan pada makna tertentu dengan batasan kata tertentu. Contoh: ” hamba
sahaya yang mukmin/ raqabah mu’minah” yang berarti budak mukmin bukan budak
lainnya.. Kaidah Mutlaq adalah Lafadz mutlaq tetap dalam kemutlakannya hingga
ada dalil yang membatasinya dari kemutlakan itu, sedangkan Kaidah Muqayyad
adalah Wajib mengerjakan yang Muqayyad kecuali jika ada dalil yang
membatalkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Umar, Mukhsin Nyak. Ushul fiqh, Tim CV. Citra Kreasi Utama.
Banda Aceh : 2008.
Yahya, Mukhtar.
Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, PT. Alma’arif. Bandung: 1986.
No comments:
Post a Comment