Thursday, December 25, 2014

LARANGAN MENCURI DAN MEMINU KHAMAR

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Pencuri

Pencurian menurut Mahmud Syaltut adalah mengambil harta orang lain dengan sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh orang yang tidak dipercayai menjaga barang tersebut. Disamping itu, deinisi tersebut mengeluarkan pengambilan harta orang lain secara terang-terangan dari kategori pencurian, seperti pencopet yang mengambil barang secara terang-terangan  dan membawanya lari. Begitulah kesepakatan fuqaha.[1]
Sedangkan pencurian menurut syara’ adalah pengambilan oleh seorang mukallaf yang baligh dan berakal terhadap harta milik orang lain dengan diam-diam, apabila barang tersebut mencapai nisab (batas minimal), dari tempat simpanannya, tanpa ada syubhat dalam barang yang diambil tersebut.
Pencurian dalam syariat islam ada 2 macam, yaitu sebagai berikut:
a.       Pencurian yang hukumannya had
b.       Pencurian yang hukumannya ta’zir
Pencurian yang hukumannya dengan had terbagi dalam 2 bagian, yaitu
1.        Pencurian ringan (assirqatush shura). Menerut Abdul Qadir Audah, pencurian ringan adalah mengambil hartaa milik orang lain dengan cara diam-diam atau sembunyi-sembunyi.
2.        Pencurian berat (assirqatul qubra). Menurut Abdul Qadir Audah didefinisikan sebagai berikut: mengambilharta milik orang laindengan cara kekerasan.
Perbedaan antara pencurian ringan dan pencurian berat adalah bahwa dalam pencurian ringan, pengambilan harta itu dilakukan tanpa sepengetahuan pemilik dan tanpa persetujuannya. Sedangkan pencurian berat, pengambilan tersebut dilakukan dengan sepengetahuan pemilik harta tetapi tanpa kerelaannya, disamping terdapat unsur kekerasan.
Dalam istilah lain pencurian berat ini disebut jarimah hirobah atau perampokan, dan secara khusus akan disebutkan dalam bab yang tersendiri. Dimasukkannya perampokan ke dalam kelompok pencurian ini, sebabnya adalah karena didalam  perampokan terdapat segi persamaan dengan pencurian, yaitu sekalipun jika dikaitkan dengan pemilik barang, perampokan itu dilakukan dengan terang-terangan, namun jika dikaitkan dengan pihak penguasa atau petugas keamanan, perampokan tersebut dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.
Pencurian yang hukumannya ta’zir juga dibagi kepada 2 bagian, sebagai berikut:
1.        Semua jenis pencurian yang dikenai hukuman had, tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat. Contohnya seperti pengambilan harta milik anak oleh ayahnya.
2.        Pengambilan harta milik orang lain dengan sepengetahuan pemilik tanpa kerelaannya dan tanpa kekerasan. Contohnya seperti menjambret kalung dari seorang wanita, lalu penjambret itu melarikan diri dan pemilik barang tersebut melihatnya sambil berteriak meminta bantuan.[2]

B.     Unsur-unsur Pencurian

Dari definisi yang dikemukakan diatas, dapat diketahui bahwa unsur-unsur pencurian itu sebagai berikut:

a.      Pengambilan secara diam-diam.

Pengambilan ini terjadi karena pemilik (korban) tidak mengetahui terjadinya pengambilan barang tersebut dan ia tidak merelakannya. Contohnya, seperti mengambil barang-barang milik orang lain dari dalam rumahnya pada malam hari ketika si pemilik tidur.
Untuk terjadinya pengambilan yang sempurna diperlukan 3 syarat, yaitu sebagai berikuat:
1.        Pencuri mengeluarkan barang yang dicuri dari tempat simpanannya
2.         Barang yang dicuri di keluarkan dari kekuasaan pemilik
3.        Barang yang dicuri dimasukkan kedalam kekuasaan pencuri.

b.      Barang yang diambil berupa harta

Salah satu unsur yang penting  untuk dikenakan hukuman potong tangan adalah bahwa barang yang dicuri itu harus barang yang bernilai mal (harta). Apabila barang yangdicuri itu bukan mal (harta), seperti hamba sahaya, atau  anak kecil yang belum tamyiz maka pencuri tidak dikenai hukuman had. Akan tetapi, Imam Malik dan Zhahiriyah berpendapat bahwa anak kecil yang belum tamyiz bisa menjadi objek pencurian, walaupun bukan hamba sahaya, dan pelakunya bisa dikenai hukuman had.[3]
Dalam kaitan dengan barang yang dicuri, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk bisa dikenakan hukum potong tangan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1.        Barang yang dicuri harus berupa mal mutaqawwim, yakni barang yang dianggap bernilai menurut syara’. Barang-barang yang tidak bernilai menurut pandangan syara’ karena zatnya haram, seperti bangkai, babi, minuman keras dan sejenisnya, tidak termasuk mal mutaqawwim, dan orang yang mencurinya tidak dikenai hukuman.[4]
2.        Barang tersebut harus barang yang bergerak, Suatu benda dianggap sebagai benda bergerak apabila benda tersebut bisa dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Ini tidak berarti benda itu benda bergerak menurut tabiatnya, melainkan cukup apabila benda itu dipindahkan oleh pelaku atau oleh orang lain.
3.        Barang tersebut tersimpan di tempat simpanannya.
4.        Barang tersebut mencapai nishab pencurian, Tindak pidana pencurian baru dikenakan hukuman bagi pelakunya apabila barang yang dicuri mencapai nishab pencurian.
5.        Harta tersebut milik orang lain, disyaratkan barang yang dicuri itu merupakan hak milik orang lain. Demikian pula halnya orang yang mencuri tidak dikenai hukuman had apabila terdapat syubhat (ketidakjelasan) dalam barang yang dicuri. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Jabir bahwa Rasulullah Saw. Bersabda yang artinya: “Engkau dan hartamu milik ayahmu.[5]

C.    Pencurian Menurut Hukumnya

Pencurian bila ditinjau dari segi hukumnya dibagi menjadi dua, yaitu pencurian yang diancam dengan hukuman had dan pencurian yang diancam dengan hukuman ta’zir. Pencurian yang diancam dengan hukuman had dibagi menjadi dua, yaitu sariqah sughra (pencurian kecil ) dan sariqah kubra (pencurian besar).
Yang dimaksud dengan pencurian kecil adalah pengambilan harta orang lain secara diam-diam, sedangkan pencurian besar adalah pengambilanharta orang lain secara terang  terangan atau dengan kekerasan. Pencurian biasa ada dua syarat yang harus dipenuhi yaitu mengambil harta tanpa sepengetahuan pemiliknya dan pengambilannya itu tanpa kerelaan pemiliknya. Sedangkan unsur pokok dalam pembegelan adalah terang-terangan atau kekerasan yang dipakai, sekalipun tidak mengambil harta.

1.        Adapun unsur –unsur pencurian adalah :

a.         Mengambil Harta secara diam –diam
Yang dimaksud dengan mengambil harta secara diam –diam adalah mengambil harta tanpa sepengetahuan pemiliknya dan kerelaan pemiliknya, separti mengambil barang dari rumah orang lain yang ketika penghuninya sedang tidur. Pengambilan harta itu dapat dianggap sempurna ,jika :
1.        Pencuri mengeluarkan harta dari tempatnya.
2.        Barang yang dicuri telah berpindah tangan dari pemiliknya.
3.        Barang yang dicuri telah berpindah tangan ketangan pencuri.
Bila salah satu syarat diatas tidak terpenuhi maka pengambilan tersebut tidak sempurna. Dengan demikian ,hukumannya bukan had melainkan ta’zir. Misalnya seorang pencuri baru masuk kerumah dan belum berhasil mengambil harta dalam rumah itu ,tiba –tiba tertangkap atau
 Barang yang sudah dikumpulkan pencuri ,namun belum berhasil dibawa pergi. Hanya madzhab Zhahiri yang berpendapat bahwa yang percobaan pemcurian diancam dengan sanksi yang sama dengan pencurian, karena Zhahiri tidak mensyaratkan pengambilan harta dari tempat penyimpanannya dan di anggap cukup bila si pencuri telah mempunyai niat untuk pencuri. Tetapi pendapat seperti itu tidak adil karena memberikan sanksi yang sama terhadap perbuatan yang berbeda. Padahal menurut syariat islam sanksi harus seimbang dengan perbuatan.
b.        Barang yang dicuri berupa harta
Disyaratkan barang yang dicuri berupa harta yang bergerak, berharga, memiliki tempat penyimpanan yang layak dan sampai nisab.
c.          Harta yang Dicuri Itu Milik Orang Lain
Disyaratkan dalam pidana pencurian bahwa sesuatu yang dicuri itu merupakan milik orang lain.

2.        Tangan pencuri harus di potong dengan tiga syarat :
a.         Pencuri itu sudah baligh .
b.        Berakal sehat .
c.         Mencuri satu nisab yang nilainya adalah seperempat dinar dan di ambil dari tempat simpanan yang semestinya , pencuri tidak ada hak milik padanya serta tidak ada syubhat pada harta yang dicuri.

Mencuri artinya mengambil barang orang lain tanpa izin pemiliknya dengan cara sembunyi . Tangan pencuri harus dipotong apabila sudah memenuhi syarat . Allah swt., berfirman :

ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ÷ƒr& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÌÑÈ 
Artinya :
            “Laki –laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya sebagai balasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah dan allah Maha Pengampun lagi Maha Bijaksana”. (Al Maidah : 38 ).

Tangan pencuri boleh di potong apabila yang dicuri sudah cukup satu nisab yaitu seperempat  dinar dan barang itu sudah disimpan. Kalau kurang dari satu nisab atau sudah cukup satu nisab tetapi tidak dalam terjaga maka tidak boleh di potong tangannya.  Didalam hadits telah di terangkan :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عَنْ رَسُوْ لِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تُقْطَعُ يَدُسَارِقٍ أِلاَّ فِىْ رُبُعِ دِيْنَارٍ فُصَا عِدًا.
Artinya :
             “ Dari Aisyah ra , dari Rasulullah saw , beliau bersabda : Tangan pencuri tidak di potong  kecuali sudah sampai seperempat dinar atau lebih". (HR . Bukhari dan Muslim ).

3.        Pemotongan tangan :                                                                                             
a.         Mencuri yang pertama  dipotong tangan kanannya .
b.        Mencuri yang kedua  dipotong  kaki kirinya .
c.         Mencuri yang ketiga dipotong tangan kirinya .
d.        Mencuri yang keempat dipotong kaki kanannya .
e.         Mencuri yang kelima dibuang kedaerah lain atau dibunuh.
Seperti terdapat dalam hadist dibawah ini :

عَبْدُ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَ : قَطَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَسَارِقٍ فِي مِجَنٍّ ثّمَنُهُ ثَلاُ ثَهُ دَرَاهَمِ
Artinya :
Abdullah bin Umar , dia berkata : Nabi memotong tangan pencuri atas pencurian perisai seharga tiga dirham . ( Buhkari dan Muslim ).[6]
            Adapun ketetepan untuk memotong tangan pencuri yang mencuri barang senilai seperempat dinar dan menetapkan ganti rugi atas terpotongnya tangan tanpa sengaja senilai lima ratus dinar. Adapun pengkhususan kadar seperempat dinar sebagai batasan diperbolehkannya memotong tangan pencuri . Alasannya adalah adanya suatu kemestian untuk menetapkan kadar tertentu yang menjadi batasan dilaksanakannya kewajiban untuk memotong tangan. Sebab, tidak mungkin dikatakan bahwa tangan pencuri  dipotong apabila ia mencuri sebutir beras atau sebiji gandum. Oleh sebab itu, mesti ada ketetapan tentang batasannya.







D.    Pendapat Para Ulama

Berkata Ibrahim An Nakha’i serta ulama – ulama lain dari kalangan tabi’in:
Yaitu Bahwasannya Para sahabat tidak memotong tangan  pencuri yang mencuri sesuatu yang tidak memiliki nilai Sebab , pada yang demikian itu tidak membahayakan harta – harta mereka ,dan dalam penetapan batas dibolehkan memotong tangan pencuri apabila barang curian itu telah mencapai harga tiga dirham. Karena kadar seperti itu  biasanya merupakan biaya hidup sehari bagi mereka yang kehidupannya sederhana.
Menurut Ibn Abbas ,memotong tangan pencuri itu di dahulukan yang kanan karena tangan kananlah yang biasa disebut mempunyai kekuatan.
Menurut Qadli Abu Thayib, boleh mendahulukan tangan yang kiri sebab untuk pengajaran dan yang pokoknya memotong sampai pergelangan tangan.
Menurut suatu riwayat dan juga Abu Bakar dan Umar memotong tangan pencuri sampai pergelangan tangan . kalau mencuri lagi dipotong kaki kirinya dan kalau mencuri lagi dipotong tangan kirinya ,dan kalau mencuri lagi dipotong kakinya dan yang sudah tidak puny tangan dan kaki masih mencuri juga maka harus di bunuh . Demikianlah perintah Rasulullah Saw .
Menurut Al – Zuhry , perintah membunuh pencuri yang ke lima telah  dihapus dengan perintah membuangnya .
Imam Syafi’I juga berpendapat bahwa perintah membunuh pencuri yang ke lima sudah dihapus . Sebab semua maksiyat harus di had, berulangnya tidak wajib dibunuh.
Menurut Mazhab Empat dan Syiah serta KHU Pidana di Indonesia menetapakan bahwa pencurian  terhadap barang yang tidak ada pada tempatnya  maka tidak dapat di ancam dengan hukuman had ( potong tangan ) melainkan hukuman ta’zir .
Menurut Imam Abu Hanifah, tidak wajib dikenakan hukuman potong tangan pada pencurian harta dalam keluarga yang mahram karena mereka diperbolehkan keluar masuk tanpa izin. Dan beliau menanbahkan lagi tidak ada hukuman potong tangan pada kasus pencurian suami –istri . Menurut Imam syafi’I dan Imam Ahmad, seorang ayah tidak dapat dikenakan hukuman potong tangan karena mencuri harta anaknya, cucunya, dan seterusnya. Demikian juga sebaliknya, anak tidak dapat dikenai hukuman potong tangan karena mencuri harta ayahnya, kakeknya, dan seterusnya.
Berkenaan dengan nisab harta yang di curi, Imam Malik mengukur nisabnya dengan emas atau perak. Sedangkan menurut Imam Al–Syafi’i  mengukur nisabnya dengan ¼ dinar dan Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa nisab pencurian itu senilai 10 dirham atau 1 dinar.
Syi’ah, ibn Rusyd berpendapat lain dengan menyebutkan bahwa pencurian itu sebesar 4 dinar atau 40 dirham.
Batasan pemotongan tangan bagi pencuri , menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad serta Zahiri adalah dari pergelangan tangan bawah.[7]

E.     Devinisi Syurb Khamr

Minum khamr (Syurb khamr) diambil dari kata (بش ), yang artinya minum. Dan kata minum / khamr (رومخا), yang artinya arak atau minuman keras. Sedang minum khamr (syurb khamr) menurut istilah adalah memasukkan minuman yang memabukkan ke mulut lalu ditelan masuk ke perut melalui kerongkongan, meskipun bercampur dengan makanan lain yang halal. Sedang orang yang meminum arak dinamakan (شاربي الخمور), yang artinya peminum.
Khamr berasal dari kata yang berarti menutupi. Di sebut sebagai khamr, karena sifatnya bisa menutupi akal Sedangkan menurut pengertian urfi pada masa itu, khamr adalah apa yang bisa menutupi akal yang terbuat dari perasan anggur.
Sedangkan dalam pengertian syara’, khamr tidak terbatas pada perasan anggur saja, tetapi semua minuman yang memabukkan dan tidak terbatas dari perasan anggur saja. Wahyu yang turun kepada Rasulullah SAW telah lengkap dan sempurna, kemudian Rasulullah SAW bersabda:
Setiap yang memabukkan itu haram (HR Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Hadits itu menunjukkan bahwa khamr itu tidak terbatas terbuat dari perasan anggur saja, sebagaimana makna urfi, tetapi mencakup semua yang bisa menutupi akal dan memabukkannya. Setiap minuman yang memabukkan dan menutupi akal layak disebut khamr, baik terbuat dari anggur, gandum, jagung, kurma, maupun lainnya.
Jika khamr diharamkan karena zatnya, sementara pada hadits di atas dinyatakan  berarti itu menunjukkan kepada kita bahwa sifat yang melekat pada zat khamr adalah memabukkan. Karena sifat utama khamr itu memabukkan, maka untuk mengetahui keberadaan zat khamr itu atau untuk mengenali zatnya adalah dengan meneliti zat-zat apa saja yang memiliki sifat memabukkan.
Karena sifatnya yang memabukkan itulah maka apabila dicampurkan atau bercampur dengan air atau minuman bisa menyebabkan mabuk bagi setiap orang yang meminumnya. Tinggi-rendahnya kadar alkohol di dalam minuman tersebut sangat menentukan keras-tidaknya sebuah minuman.
Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa diharamkannya khamr itu karena zatnya, maka hukum meminumnya adalah haram. Tidak dilihat lagi segi kuantitas zatnya, baik sedikit maupun banyak, semuanya haram. Hal ini sama dengan memakan daging babi atau bangkai, hukumnya haram, baik sedikit maupun banyak, karena kedua benda itu diharamkan karena zatnya. Demikian juga haramnya khamr tidak dilihat dari segi pengaruh bagi peminumnya. Baik akan mengakibatkan mabuk atau tidak bagi peminumnya, hukumnya tetap haram.

E. Unsur-unsur Jarimah Syurb Khamar

Ada dua unsur dalam jarimah syurb khamr. Yaitu minum-minuman yang memabukkan dan ada itikad jahat.
Yang dimaksud dengan ada niat jahat adalah sudah tau bahwa meminum khamr itu haram, tetapi tetap saja dia minum. Oleh karena itu, tidak dikenai sanksi orang yang meminum khamr atau meminum minuman yang memabukkan sedang dia tidak tahu bahwa yang dia minum itu adalah minuman yang memabukkan atau tidak tahu bahwa minuman itu haram, juga dibawah paksaan.
4.        Pembuktian untuk Jarimah Syurbul Khamr
Alat bukti syurb khamr adalah:
a.         Persaksian, jumlah saksi adalah dua orang laki-laki atau empat orang wanita. Menurut Imam Abu Hanifah ra dan Abu Yusuf ra, saksi harus mencium bau minuman yang memabukkan ketika menyaksikanya.
b.        Pengakuan dari peminum, pengakuan ini cukup satu kali saja.
c.         Bau mulut, menurut Imam Maliki ra bau mulut orang meminum minuman yang memabukkan dapat dianggap sebagai bukti bahwa yang bersangkutan telah meminum khamr.
d.        Mabuk, Imam Abu Hanifah ra berpendapat bahwa mabuk dapat dianggap sebagai alat bukti minum khamr. Sedang Imam Syafi’i ra tidak demikian, karena mabuk itu memberi banyak kemungkinan, terutama dipaksa atau terpaksa.
e.         Muntah, menurut Imam Maliki ra beranggapan bahwa muntah dapat dijadikan sebagai bukti minum khamr. Hal ini pernah dilakukan ketika Usman bin Afan ra menjatuhkan hukuman dera bagi orang yanh muntah-muntah akibat meminum khamr.

F. Hukuman Untuk Peminum Khamr

عَنْ اَنَسٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص اُتِيَ بِرَجُلٍ قَدْ شَرِبَ اْلخَمْرَ فَجُلِدَ بِجَرِيْدَتَيْنِ نَحْوَ اَرْبَعِيْنَ، قَالَ: وَ فَعَلَهُ اَبُوْ بَكْرٍ. فَلَمَّا كَانَ عُمَرُ اسْتَشَارَ النَّاسَ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنُ عَوْفٍ: اَخَفُّ اْلحُدُوْدِ ثَمَانِيْنَ فَاَمَرَ بِهِ عُمَرُ. احمد و مسلم و ابو داود و الترمذى و صححه
Dari Anas RA, sesungguhnya Nabi SAW pernah dihadapkan kepada beliau seorang laki-laki yang telah minum khamr. Lalu orang tersebut dipukul dengan dua pelepah kurma (pemukul) sebanyak 40 kali. Anas berkata, "Cara seperti itu dilakukan juga oleh Abu Bakar". Tetapi (di zaman 'Umar) setelah 'Umar minta pendapat para shahabat yang lain, maka 'Abdur Rahman bin 'Auf berkata, "Hukuman yang paling ringan ialah 80 kali. Lalu 'Umar pun menyuruh supaya didera 80 kali". (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi menshahihkannya.)
Khamr adalah benda. Sedangkan hukum benda tidak terlepas dari dua hal, yaitu halal atau haram. Selama tidak ada dalil yang yang mengharamkannya, hukum suatu benda adalah halal. Karena ada dalil yang secara tegas mengharamkannya, maka hukum khamr itu haram.
Hukum syara’ adalah seruan syari’ yang berkaitan dengan perbuatan hamba (manusia). Sehingga, meskipun hukum syara’ menentukan status hukum benda, tetap saja akan berkait dengan perbuatan manusia dalam menggunakannya.
5.        Pelaksanaan Hukum Syurb Khamar
Pelaksanaan had bagi peminum khamr sama dengan pelaksanaan dera pada jarimah lainya. Namun dalam pelaksanaan tidak diperbolehkan disertai emosi atau dalam keadaan marah. juga dalam mendera ketika eksekutor tidak boleh sampai kelihatan, sedang alat dera yang digunakan adalah pelepah daun kurma atau sejenisnya.
6.        Hapusnya Hukuman Syurb Khamr
Hukuman had bagi peminum khamr dapat dihapus atau dibatalkan apabila:
a.         Para saksi menarik kesaksianya, apabila tidak ada bukti yang menguatkan.
b.        Pelaku menarik kembali persaksianya, karena tidak ada bukti yang menguatkan.
c.         Kebenaran bukti-bukti masih dipertanyakan, atau masih diragukan kebenaranya
7.        Hukuman Had Bagi Syurb Khamr Sebagai Penghapus Dosa

Barang siapa berbuat pelanggaran lalu dihukum, maka hukuman tersebut adalah sebagai penebus atau penghapus dosanya. Rasulullah saw menegaskan larangan kepada para sahabat sebagai mana larangan kepada wanita yaitu: tidak boleh menyekutukan sesuatu dengan Allah swt, tidak boleh mencuri, tidak boleh berzina, tidak boleh membunuh anak-anak dan tidak boleh saling membohongi. Maka barang siapa konsisten dalam menghindari larangan itu, maka Allah swt yang menanggung pahalanya. Barang siapa melakukan pelanggaran lalu dilaksanakan hukuman padanya, maka hukuman tersebut menjadi penghapus dosanya. Barang siapa melakukan pelanggaran lalu ditutupi oleh Allah swt, maka urusanya terserah kepada Allah swt. Jika Allah swt menghendaki, maka Dia menyiksanya, dan jika Dia menghendaki, maka Dia mengampuninya.
Syarat Diberlakukannya Hudud Peminum Khamar
Namun para ulama sepakat bahwa agar hukuman pukul atau cambuk itu dapat terlanksana, syarat dan ketentuannya harus terpenuhi terlebih dahulu. Tidak asal ada orang minum khamar lantas segera dicambuk. Di antara syarat dan ketentuannya antara lain :
1. Berakal
Peminumnya adalah seorang yang waras atau berakal. Sehingga orang gila bila meminum minuman keras maka tidak boleh dihukum hudud.
2. Baligh
Peminum itu orang yang sudah baligh, sehingga bila seorang anak kecil di bawah umur minum minuman keras, maka tidak boleh dihukum hudud.
3. Muslim
Hanya orang yang beragama Islam saja yang bila minum minuman keras yang bisa dihukum hudud. Sedangkan non muslim tidak bisa dihukum bahkan tidak bisa dilarang untuk meminumnya.
4. Bisa memilih
Peminum itu dalam kondisi bebas bisa memilih dan bukan dalam keadaan yang dipaksa.
5. Tidak dalam kondisi darurat
Maksudnya bila dalam suatu kondisi darurat dimana seseorang bisa mati bila tidak meminumnya, maka pada saat itu berlaku hukum darurat. Sehingga pelakunya dalam kondisi itu tidak bisa dijatuhi hukuman hudud.
6. Tahu bahwa itu adalah khamar
Bila seorang minum minuman yang dia tidak tahu bahwa itu adalah khamar, maka dia tidak bisa dijatuhi hukuman hudud.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

            Pencuri adalah mengambil harta orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh orang yang tidak dipercayai menjaga barang tersebut. Pencurian dilihat dari segi hukumannya ada dua yaitu pencurian yang diancam degan had dan juga diancam dengan hukuman ta’zir. Pencurian yang diancam dengan hukuman had terbagi menjadi dua lagi yaitu sariqah sughra dan sariqah kubra.
            Tangan pencuri dipotong dengan tiga syarat :
1.      Berakal sehat.
2.      Baligh
3.      Barang yang dicuri mencapai nisab yaitu seperempat dinar
Syurb khamr adalah memasukkan minuman yang memabukkan ke mulut lalu ditelan masuk ke perut melalui kerongkongan, meskipun bercampur dengan makanan lain yang halal. Adapun segala sesuatu yang memabukkan dinamakan khamr, dan meminumnya dihukumi haram.



DAFTAR PUSTAKA

Faizal, Enceng Arif dan Jaih Mubarok. Kaidah Fiqh Jianayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam). Bandung: Pustaka Bani Quraisy2004
Djazuli, Fiqih Jinayah, jakarta:  Raja Grafindo Persada. 1996
Jalal Ad-Din As-Sayuthi, Al-Jami’ Ash-Shagir, Juz I, Dar Al-Fikr. TT

Muhammad Fuad Abdul Baqi. Al- Lu’lu’wal Marjan. Jakarta : pustaka as- sunnah. 2008

Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Imam Al-Hafizh. (2005). Fathul Baari penjelasan kitab shahih Al-Bukhari. Jakarta: Pustaka Azzam.
Prof. DR.H. Rachmat Syafe’i, M.A. 2000. Al-Hadist. Bandung: Pustaka Setia.
Ust. Maftuh Ahnan Asy. 2003. Kumpulan Hadist Terpilih Shahih Bukhari. Surabaya: Terbit Terang.
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, tanpa tahun.
Ahmad Wardi Muslich, 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika Offset.



[1]  Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syariat Islam,... hal 83.
[2] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2005), hal. 81-82.
[3] Muhammad Ibnu Rusyd Al-Qurthubi, Bidayah Al-Mujtahidjuz II (Dar Al-fikr,tanpa tahun), hal 338.
[4] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,... hal 84.
[5] Jalal Ad-Din As-Sayuthi, Al-Jami’ Ash-Shagir, Juz I, Dar Al-Fikr, Tanpa tahun, hlm 108.
[6] Muhammad Fuad Abdul Baqi. Al- Lu’lu’wal Marjan.(Jakarta : pustaka as- sunnah, 2008 ) h.129-130
[7] Djazuli. Fiqh Jinayah , (Jakarta : Raja Grafindo Persada , 1996 ) hal :74 - 85

No comments: