Saturday, December 27, 2014

MUTLAQ DAN MUQAYYAD

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Didalam pembahasan ushul fiqh merupakan kaidah yang penting untuk mempelajari ilmu fiqh, banyak topik-topik yang menjadi bahasan dalam ilmu ushul fiqh seperti: amar, nahi, ‘am, khas, mujmal, mutlak, muqayyad dan lain sebagainya.
Di dalam pembahasan tentang mutlak dan muqayyad merupakan hal yang paling terpenting untuk dijelaskan karena seseorang yang tidak mengerti akan perbedaan dari masing-masing keduanya sehingga seseorang yang belajar ilmu fiqh dan dia tidak mengerti akan perbedaan dari mutlak dan muqayyad akan terjadi kesalahpahaman dalam mengartikansebuah ayat atau kitab lainnya.
Hukum lafadz mutlak dan muqayyad merupakan pembahasan yang sangat penting seperti halnya seseorang yang memahami hadis yang berbunyi “sesesorang yang membunuh orang mukmin secara tidak sengaja maka dia harus memerdekakan hamba sahaya” di hadis ini banyak orang yang keliru pemahaman karena dia tidak memahami makna dari mutlak dan muqayyad. Sehingga mereka mereka memahami hamba sahaya yang mutlak artinya baik hamba yang kafir atau yang islam, sebenarnya pada keterangan tersebut di batasi artinya hamba sahaya yang muslim.
Dan didalam pembahasan ushul fiqh yang banyak terjadi kesalahpahaman itu terletak pada pembahasan mutlak dan muqayyad. Memang pembahasan tersebut sangat sulit sehingga seseorang dalam memahami ayat tidak cukup memahami secara dhahir saja. akan tetapi harusmengetahui tentang mutlat dan muqayyad atau memahami tafsiran ayat tersebut.

B.       Rumusan Masalah

1.      Pengertian Mutlaq Dan Muqayyad
2.      Kaidah Mutlaq Dan Muqayyad
3.      Macam- Macam Mutlak Dan Muqayad Dan Sestatus Hukum Masing-Maisng
4.      Membawa Hukum Mutlaq Kepada Muqayyad
5.      Ketentuan Hukumnya Sendiri-Sendiri Tidak Bisa Dijadikan Satu.


BAB II
PEMBAHASAN

MUTLAQ DAN MUQOYYAD

A.      Pengertian

Mutlaq menurut ushul fiqih adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Misalnya: kata “meja”, “rumah”, “jalan”, kata-kata ini memiliki makna mutlak karena secara makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian makna tertentu yang telah kita pahami,
Munurut bahasa yaitu tidak terikat sedangkan muqayyad kebalikan dari mutlak. Sedangkan menurut istilah  adalah suatu kata yang menunjukan suatu materi dengan tanpa ikatan. Mutlaq dan  Muqayad  itu sama dengan‘am dan Khasa. Mutlaq adalah Lafaz yang menunjukan suatu hakikat tanpa suatu qayid (pembatas). Jadi ia hanya menunjukan kepada suatu individu tidak tertentu dari hakikat tersebut. Lafadz mutlaq ini pada umumnya berbentuk nakirah dalam konteks kalimat positif. [1]Misalnya lapadz:
㍃̍óstGsù 7pt7s%u `ÏiB È@ö6s% br& $¢!$yJtFtƒ ... (المجادلة:3)
 “…. Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua istri itu bercampur…., (QS. Al-Mujadalah :3).
Peryataan ini di liputi pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baik yang mukmin atau yang kafir. Lafadz “raqabah” adalah nakiroh dalam konteks positif. Karena itu pengertian ayat ini adalah, wajib atasnya memerdekakan seorang budak dengan jenis apapun juga. Juga seperti ucapan Nabi: “Tak ada pernikahan tanpa seorang wali.” Pada kata “Wali” di sini adalah mutlak, meliputi semua jenis wali baik yang berakal atau tidak. Oleh karena itu Ulama Ushul mendefinisikan mutlak dengan “suatu ungkapan dengan isim nakirah dalam kontek positif. Pengecualian isim nakirah dalam konteks negatif (nafi) karena nakirah dalam konteks negatif memiliki arti umum menyangkup semua individu yang termasuk jenisnya.
Muqayad adalah lafadz yang menunjukan suatu hakikat dengan qayid (batasan), seperti kata-kata “raqabah” yang dibatasi dengan “iman” dalam ayat:   7poYÏB÷sB7pt7s%uƒÌóstGsù (maka [hendaklah pembunuh itu] memerdekakan budak yang beriman). An-Nisa’ [4]: 92).
`tBur Ÿ@tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ㍃̍óstGsù 7pt7s%u 7poYÏB÷sB ×ptƒÏŠur îpyJ¯=|¡B #n<Î) ¾Ï&Î#÷dr& (النساء:92)
 “…. Dan barang siapa  membunuh seorang mukmin karena salah, hendakalah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman dan membayar diyah yang di serahkan kepada keluarganya….”[2] (QS. An-Nisa’ : 92).
Para ulama berkata:”kapan saja ditemukan suatu dalil yang mengikat (menjadikan muqayad), maka yang mutlaq itu ditafsirkan dengannya. Dan jika tidak ditemukan, maka juga tidak. Tetapi yang mutlaq itu tetap pada kemutlakanya. Dan yang muqayad tetap pada maknanya. Karna Allah menurunkan firman-Nya kepada kita dengan Bahasa Arab.[3]

B.  Kaidah Mutlaq dan Muqayyad

Apabila nash hukum datang dengan bentuk mutlaq dan pada sisi yang lain dengan bentuk muqayyad, maka  menurut ulama ushul ada empat kaidah di dalamnya, yaitu:
1.    Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq sama dengan sebab dan hukum yang ada dalam muqayyad.   Maka dalam hal ini  hukum yang ditimbulkan oleh ayat yang mutlaq tadi harus ditarik atau dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad. Contoh:
a.    Ayat mutlaq:
Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$# (المائدة:3)
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah  daging babi…” (QS. Al-Maidah :3)
Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa terkecuali, karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain yang  mengikatnya.
Adapun sebab ayat ini ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.[4]
b.    Ayat Muqayyad:
Surat al-An’am ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜtƒ HwÎ) br& šcqä3tƒ ºptGøŠtB ÷rr& $YByŠ %·nqàÿó¡¨B  (الأنعام:145)
 “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir….” QS. Al-An’am : 145).
Lafadz “dam” (darah) dalam ayat di atas  berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh qarinah atau qayid yaitu  lafadz “masfuhan” (mengalir).  Oleh karena itu  darah yang diharamkan  menurut ayat ini ialah  “dam-an masfuhan” (darah  yang mengalir).
Sebab dan hukum antara ayat al-An’am ayat 145 ini  dengan  surat al-Maidah ayat 3 adalah sama yaitu masalah darah yang diharamkan. Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang diharamkan  harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-An’am ayat 145.
2.    Jika sebab yang ada dalam mutlaq dan muqayyad sama tetapi hukum keduanya berbeda, maka dalam hal ini yang mutlaq tidak bisa ditarik kepada muqayyad. Contoh:
a.    Ayat mutlaq
Surat al-Maidah ayat 6 tentang tayammum, yaitu:
È(#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3ƒÏ÷ƒr&ur çm÷YÏiB 4 ( المائدة:6)
“Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah…” (QS.Al-Maidah : 6).
Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat di atas berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz lain yang mengikat lafadz “yad” (tangan). Dengan demikian kesimpulan dari ayat ini ialah keharusan menyapukan tanah ke muka dan kedua tangan, baik itu hingga pergelangan tangan atau sampai siku, tidak ada masalah. Kecuali jika di sana ada dalil lain seperti hadits yang menerangkan tata cara tayammum oleh Nabi yang memberikan contoh mengusap tangan hanya sampai pergelangan tangan.[5]
b.    Ayat Muqayyad
Surat al-Maidah ayat 6 tentang wudhu’, yaitu:
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (المائدة:6)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku…” QS. Al-Maidah : 6).
Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat ini berbentuk muqayyad karena ada lafadz yang mengikatnya yaitu “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Maka berdasarkan ayat tersebut mencuci tangan harus sampai siku.
Sebab dari ayat di atas adalah sama dengan ayat mutlaq yang sebelumnya yaitu keharusan bersuci untuk mendirikan shalat, akan tetapi hukumnya berbeda. Ayat mutlaq sebelumnya menerangkan keharusan menyapu dengan tanah, sedang ayat muqayyad menerangkan keharusan mencuci dengan air. Maka ketentuan hukum yang ada pada ayat mutlaqtidak bisa ditarik kepada yang muqayyad. Artinya, ketentuan menyapu tangan dengan tanah tidak bisa dipahami sampai siku, sebagaimana ketentuan wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampaisiku. Dengan demikian ayat mutlaq dan muqayyad berjalan sesuai dengan ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.
3.    Jika sebab yang ada pada mutlaq dan muqayyad berbeda, tetapi hukum keduanya sama, maka yang mutlaq tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad. Contoh ;
a.    Mutlaq
Surat al-Mujadalah ayat 3 tentang kafarah dzihar yang dilakukan seorang suami kepada istrinya.
tûïÏ%©!$#ur tbrãÎg»sàム`ÏB öNÍkɲ!$|¡ÎpS §NèO tbrߊqãètƒ $yJÏ9 (#qä9$s% ㍃̍óstGsù 7pt7s%u `ÏiB È@ö6s% br& $¢!$yJtFtƒ (المجادلة:3)
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur…” QS. Al-Mujadalah :3).
Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam masalah dzihar ini berbentukmutlaq karena tidak ada lafadz yang mengikatnya. Sehingga seorang suami yang sudah terlanjur men-dzihar istrinya dan ingin ditarik ucapannya, maka sebelum mencampurinya harus memerdekan hamba sahaya atau budak, baik yang beriman ataupun yang tidak.
b.    Muqayyad
Surat an-Nisa’ ayat 92 tentang kafarah qatl (pembunuhan)  yang tidak sengaja, yaitu :
`tBur... Ÿ@tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ㍃̍óstGsù 7pt7s%u 7poYÏB÷sB (النساء:92)
“dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.” (QS. An-Nisa’ : 92).
Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini berbentuk muqayyad dengan diikat lafadz “mukminah” (beriman), maka hukumnya ialah keharusan untuk memerdekakan hamba sahaya yang beriman.  Karena sebabnya berbeda, satu masalah kafarah dzihar dan yang lain kafarahqatl, walaupun hukumnya sama-sama memerdekakan hamba sahaya, namun tetap diamalkan sesuai dengan ketentuannya masing-masing. Ayatmutlaq berjalan berdasarkan kemutlaq-annya, sedang yang muqayyadberjalan berdasarkan kemuqayyadannya.[6]
4.    Jika sebab dan hukum yang ada pada mutlaq berbeda dengan sebab dan hukum yang ada pada muqayyad, maka yang mutlak tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad.
Contoh:
a.    Mutlaq
Masalah had pencurian yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 38 yang berbunyi :
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ÷ƒr& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$#   ( المائدة:38)
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.” (QS. AL-Maidah :38)
          Lafadz “yad” dalam ayat di atas berbentuk mutlaq, yakni keharusan memotong tangan tanpa diberi batasan sampai daerah mana dari tangan yang harus dipotong.[7]
b.    Muqayyad
Masalah wudhu’ yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 6, yaitu:
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (المائدة:6)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.” (Al-Maidah:6).
Lafadz “yad” dalam ayat wudhu’ ini berbentuk muqayyad karena diikat dengan lafadz “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Ketentuannya hukumnya adalah kewajiban mencuci tangan sampai siku.
Dari dua ayat di atas terdapat lafadz yang sama yaitu lafadz “yad”. Ayat pertama  berbentuk mutlaq, sedangkan yang kedua berbentuk muqayyad.Keduanya mempunyai sebab dan hukum yang berbeda. Yang mutlaqberkenaan dengan pencurian yang hukumannya harus potong tangan. Sedangkan yang muqayyad berkenaan masalah wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku. Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang mutlaq tidak bisa dipahami menurut yang muqayyad.

