Thursday, December 25, 2014

ILMU TAUHID DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKHLAK

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Sebagai agama monotheis (tauhid) Islam mengajarkan untuk menyembah Tuhan yang Esa. Tauhid ditempatkan pada posisi yang paling tinggi bahkan ilmu yang dijadikan pilar dakwah islamiyah. Pentingnya masalah ketauhidan dalam kehidupan kita dapat dilihat bagaimana perjuangan Rasulullah saw. untuk menegakkan agama Islam dimuka bumi ini.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa Pengertian Ilmu Tauhid.
2.      Apa Hubungan Ilmu Akhlak dan Tauhid.
3.      Bagaimana Tauhid Menjadi Pandangan Dunia.
4.      Apasaja Sendi Dasar Arti Tauhid.

C.    Tujuan Penulisan

1.      Mengetahui Pengertian Ilmu Tauhid.
2.      Mengetahui Hubungan Ilmu Akhlak dan Tauhid.
3.      Mengetahui Tauhid yang Menjadi Pandangan Dunia.
4.      Mengetahui Sendi Dasar Arti Tauhid.


BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Tauhid

Secara etimologi tauhid berasal dari kata wabbada sya’ artinya menjadikan satu atau tunggal sedangkan dalam terminologi syara artinya mengesakan Allah swt. baik dalam rububiyah, dan ulubiyah. Nama menggambarkan kata tauhid tersebut untuk menakan suatu ilmu dalam agama Islam yaitu ilmu tentang keesaan Allah swt. sehingga disebut dengan ilmu tauhid.
Secara umum tauhid dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian
a.       Tauhid rububiyah, adalah keyakinan bahwa Allah swt. adalah Rabb seluruh langit dan bumi, pencipta siapa dan apasaja yang ada didalamnya. Siapa saja dan apa saja selain Dia tidak memiliki kemampuan memberi manpaat atau menimpakan bahaya, baik itu untuk diri atau untuk orang lain, kecuali dengan izin dan kehendaknya. Bentuk ini tidak ada yang mengingkari kecuali orang yang menyekutukan Allah.
b.      Tauhid Ulubiyah, adalah beribadah dan taat secara mutlak. Tidak disembah dan tidak diibadati kecuali Allah swt. sementara, tidak ada satupun dibumi dan dilangit yang disekutukan dengannya. Tauhid dalam kaidah merupakan hal yang pokok dan disepakati oleh orang muslim. Ibadah merupakan ketaatan kepada Allah swt. dengan menjalankan apa yang diperintahkannya melalui lisan para Rasul atau para sahabatnya. Sejak jaman dahulu banyak manusia dimuka bumi ini yang tersesat dengan menyembah berbagai macam Tuhan, seperti Nabi Nuh as. Menyembah wadd, suwa, dan kaum Mesir menyembah anak sapi dan India menyembah sapi.[1]

2.      Hubungan Ilmu Akhlak dan Tauhid

Ilmu tauhid sebagaimana dikemukakan Harun Nasution mengandung arti sebagai ilmu yang membahas tentang cara-cara mengesakan Tuhan, sebagai salah satu sifat yang terpenting diantara sifat-sifat Tuhan lainnya. Selain itu, ilmu ini juga disebut ilmu ushuluddin, ilmu ‘aqaid (ikatan yang kokoh), karena keyakinan kepada Tuhan harus merupakan ikatan yang kokoh yang tidak boleh dibuka atau dilepaskan begitu saja, karena bahayanya amat besar bagi kehidupan manusia. Orang yang tidak memiliki ikatan yang kokoh dengan Tuhan, menyebabkan ia dengan mudah tergoda pada ikatan-ikatan lainnya yang membahayakan dirinya.
Selanjutnya ilmu tauhid disebut juga ilmu kalam yang secara harfiah berarti ilmu tentang kata-kata. Kalau yang dimaksud dengan kalam adalah Firman Tuhan, maka yang dimaksud adalah kalam Tuhan yang ada didalam Al-Qur’an dan masalah ini pernah menimbulkan perbincangan bahkan pertentangan keras dikalangan umat Islam di abad ke-9 dan ke-10 M sehingga menimbulkan pertentangan dan penganiayaan terhadap sesama muslim. Sebagian dari mereka ada yang mengatakan bahwa kalam Tuhan itu baharu, makhluk dan diciptakan, sedangkan sebagian yang lain mengatakan bahwa kalam Tuhan itu bersifat Qadim, dalam arti tidak dciptakan sebagaimana halnya makhluk.
Hubungan ilmu akhlak dan ilmu tauhid ini dapat dilihat dari berbagai analisis.
a.       Dilihat dari segi objek pembahasannya, ilmu tauhid sebagaimana diuraikan diatas membahas masalah Tuhan baik dari segi zat, sifat dan perbuatannya. Kepercayaan yang mantap kepada Tuhan yang demikian, akan menjadi landasan untuk mengarahkan amal perbuatan yang dilakukan manusia, sehingga perbuatan yang dilakukan manusi itu akan tertuju semata-mata karena Allah swt. dengan demikian, ilmu tauhid akan mengarahkan perbuatan manusia akan menjadi ikhlas, dan keikhlasan ini merupakan salah satu akhlak yang mulia. Allah swt. berfirman dalam QS. al-Bayyinah ayat 5 sebagai berikut.
!$tBur (#ÿrâÉDé& žwÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãƒur no4qx.¨9$# 4 y7Ï9ºsŒur ß`ƒÏŠ ÏpyJÍhŠs)ø9$# ÇÎÈ  
Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.

[1595] Lurus berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.
b.      Dilihat dari segi fungsinya, ilmu tauhid menghendaki agar seseorang yang bertuhid tidak hanya cukup dengan hanya menghafal rukun iman yang enam dengan dail-dalilnya saja, tetapi yang terpenting adalah agar orang yang bertauhid itu meniru dan mencontoh terhadap subjek yang terdapat dalam rukun iman itu. Jika kita percaya bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang mulia maka sebaiknya manusia yang bertauhid meniru sifat-sifat Tuhan itu. Allah swt. misalnya ar-rahman dan ar-rahim (Maha Pengasih dan Maha Penyayang), maka sebaiknya manusia meniru sifat tersebut dengan mengembangkan sifat kasih sayang dimuka bumi.[2]

3.      Tauhid Poros Pandangan Dunia

Sesuai dengan prinsip penalaran, kita mengetahui bahwasanya, keberadaan sesuatu pasti memiliki sebab-musababnya. Keyakinan dan ketentuan ini sedemikian jelas sampai-sampai jika kita meniup wajah seorang bayi, sekalipun secara perlahan, ia akan segera membuka matanya  serta menengok ke kanan dan ke kiri demi mencari sebab munculnya angin yang menerpa wajah mungilnya.
Apabila ciri-ciri utama yang melekat pada pandangan dunia terbaik selaras dengan prinsip-prinsip akal, maka sejak kali yang pertama, akal kita telah menyaksikan adanya sistem (keteraturan) serta perhitungan yang rinci dijagat alam ini, sekaligus memberi keyakinan bahwa alam semesta merupakan hasil ciptaan suatu kekuatan yang memiliki perasaan. Melalui rumus akal itulah, Allah memberikan sederet jawaban atas berbagai keraguan yang mendera. Setelah melakukan observasi terhadap alam semesta dan mengetahui adanya berbagai keteraturan serta perhitungan yang amat rinci didalamnya, kita niscaya akan terbawa kedalam pandangan dunia Ilahiyah. Inilah suatu pertanda adanya kebenaran dalam cara memandangan dan berifikir.[3]

4.      Sendi Dasar Arti Tauhid

Berbagai  macam syirk yang diuraikan dalam Qur’an suci menunjukkan bahwa ajaran tauhid menganugrahkan kepada dunia satu amanat tentang peningkatan kemajuan segala bidang, baik jasmani, akhlak, maupun rohani. Manusia bukan saja dibebaskan dari perbudakan oleh perbudakan oleh benda hidup maupun benda mati, melainkan dibebaskan pula dari penyembahan kepada kekuatan alam yang alam yang besar dan mengagumkan, yang menurut Qur’an suci, justru manusia harus menaklukkan itu guna kepentingan mereka sendiri. Selanjutnya ajaran tauhid menyelamatkan manusia dari perbudakan yang amat besar, yaitu menyembah kepada sesama manusia.[4]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Secara etimologi tauhid berasal dari kata wabbada sya’ artinya menjadikan satu atau tunggal sedangkan dalam terminologi syara artinya mengesakan Allah swt. baik dalam rububiyah, dan ulubiyah. Orang yang tidak memiliki ikatan yang kokoh dengan Tuhan, menyebabkan ia dengan mudah tergoda pada ikatan-ikatan lainnya yang membahayakan dirinya. Menurut Qur’an suci, justru manusia harus menaklukkan itu guna kepentingan mereka sendiri. Selanjutnya ajaran tauhid menyelamatkan manusia dari perbudakan yang amat besar.



DAFTAR PUSTAKA

Ali, Maulana Muhammad. Islamologi: Dinul Islam, Penerjemah: R. Kaelan dan H. M. Bachrun, (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, tt).
Nata, Abuddin. Ahlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013).
Saleh, Fauzi. Menegakkan Pilar-pilar Tauhid, (Banda Aceh, Ar-Raniry Press, 2007).
Qiraati, Muhsin. Membangun Agama, Penerjemah: MJ. Bafaqih dan Dede Azwar Nurmansyah, (Bogor: Cahaya, 2004).




[1] Fauzi Saleh, Menegakkan Pilar-pilar Tauhid, (Banda Aceh, Ar-Raniry Press, 2007), hlm. 16-18
[2] Abuddin Nata, Ahlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 17-19
[3] Muhsin Qiraati, Membangun Agama, Penerjemah: MJ. Bafaqih dan Dede Azwar Nurmansyah, (Bogor: Cahaya, 2004), hlm. 4
[4] Maulana Muhammad Ali, Islamologi: Dinul Islam, Penerjemah: R. Kaelan dan H. M. Bachrun, (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, tt), hlm. 160

No comments: