BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Pencuri
Pencurian menurut Mahmud Syaltut
adalah mengambil harta orang lain dengan sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh
orang yang tidak dipercayai menjaga barang tersebut. Disamping itu, deinisi
tersebut mengeluarkan pengambilan harta orang lain secara terang-terangan dari
kategori pencurian, seperti pencopet yang mengambil barang secara
terang-terangan dan membawanya lari. Begitulah kesepakatan fuqaha.[1]
Sedangkan pencurian menurut syara’
adalah pengambilan oleh seorang mukallaf yang baligh dan berakal terhadap harta
milik orang lain dengan diam-diam, apabila barang tersebut mencapai nisab
(batas minimal), dari tempat simpanannya, tanpa ada syubhat dalam barang yang
diambil tersebut.
Pencurian dalam syariat islam ada 2
macam, yaitu sebagai berikut:
a.
Pencurian yang hukumannya had
b.
Pencurian yang hukumannya ta’zir
Pencurian yang hukumannya dengan had terbagi dalam 2 bagian, yaitu
1.
Pencurian ringan (assirqatush shura). Menerut Abdul Qadir
Audah, pencurian ringan adalah
mengambil hartaa milik orang lain dengan cara diam-diam atau sembunyi-sembunyi.
2.
Pencurian berat (assirqatul qubra). Menurut Abdul Qadir
Audah didefinisikan sebagai berikut: mengambilharta milik orang laindengan cara
kekerasan.
Perbedaan
antara pencurian ringan dan pencurian berat adalah
bahwa dalam pencurian ringan, pengambilan harta itu dilakukan tanpa
sepengetahuan pemilik dan tanpa persetujuannya. Sedangkan pencurian berat,
pengambilan tersebut dilakukan dengan sepengetahuan pemilik harta tetapi tanpa
kerelaannya, disamping terdapat unsur kekerasan.
Dalam istilah
lain pencurian berat ini disebut jarimah hirobah atau perampokan, dan secara
khusus akan disebutkan dalam bab yang tersendiri. Dimasukkannya perampokan ke dalam kelompok pencurian
ini, sebabnya adalah karena didalam perampokan terdapat segi persamaan
dengan pencurian, yaitu sekalipun jika dikaitkan dengan pemilik barang,
perampokan itu dilakukan dengan terang-terangan, namun jika dikaitkan dengan
pihak penguasa atau petugas keamanan, perampokan tersebut dilakukan dengan
sembunyi-sembunyi.
Pencurian yang
hukumannya ta’zir juga dibagi kepada 2 bagian, sebagai berikut:
1.
Semua jenis pencurian yang dikenai hukuman had, tetapi
syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat. Contohnya seperti
pengambilan harta milik anak oleh ayahnya.
2.
Pengambilan harta milik orang lain dengan sepengetahuan pemilik
tanpa kerelaannya dan tanpa kekerasan. Contohnya seperti menjambret kalung dari
seorang wanita, lalu penjambret itu melarikan diri dan pemilik barang tersebut
melihatnya sambil berteriak meminta bantuan.[2]
B.
Unsur-unsur Pencurian
Dari definisi yang dikemukakan
diatas, dapat diketahui bahwa unsur-unsur pencurian itu sebagai berikut:
a. Pengambilan
secara diam-diam.
Pengambilan ini terjadi karena
pemilik (korban) tidak mengetahui terjadinya pengambilan barang tersebut dan ia
tidak merelakannya. Contohnya, seperti mengambil barang-barang milik orang lain
dari dalam rumahnya pada malam hari ketika si pemilik tidur.
Untuk
terjadinya pengambilan yang sempurna diperlukan 3 syarat, yaitu sebagai
berikuat:
1.
Pencuri mengeluarkan barang yang dicuri dari tempat simpanannya
2.
Barang yang dicuri di keluarkan dari kekuasaan pemilik
3.
Barang yang dicuri dimasukkan kedalam kekuasaan pencuri.
b. Barang yang
diambil berupa harta
Salah satu
unsur yang penting untuk dikenakan hukuman potong tangan adalah bahwa
barang yang dicuri itu harus barang yang bernilai mal (harta). Apabila barang
yangdicuri itu bukan mal (harta), seperti hamba sahaya, atau anak kecil
yang belum tamyiz maka pencuri tidak dikenai hukuman had. Akan tetapi, Imam
Malik dan Zhahiriyah berpendapat bahwa anak kecil yang belum tamyiz bisa
menjadi objek pencurian, walaupun bukan hamba sahaya, dan pelakunya bisa
dikenai hukuman had.[3]
Dalam kaitan dengan barang yang
dicuri, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk bisa dikenakan hukum
potong tangan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Barang yang dicuri harus berupa mal mutaqawwim, yakni barang yang dianggap bernilai menurut syara’. Barang-barang
yang tidak bernilai menurut pandangan syara’ karena zatnya haram, seperti
bangkai, babi, minuman keras dan sejenisnya, tidak termasuk mal mutaqawwim,
dan orang yang mencurinya tidak dikenai hukuman.[4]
2.
Barang tersebut harus barang yang bergerak, Suatu
benda dianggap sebagai benda bergerak apabila benda tersebut bisa dipindahkan
dari satu tempat ke tempat yang lain. Ini tidak berarti benda itu benda
bergerak menurut tabiatnya, melainkan cukup apabila benda itu dipindahkan oleh
pelaku atau oleh orang lain.
3.
Barang tersebut tersimpan di tempat simpanannya.
4.
Barang tersebut mencapai nishab pencurian, Tindak
pidana pencurian baru dikenakan hukuman bagi pelakunya apabila barang yang
dicuri mencapai nishab pencurian.
5.
Harta tersebut milik orang lain, disyaratkan
barang yang dicuri itu merupakan hak milik orang lain. Demikian
pula halnya orang yang mencuri tidak dikenai hukuman had apabila terdapat
syubhat (ketidakjelasan) dalam barang yang dicuri. Hal ini didasarkan pada
hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Jabir bahwa Rasulullah Saw.
Bersabda yang artinya: “Engkau dan hartamu milik ayahmu.[5]
C.
Pencurian Menurut Hukumnya
Pencurian bila ditinjau dari segi hukumnya dibagi
menjadi dua, yaitu pencurian yang diancam dengan hukuman had dan pencurian yang
diancam dengan hukuman ta’zir. Pencurian yang diancam
dengan hukuman had dibagi menjadi dua, yaitu sariqah sughra (pencurian kecil )
dan sariqah kubra (pencurian besar).
Yang dimaksud dengan pencurian kecil adalah
pengambilan harta orang lain secara diam-diam, sedangkan pencurian besar adalah
pengambilanharta orang lain secara terang
terangan atau dengan kekerasan. Pencurian biasa ada dua syarat yang
harus dipenuhi yaitu mengambil harta tanpa sepengetahuan pemiliknya dan
pengambilannya itu tanpa kerelaan pemiliknya. Sedangkan unsur pokok dalam
pembegelan adalah terang-terangan atau kekerasan yang dipakai, sekalipun tidak
mengambil harta.
1.
Adapun unsur –unsur pencurian adalah :
a.
Mengambil Harta secara diam –diam
Yang dimaksud dengan mengambil harta secara diam
–diam adalah mengambil harta tanpa sepengetahuan pemiliknya dan kerelaan
pemiliknya, separti mengambil barang dari rumah orang lain yang ketika
penghuninya sedang tidur. Pengambilan harta itu
dapat dianggap sempurna ,jika :
1.
Pencuri mengeluarkan harta dari tempatnya.
2.
Barang yang dicuri telah berpindah tangan dari pemiliknya.
3.
Barang yang dicuri telah berpindah tangan ketangan pencuri.
Bila salah satu syarat
diatas tidak terpenuhi maka pengambilan tersebut tidak sempurna. Dengan
demikian ,hukumannya bukan had melainkan ta’zir. Misalnya seorang pencuri baru
masuk kerumah dan belum berhasil mengambil harta dalam rumah itu ,tiba –tiba
tertangkap atau
Barang yang sudah dikumpulkan pencuri ,namun
belum berhasil dibawa pergi. Hanya madzhab Zhahiri yang berpendapat bahwa yang
percobaan pemcurian diancam dengan sanksi yang sama dengan pencurian, karena
Zhahiri tidak mensyaratkan pengambilan harta dari tempat penyimpanannya dan di
anggap cukup bila si pencuri telah mempunyai niat untuk pencuri. Tetapi
pendapat seperti itu tidak adil karena memberikan sanksi yang sama terhadap
perbuatan yang berbeda. Padahal menurut syariat islam sanksi harus seimbang
dengan perbuatan.
Disyaratkan barang yang dicuri berupa harta yang bergerak, berharga,
memiliki tempat penyimpanan yang layak dan sampai nisab.
c.
Harta yang Dicuri Itu Milik Orang
Lain
Disyaratkan dalam
pidana pencurian bahwa sesuatu yang dicuri itu merupakan milik orang lain.
2.
Tangan pencuri harus di potong dengan tiga syarat :
a.
Pencuri itu sudah baligh .
b.
Berakal sehat .
c.
Mencuri satu nisab yang nilainya adalah seperempat dinar dan di ambil dari
tempat simpanan yang semestinya , pencuri tidak ada hak milik padanya serta
tidak ada syubhat pada harta yang dicuri.
Mencuri artinya mengambil barang orang lain tanpa izin pemiliknya dengan
cara sembunyi . Tangan pencuri harus dipotong apabila sudah memenuhi syarat .
Allah swt., berfirman :
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtÏ÷r& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îÍtã ÒOÅ3ym ÇÌÑÈ
Artinya
:
“Laki –laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya sebagai balasan bagi apa yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah dan allah Maha Pengampun lagi
Maha Bijaksana”.
(Al Maidah : 38 ).
Tangan pencuri boleh di potong apabila yang dicuri
sudah cukup satu nisab yaitu seperempat
dinar dan barang itu sudah disimpan. Kalau kurang dari satu nisab atau sudah cukup satu nisab tetapi tidak dalam
terjaga maka tidak boleh di potong tangannya.
Didalam hadits telah di terangkan :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهَا عَنْ رَسُوْ لِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ
تُقْطَعُ يَدُسَارِقٍ أِلاَّ فِىْ رُبُعِ دِيْنَارٍ فُصَا عِدًا.
Artinya :
“ Dari Aisyah ra ,
dari Rasulullah saw , beliau bersabda : Tangan pencuri tidak di potong kecuali sudah sampai seperempat dinar atau
lebih". (HR . Bukhari dan
Muslim ).
3.
Pemotongan tangan :
a.
Mencuri yang pertama dipotong tangan
kanannya .
b.
Mencuri yang kedua dipotong kaki kirinya .
c.
Mencuri yang ketiga dipotong tangan kirinya .
d.
Mencuri yang keempat dipotong kaki kanannya .
e.
Mencuri yang kelima dibuang kedaerah lain atau dibunuh.
Seperti terdapat dalam hadist dibawah ini :
عَبْدُ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَ : قَطَعَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَسَارِقٍ فِي مِجَنٍّ ثّمَنُهُ ثَلاُ ثَهُ
دَرَاهَمِ
Artinya :
Abdullah bin Umar , dia berkata : Nabi memotong tangan pencuri atas
pencurian perisai seharga tiga dirham . ( Buhkari dan Muslim ).[6]
Adapun ketetepan untuk memotong tangan pencuri yang mencuri barang senilai
seperempat dinar dan menetapkan ganti rugi atas terpotongnya tangan tanpa
sengaja senilai lima ratus dinar. Adapun pengkhususan kadar seperempat dinar
sebagai batasan diperbolehkannya memotong tangan pencuri . Alasannya adalah
adanya suatu kemestian untuk menetapkan kadar tertentu yang menjadi batasan
dilaksanakannya kewajiban untuk memotong tangan. Sebab, tidak mungkin dikatakan
bahwa tangan pencuri dipotong apabila ia
mencuri sebutir beras atau sebiji gandum. Oleh sebab itu, mesti ada ketetapan tentang batasannya.
D. Pendapat Para Ulama
Berkata Ibrahim An
Nakha’i serta ulama – ulama lain dari kalangan tabi’in:
Yaitu Bahwasannya Para sahabat tidak memotong
tangan pencuri yang mencuri sesuatu yang
tidak memiliki nilai Sebab , pada yang demikian itu tidak membahayakan harta –
harta mereka ,dan dalam penetapan batas dibolehkan memotong tangan pencuri
apabila barang curian itu telah mencapai harga tiga dirham. Karena kadar seperti
itu biasanya merupakan biaya hidup
sehari bagi mereka yang kehidupannya sederhana.
Menurut Ibn Abbas
,memotong tangan pencuri itu di dahulukan yang kanan karena tangan kananlah
yang biasa disebut mempunyai kekuatan.
Menurut Qadli Abu
Thayib, boleh mendahulukan tangan yang kiri sebab untuk pengajaran dan yang
pokoknya memotong sampai pergelangan tangan.
Menurut suatu riwayat
dan juga Abu Bakar dan Umar memotong tangan pencuri sampai pergelangan tangan .
kalau mencuri lagi dipotong kaki kirinya dan kalau mencuri lagi dipotong tangan
kirinya ,dan kalau mencuri lagi dipotong kakinya dan yang sudah tidak puny
tangan dan kaki masih mencuri juga maka harus di bunuh . Demikianlah perintah
Rasulullah Saw .
Menurut Al – Zuhry ,
perintah membunuh pencuri yang ke lima telah
dihapus dengan perintah membuangnya .
Imam Syafi’I juga berpendapat bahwa perintah membunuh
pencuri yang ke lima sudah dihapus . Sebab semua maksiyat harus di had,
berulangnya tidak wajib dibunuh.
Menurut Mazhab Empat
dan Syiah serta KHU Pidana di Indonesia menetapakan bahwa pencurian terhadap barang yang tidak ada pada
tempatnya maka tidak dapat di ancam
dengan hukuman had ( potong tangan ) melainkan hukuman ta’zir .
Menurut Imam Abu Hanifah, tidak wajib dikenakan hukuman potong tangan pada pencurian harta
dalam keluarga yang mahram karena mereka diperbolehkan keluar masuk tanpa izin.
Dan beliau menanbahkan lagi tidak ada hukuman potong tangan pada kasus
pencurian suami –istri . Menurut Imam syafi’I dan Imam Ahmad, seorang ayah tidak
dapat dikenakan hukuman potong tangan karena mencuri harta anaknya, cucunya,
dan seterusnya. Demikian juga sebaliknya, anak tidak dapat dikenai hukuman
potong tangan karena mencuri harta ayahnya, kakeknya, dan seterusnya.
Berkenaan dengan nisab harta yang di curi, Imam Malik mengukur nisabnya
dengan emas atau perak. Sedangkan menurut Imam Al–Syafi’i mengukur nisabnya dengan ¼ dinar dan Imam Abu
Hanifah menyatakan bahwa nisab pencurian itu senilai 10 dirham atau 1 dinar.
Syi’ah, ibn Rusyd berpendapat lain dengan menyebutkan bahwa pencurian itu sebesar 4
dinar atau 40 dirham.
Batasan pemotongan tangan bagi pencuri , menurut Imam
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad serta Zahiri adalah dari
pergelangan tangan bawah.[7]
E. Devinisi Syurb Khamr
Minum khamr (Syurb khamr) diambil dari kata (بش ), yang artinya minum. Dan kata
minum / khamr (رومخا), yang artinya arak atau minuman keras. Sedang minum khamr
(syurb khamr) menurut istilah adalah memasukkan minuman yang memabukkan ke
mulut lalu ditelan masuk ke perut melalui kerongkongan, meskipun bercampur
dengan makanan lain yang halal. Sedang orang yang meminum arak dinamakan (شاربي الخمور), yang artinya peminum.
Khamr berasal dari kata yang berarti menutupi. Di
sebut sebagai khamr, karena sifatnya bisa menutupi akal Sedangkan menurut
pengertian urfi pada masa itu, khamr adalah apa yang bisa menutupi akal yang
terbuat dari perasan anggur.
Sedangkan dalam pengertian syara’, khamr tidak
terbatas pada perasan anggur saja, tetapi semua minuman yang memabukkan dan tidak terbatas dari
perasan anggur saja. Wahyu yang turun kepada Rasulullah SAW telah lengkap dan
sempurna, kemudian Rasulullah SAW bersabda:
Setiap yang memabukkan itu haram (HR Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Hadits itu menunjukkan bahwa khamr itu tidak terbatas
terbuat dari perasan anggur saja, sebagaimana makna urfi, tetapi mencakup semua
yang bisa menutupi akal dan memabukkannya. Setiap minuman yang memabukkan dan
menutupi akal layak disebut khamr, baik terbuat dari anggur, gandum, jagung, kurma, maupun lainnya.
Jika khamr diharamkan karena zatnya, sementara pada
hadits di atas dinyatakan berarti itu
menunjukkan kepada kita bahwa sifat yang melekat pada zat khamr adalah
memabukkan. Karena sifat utama khamr itu memabukkan, maka untuk mengetahui keberadaan
zat khamr itu atau untuk mengenali zatnya adalah dengan meneliti zat-zat apa
saja yang memiliki sifat memabukkan.
Karena sifatnya yang memabukkan itulah maka apabila
dicampurkan atau bercampur dengan air atau minuman bisa menyebabkan mabuk bagi setiap
orang yang meminumnya. Tinggi-rendahnya kadar alkohol di dalam minuman tersebut
sangat menentukan keras-tidaknya sebuah minuman.
Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa
diharamkannya khamr itu karena zatnya, maka hukum meminumnya adalah haram. Tidak dilihat lagi segi kuantitas zatnya, baik sedikit maupun banyak,
semuanya haram. Hal ini sama dengan memakan daging babi atau bangkai, hukumnya
haram, baik sedikit maupun banyak, karena kedua benda itu diharamkan karena
zatnya. Demikian juga haramnya khamr tidak dilihat dari segi pengaruh bagi
peminumnya. Baik akan mengakibatkan mabuk atau tidak bagi peminumnya, hukumnya
tetap haram.
E.
Unsur-unsur Jarimah Syurb Khamar
Ada dua unsur dalam jarimah syurb khamr. Yaitu
minum-minuman yang memabukkan dan ada itikad jahat.
Yang dimaksud dengan ada niat jahat adalah sudah tau
bahwa meminum khamr itu haram, tetapi tetap saja dia minum. Oleh karena itu,
tidak dikenai sanksi orang yang meminum khamr atau meminum minuman yang
memabukkan sedang dia tidak tahu bahwa yang dia minum itu adalah minuman yang
memabukkan atau tidak tahu bahwa minuman itu haram, juga dibawah paksaan.
4.
Pembuktian untuk Jarimah Syurbul Khamr
Alat bukti syurb khamr adalah:
a.
Persaksian, jumlah saksi adalah dua orang laki-laki atau empat orang
wanita. Menurut Imam Abu Hanifah ra dan Abu Yusuf ra, saksi harus mencium bau
minuman yang memabukkan ketika menyaksikanya.
b.
Pengakuan dari peminum, pengakuan ini cukup satu kali saja.
c.
Bau mulut, menurut Imam Maliki ra bau mulut orang meminum minuman yang
memabukkan dapat dianggap sebagai bukti bahwa yang bersangkutan telah meminum
khamr.
d.
Mabuk, Imam Abu Hanifah ra berpendapat bahwa mabuk dapat dianggap sebagai
alat bukti minum khamr. Sedang Imam Syafi’i ra tidak demikian, karena mabuk itu
memberi banyak kemungkinan, terutama dipaksa atau terpaksa.
e.
Muntah, menurut Imam Maliki ra beranggapan bahwa muntah dapat dijadikan
sebagai bukti minum khamr. Hal ini pernah dilakukan ketika Usman bin Afan ra
menjatuhkan hukuman dera bagi orang yanh muntah-muntah akibat meminum khamr.
F. Hukuman Untuk Peminum
Khamr
عَنْ اَنَسٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص اُتِيَ بِرَجُلٍ قَدْ شَرِبَ اْلخَمْرَ
فَجُلِدَ بِجَرِيْدَتَيْنِ نَحْوَ اَرْبَعِيْنَ، قَالَ: وَ فَعَلَهُ اَبُوْ
بَكْرٍ. فَلَمَّا كَانَ عُمَرُ اسْتَشَارَ النَّاسَ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنُ
عَوْفٍ: اَخَفُّ اْلحُدُوْدِ ثَمَانِيْنَ فَاَمَرَ بِهِ عُمَرُ. احمد و مسلم و ابو
داود و الترمذى و صححه
Dari Anas RA, sesungguhnya Nabi SAW pernah dihadapkan
kepada beliau seorang laki-laki yang telah minum khamr. Lalu orang tersebut
dipukul dengan dua pelepah kurma (pemukul) sebanyak 40 kali. Anas berkata,
"Cara seperti itu dilakukan juga oleh Abu Bakar". Tetapi (di zaman
'Umar) setelah 'Umar minta pendapat para shahabat yang lain, maka 'Abdur Rahman
bin 'Auf berkata, "Hukuman yang paling ringan ialah 80 kali. Lalu 'Umar
pun menyuruh supaya didera 80 kali". (HR. Ahmad, Muslim, Abu
Dawud dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi menshahihkannya.)
Khamr adalah benda. Sedangkan hukum benda tidak
terlepas dari dua hal, yaitu halal atau haram. Selama tidak ada dalil yang yang
mengharamkannya, hukum suatu benda adalah halal. Karena ada dalil yang secara
tegas mengharamkannya, maka hukum khamr itu haram.
Hukum syara’ adalah seruan syari’ yang berkaitan
dengan perbuatan hamba (manusia). Sehingga, meskipun hukum syara’ menentukan
status hukum benda, tetap saja akan berkait dengan perbuatan manusia dalam
menggunakannya.
5.
Pelaksanaan
Hukum Syurb Khamar
Pelaksanaan had bagi peminum khamr sama dengan pelaksanaan dera pada
jarimah lainya. Namun dalam pelaksanaan tidak diperbolehkan disertai emosi atau
dalam keadaan marah. juga dalam mendera ketika eksekutor tidak boleh sampai kelihatan, sedang
alat dera yang digunakan adalah pelepah daun kurma atau sejenisnya.
6.
Hapusnya Hukuman Syurb Khamr
Hukuman had bagi peminum khamr dapat dihapus atau dibatalkan apabila:
a.
Para saksi menarik kesaksianya, apabila tidak ada bukti yang menguatkan.
b.
Pelaku menarik kembali persaksianya, karena tidak ada bukti yang
menguatkan.
c.
Kebenaran bukti-bukti masih dipertanyakan, atau masih diragukan kebenaranya
7.
Hukuman Had Bagi Syurb Khamr Sebagai Penghapus
Dosa
Barang siapa berbuat pelanggaran lalu dihukum, maka hukuman tersebut adalah
sebagai penebus atau penghapus dosanya. Rasulullah saw menegaskan larangan kepada para sahabat sebagai mana larangan kepada
wanita yaitu: tidak boleh menyekutukan sesuatu dengan Allah swt, tidak boleh
mencuri, tidak boleh berzina, tidak boleh membunuh anak-anak dan tidak boleh
saling membohongi. Maka barang siapa konsisten dalam
menghindari larangan itu, maka Allah swt yang menanggung pahalanya. Barang
siapa melakukan pelanggaran lalu dilaksanakan hukuman padanya, maka hukuman
tersebut menjadi penghapus dosanya. Barang siapa melakukan pelanggaran lalu
ditutupi oleh Allah swt, maka urusanya terserah kepada Allah swt. Jika Allah
swt menghendaki, maka Dia menyiksanya, dan jika Dia menghendaki, maka Dia
mengampuninya.
Syarat Diberlakukannya Hudud Peminum Khamar
Namun para ulama sepakat bahwa agar hukuman pukul atau cambuk itu dapat
terlanksana, syarat dan ketentuannya harus terpenuhi terlebih dahulu. Tidak
asal ada orang minum khamar lantas segera dicambuk. Di antara syarat dan
ketentuannya antara lain :
1. Berakal
Peminumnya adalah seorang yang waras atau berakal. Sehingga orang gila bila
meminum minuman keras maka tidak boleh dihukum hudud.
2. Baligh
Peminum itu orang yang sudah baligh, sehingga bila seorang anak kecil di
bawah umur minum minuman keras, maka tidak boleh dihukum hudud.
3. Muslim
Hanya orang yang beragama Islam saja yang bila minum minuman keras yang
bisa dihukum hudud. Sedangkan non muslim tidak bisa dihukum bahkan tidak bisa
dilarang untuk meminumnya.
4. Bisa memilih
Peminum itu dalam kondisi bebas bisa memilih dan bukan dalam keadaan yang
dipaksa.
5. Tidak dalam kondisi darurat
Maksudnya bila dalam suatu kondisi darurat dimana seseorang bisa mati bila
tidak meminumnya, maka pada saat itu berlaku hukum darurat. Sehingga pelakunya
dalam kondisi itu tidak bisa dijatuhi hukuman hudud.
6. Tahu bahwa itu adalah khamar
Bila seorang minum minuman yang dia tidak tahu bahwa itu adalah khamar,
maka dia tidak bisa dijatuhi hukuman hudud.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pencuri adalah mengambil harta orang lain dengan cara
sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh orang yang tidak dipercayai menjaga
barang tersebut. Pencurian dilihat dari
segi hukumannya ada dua yaitu pencurian yang diancam degan had dan juga diancam
dengan hukuman ta’zir. Pencurian yang diancam dengan hukuman had terbagi
menjadi dua lagi yaitu sariqah sughra dan sariqah kubra.
Tangan pencuri dipotong dengan tiga syarat :
1. Berakal sehat.
2. Baligh
3. Barang yang dicuri
mencapai nisab yaitu seperempat dinar
Syurb khamr adalah memasukkan minuman yang memabukkan ke mulut lalu ditelan
masuk ke perut melalui kerongkongan, meskipun bercampur dengan makanan lain
yang halal. Adapun segala sesuatu yang memabukkan dinamakan khamr, dan
meminumnya dihukumi haram.
DAFTAR PUSTAKA
Faizal, Enceng
Arif dan Jaih Mubarok. Kaidah Fiqh Jianayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam). Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
2004
Djazuli, Fiqih
Jinayah, jakarta: Raja Grafindo
Persada. 1996
Jalal Ad-Din As-Sayuthi, Al-Jami’ Ash-Shagir, Juz I, Dar
Al-Fikr. TT
Muhammad
Fuad Abdul Baqi. Al- Lu’lu’wal Marjan. Jakarta
: pustaka as- sunnah. 2008
Ibnu Hajar
Al-Asqalani, Al-Imam Al-Hafizh. (2005). Fathul
Baari penjelasan kitab shahih Al-Bukhari. Jakarta: Pustaka Azzam.
Prof. DR.H. Rachmat Syafe’i, M.A. 2000. Al-Hadist. Bandung: Pustaka Setia.
Ust. Maftuh
Ahnan Asy. 2003. Kumpulan Hadist Terpilih Shahih Bukhari. Surabaya: Terbit Terang.
Ahmad Wardi
Muslich, Hukum Pidana Islam, tanpa tahun.
Ahmad Wardi Muslich, 2005. Hukum
Pidana Islam. Jakarta: Sinar
Grafika Offset.
No comments:
Post a Comment