C.      Macam- macam Mutlak dan Muqayad dan Sestatus Hukum Masing-maisng

Mutlak dan Muqayad memiliki bentuk aqliyah dan sebagai realitas bentukya sebagai berikut ini:
1.      Sebab dan hukumnya sama, seperti “puasa” untuk kafarah sumpah. Lafadz itu dalam qara’ah mutawatir  yang terdapat dalam mushaf dan di ungkapkan secara mutlak.
 ã`yJsù óO©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$­ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ äot»¤ÿx. öNä3ÏY»yJ÷ƒr& #sŒÎ) óOçFøÿn=ym 4 (المائدة:89)
Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). (Al-Maidah:89).
Dan ia muqayyad  di batasi dengan tatabu (berturut turut) dalam qira’ah Ibn Mas’ud (Maka kafarahnya puasa selama tiga hari berturut-turut). Dalam hal seperti ini, pengertian lapadz yang mutlaq  dibawa kepada lapadz yang muqayyad  (dengan arti ) yang di maksud lapadz mutlaq adalah sama dengan yang di maksud dengan lapadz muqayyad, karena sebab yang satu tidak akan menghendaki dua hal yang bertentangan. Oleh karna itu segolong berpendapat bahwa puasa tiga hari tersebut harus di lakukan tiga hari berturut-turut.[8] Maka dalam kasus ini dipandang tidak ada muqoyyad yang karena nya lafadz mutlaq dibawa kepadanya.
2.      Sebab sama namun hukum bebeda, seperti kata “tangan” dalam wudhu dan tayamum. Membasuh tangan dalam wudhu di batasi sampai dengan siku Allah berfirman:
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (المائدة:6)
 Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku. (Al-Maidah:6).
(#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3ƒÏ÷ƒr&ur çm÷YÏiB (المائدة:6)
Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. (Al-Maidah:6).
Dalam hal ada yang berependapat lapadz yang mutlaq  tidak di bawa kepada lapad muqayyad karena berlainan hukumnya. Namun Al-Ghazali menukil dari mayoritas ulam Syafi’i bahwa mutlaq  disi dibawa kepadamuqayyad mengingat “sebab” nya sama sekalipun berbeda hukumnya.

D.      Membawa Hukum Mutlaq kepada Muqayyad

Apabila nash hukum datang dengan bentuk mutlaq dan pada sisi yang lain dengan bentuk muqayyad, maka  menurut ulama ushul ada empat kaidah di dalamnya, yaitu:
Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq sama dengan sebab dan hukum yang ada dalam muqayyad.   Maka dalam hal ini  hukum yang ditimbulkan oleh ayat yang mutlaq tadi harus ditarik atau dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad.
Contoh:
a.       Ayat mutlaq:
Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$# (المائدة:3)
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah  daging babi…”(Al-Maidah:3).
Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa terkecuali, karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain yang  mengikatnya.
Adapun sebab ayat ini ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.[9]
b.      Ayat Muqayyad:
Surat al-An’am ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜtƒ HwÎ) br& šcqä3tƒ ºptGøŠtB ÷rr& $YByŠ %·nqàÿó¡¨B  (الأنعام:145)
 “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”. QS. Al-An’am : 145).
Lafadz “dam” (darah) dalam ayat di atas  berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh qarinah atau qayid yaitu  lafadz “masfuhan” (mengalir).  Oleh karena itu  darah yang diharamkan  menurut ayat ini ialah  “dam-an masfuhan” (darah  yang mengalir).
Sebab dan hukum antara ayat al-An’am ayat 145 ini  dengan  surat al-Maidah ayat 3 adalah sama yaitu masalah darah yang diharamkan.
Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang diharamkan  harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-An’am ayat 145.

E.       ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.

·         Ayat mutlaq:
Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$# (المائدة:3)
 “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah  daging babi…”
Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa terkecuali, karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain yang  mengikatnya.
Adapun sebab ayat ini ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.
·         Ayat Muqayyad:
Surat al-An’am ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜtƒ HwÎ) br& šcqä3tƒ ºptGøŠtB ÷rr& $YByŠ %·nqàÿó¡¨B  (الأنعام:145)
 “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”.[10]
Lafadz “dam” (darah) dalam ayat di atas  berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh qarinah atau qayid yaitu  lafadz “masfuhan” (mengalir).  Oleh karena itu  darah yang diharamkan  menurut ayat ini ialah  “dam-an masfuhan” (darah  yang mengalir). Sebab dan hukum antara ayat al-An’am ayat 145 ini  dengan  surat al-Maidah ayat 3 adalah sama yaitu masalah darah yang diharamkan.
Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang diharamkan  harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-An’am ayat 145.[11]




BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN

Mutlaq adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Contoh: lafadz ” hamba sahaya/ raqabah ”. Muqayyad adalah lafadz yang menunjukan pada makna tertentu dengan batasan kata tertentu. Contoh: ” hamba sahaya yang mukmin/ raqabah mu’minah” yang berarti budak mukmin bukan budak lainnya.. Kaidah Mutlaq adalah Lafadz mutlaq tetap dalam kemutlakannya hingga ada dalil yang membatasinya dari kemutlakan itu, sedangkan Kaidah Muqayyad adalah Wajib mengerjakan yang Muqayyad kecuali jika ada dalil yang membatalkannya.


DAFTAR PUSTAKA


Umar, Mukhsin Nyak. Ushul fiqh, Tim CV. Citra Kreasi Utama. Banda Aceh : 2008.
Yahya, Mukhtar. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, PT. Alma’arif. Bandung: 1986.



[1] Umar, Mukhsin Nyak. Ushul fiqh, Tim CV. Citra Kreasi Utama. Banda Aceh : 2008.

[2] Diat ialah pembayaran sejumlah harta karena sesuatu tindak pidana terhadap sesuatu jiwa atau anggota badan.
[3] Opcit.
[4] Yahya, Mukhtar. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, PT. Alma’arif. Bandung: 1986.

[5] ibid
[6] ibid
[7] Umar, Mukhsin Nyak. Ushul fiqh, Tim CV. Citra Kreasi Utama. Banda Aceh : 2008.

[8] Ini adalah pendapat Abu Hanifah, As-Sauri dan salah satu pendapat As-Syafi’i.
[9] ibid
[10] Yahya, Mukhtar. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, PT. Alma’arif. Bandung: 1986.
[11] ibid

No comments: