Saturday, December 27, 2014

ASY'ARIYAH & MATURIDIYAH

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Munculnya berbagai macam golongan-golongan aliran pemikiran dalam Islam telah memberikan warna tersendiri dalam agama Islam. Pemikiran-pemikiran ini muncul setelah wafatnya Rosulullah. Ada beberapa factor yang menyebabkan munculnya berbagai golongan dengan segala pemikiranya. Diantaranya adalah faktor poitik sebagaimana yang telah terjadi pertentangan antara kelompok Ali dengan pengikut Muawiyah, sehingga memunculkan golongan yang baru yaitu golongan khawarij. Lalu muncullah golongan-golongan lain sebagai reaksi dari golongan satu pada golingan yang lain.

Golongan-golongan tersebut mempunyai pemikiran yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Ada yang masih dalam koridor Al-Qur’an dan sunnah, akan tetapi ada juga yang menyimpang dari kedua sumber ajaran Islam tersebut. Ada yang berpegang pada wahyu, dan ada pula yang menempatkan akal yang berlebihan sehingga keluar dari wahyu. Dan ada juga yang mnamakan dirinya sebagai ahlussunnah wal jama’ah.

Sebagai reaksi dari firqah yang sesat, maka pada akhir abad ke 3 H timbullah golongan yang dikenali sebagai Ahlussunnah wal Jamaah yang dipimpin oleh 2 orang ulama besar dalam Usuluddin yaitu Syeikh Abu Hassan Ali Al Asy’ari yang merupakan pendiri aliran Asy’ari dan Syeikh Abu Mansur Al Maturidi sebagai pendiri aliran Maturidiyah. Aliran Asy’ariah dan Maturidiyah inilah yang dipakai dalam pembahasan ini.

  1. Rumusan Masalah

  1. Sejarah munculnya aliran Asy’ariah dan Maturidiyah ?
  2. Teologi Asy’ariah dan Maturidiyah ?
  3. Perbedaan dan persaman antara Asy’ariah dan Maturidiyah ?

BAB II
PEMBAHASAN


A.    SEJARAH MUNCULNYA ASY’ARIYAH DAN MATURIDIYAH

1.      Sejarah Asy’ariyah

Aliran Asy'ariyah adalah aliran teologi Islam yang lahir pada dasawarsa kedua abad ke-10 (awal abad ke-4). Pengikut aliran ini, bersama pengikut Maturudiyah dan Salafiyah, mangaku termasuk golongan ahlus sunnah wal jama’ah. Aliran asy’ariyah dibangun oleh Abu Hasan Ali ibn Ismail Al-Asy’ari ( 873-935M ). Pada mulanya, Al-Asy’ari adalah seorang tokoh Mu’tazilah. Karena itulah, menurut Al-Askari, Al-Juba’i berani mempercayakan perdebatan dengan lawan kepada Al-Asy’ari[1]. Ini merupakan indikasi bahwa Al-Asy’ari  sebagai salah seorang pengikut Mutazilah yang tangguh.

Namun, karena sebab-sebab yang tidak begitu jelas, Al-Asy’ari, walaupun telah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah, ia akhirnya meninggalkan ajaran tersebut. Menurut Ibnu Asakir, Al-Asy’ari meninggalkan mu’tazilah karena ia bermimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad yang mengatakan bahwa mazhab Mu’tazilah itu sesat sedangkan mazhab Ahl Al-Hadits benar. Pendapat lain menyebutkan bahwa Al-Asy’ari berdebat dengan gurunya, Al-Jubba’i, seputar orang mukmin, orang kafir, dan anak kecil. Dalam perdebatan itu, sang guru tidak menjawab pertanyaan murid.[2]

Terlepas dari sebab-sebab diatas, yang jelas ajaran Asy’ariyah  ini muncul sebagai alternatif yang menggantikan kedudukan ajaran Mu’tazilah yang sudah hilang pamornya pasca penghapusannya oleh Al-Mutawakkil sebagai mazhab negara. Ini menunjukkan bahwa aliran Asy’ariyah muncul karena kondisi yang menuntut demikian.

Selain oleh Al-Asy’ari, aliran Asy-a’riyah ini dikembangkan pula oleh murid-muridnya seperti Muhammad Thayyib bin Muhammad Abu Bakr Al-Baqillani, Abd Al-Malik Al-Juwani (419-478 H), Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (450-505 H), dan Alauddin Al-‘Ijji (w. 756 H).

Sebagai sebuah aliran teologi, Asy’ariyah mempunyai ajaran-ajaran yang banyak diikuti masyarakat, khususnya yang cenderung mengikutinya. Ajaran-ajaran tersebut dapat diketahui dari buku yang ditulis Al-Asy’ari sendiri dan para muridnya


2.      Sejarah Maturidiyah

Aliran Maturidiah muncul sebagai reaksi keras terhadap aliran Mu’tazilah. Tidak heran jika aliran ini banyak memiliki kesamaan dengan aliran Asy’ariah, walaupun tidak menutup kemungkinan banyak perbedaan diantara keduanya.

Nama aliran Maturidiah ini diambil dari pendirinya, Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi, yang lahir di Maturid, Samarkand pada pertengahan abad ke-3 H. Riwayat hidup Al-Maturidi ini tidak banyak diketahui orang seperti halnya ajaran dan alirannya yang tidak banyak ditulis dan dibukukan orang.

Aliran Maturidiah diperkirakan muncul ketika popularitas Mu’tazilah mulai menurun. Pada masanya, Al-Maturidi menyaksikan terjadinya perdebatan-perdebatan dalam masalah keagamaan, seperti yang terjadi antara mazhab fiqih Hanafiah dan Syafi’iah, dan juga perdebatan antara para ahli fiqih dan ahli hadits disatu pihak, dan aliran Mu’tazilah dipihak yang lain. Menyaksikan perdebatan-perdebatan itu menjadikan Al-Maturidi sangat tertarik untuk memperdalam masalah teologi.

Al-Maturidi dikenal sebagai pengikut Abu Hanafiah, yang banyak menggunakan rasio dalam pandangan keagamaannya. Ia memang banyak menggunakan akal dalam sistem teologinya. Menurut para ulama Hanfiah, dalam bidang akidah, Al-Maturidi mirip dengan pendapat Abu Hanafiah .

Tokoh lain dari Maturidiyah antara lain Al-Bazdawi, At-Taftazani, Al-Nasafi, dan Ibn Al-Hamman. Diantara mereka yang terkenal yaitu Al-Bazdawi. Karena itu, dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan yaitu Maruridiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara.

Dalam masalah teologi, Maturidiyah Samarkand lebih dekat dengan pemikiran mu’tazilah. Sedangkan dalam masalah sifat-sifat Allah terdapat persamaan antara Al-Maturidi dan Al-Asy’ariah. Maturidiyah Samarkand sendiri kebanyakan pengikutnya adalah pendukung Al-Maturidi sendiri.

Maturidiyah Bukhara sendiri dipimpin oleh Abu Al-yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Al-Bazdawi, dalam teologinya tidak selamanya sepaham dengan gurunya, Al-Maturidi. Antara Maturidiyah Samarkand dan Bukhara terdapat perbedaan yang berkisar pada persoalan kewajiban mengetahui Allah. Matruridiyah Samarkand kewajiban mengetahui Allah dapat diketahui dengan akal, sedangkan Maturidiyah Bukhara tidak demikian. Menurut Maturidiyah Bukhara, kewajiban mengetahui Allah hanya dapat diketahui dengan wahyu, begitu pula dengan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi perbuatan yang jahat.


B.     TEOLOGI ASY’ARIAH DAN MATURIDIYAH

1.      Teologi Asy’ariah

a.       Sifat Allah
Karena kontra dengan Mu’tazilah, Al-Asy’ari membawa paham Allah mempunyai sifat. Menurutnya, mustahil Allah mengetahui dengan zat-Nya, karena ini akan membawa kepada kesimpulan bahwa zat Allah itu pengetahuan. Padahal, Allah bukan pengetahuan ( ‘ilm ), tetapi yang maha mengetahui ( ‘alim ). Allah mengetahui dengan pengetahuan, dan pengetahuan-Nya itu bukan zat-Nya. Demikian halnya dengan sifat-sifat Allah yang lainnya, seperti hidup, berkuasa, mendengar, melihat, dan sebagainya.[3]

b.      Pelaku Dosa Besar
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya al-asy’ari, sebagaiwakil ahl-as-Sunah, tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke baitullah (ahl-al-qiblah) walaupun melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir. Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar, apabila ia meninggal dan tidak sempat bertaubat, maka menurut al-asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Esa berkehendak mutlaq.
c.       Dalil Adanya Allah
Menurut Mu’tazilah, alasan manusia harus percaya kepada Allah karena akal manusia sendiri yang menyimpulkan bahwa Allah itu ada. Sedangkan menurut asy’ariyah, manusia wajib meyakini Allah karena Nabi Muhammad mengajarkannya bahwa Allah itu ada sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an. Jadi, manusia wajib percaya terhadap adanya Allah karena diperintahkan Allah dan perintah itu ditangkap oleh akal. Di sini Al-Qur’an menjadi sumber pengetahuan dan akal sebagai instrumennya.

d.      Kekuasaan Allah dan Perbuatan Manusia
Dalam masalah ini Asy’ariah mengambil posisi tengah antara pendapat Jabariah dan Mu’tazilah. Menurut Jabariah, manusia tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya, sedangkan menurut Mu’tazilah manusia itulah yang mewujudkan perbuatannya dengan daya yang diberikan Allah kepadanya. Sebagai jalan keluar dari dua pendapat yang bertentangan itu, Asy’ari mengambil paham kasb[4] sebagai jalan tengahnya, yang sulit dimengerti, kecuali bila paham kasb itu dipandang sebagai usaha untuk menjauhi Jabbariah dan Qadariah. Namun setelah melalui jalan yang berkelok-kelok, akhirnya Asy’ari  menjatuhkan pilihannya kepada paham Jabbariah.
Kasb yang dimaksud Asy’ari bukan berarti usaha atau perbuatan, tetapi perolehan. Sebagaimana yang dijelaskannya, suatu perbuatan terjadi dengan perantara daya yang diciptakan Allah dalam diri manusia, dengan demikian, menjadi perolehan( kasb ) baginya. Perbuatan-perbuatan manusia bukan diwujudkan oleh manusia sendiri, tetapi oleh Allah, perbuatan yang diciptakan Allah inilah yang diperoleh manusia, dan kasb, atau perolehan itu juga diciptakan Allah.

e.       Melihat Allah di Akhirat
Menurut Asy’ariah, Allah dapat dilihat diakhirat. Alasannya, sifat-sifat yang tidak dapat diberikan kepada Allah hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada pengertian diciptakannya Allah. Sifat dapat dilihatnya Allah di akhirat tidak membawa kepada pengertian diciptakannya Allah, karena apa yang dilihat tidak mesti mengandung pengertian bahwa ia mesti diciptakan. Dengan demikian, jika dikatakan Allah dapat dilihat, itu tidak mesti bahwa Allah harus bersifat diciptakan.[5]
Ada beberapa nas al-Qur'an yang menegaskan bahwa Allah dapat dilihat, salah satunya seperti firman Allah dalam surat Al-Qiyaamah :
×nqã_ãr 7Í´tBöqtƒ îouŽÅÑ$¯R ÇËËÈ   4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ  
Artinya :
22. Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.
23. kepada Tuhannyalah mereka melihat

f.       Kedudukan Al-Qur’an
Berbeda dengan pendapat Mu’tazilah yang mengatakan Al-Qur’an itu diciptakan, Asy’ariah justru berpendapat bahwa Al-Qur’an, sebagai manifestasi Allah yang qadim, tidak diciptakan (qadim). Menurut Asy’ariyah, jika Al-Qur’an diciptakan, maka diperlukan kata kun, dan untuk terciptanya kun diperlukan pula kun yang lain,dan seterusnya hingga tidak ada habisnya-habisnya.[6]

g.      Pemakaian Akal dan Wahyu
Berbeda dengan Mu'tazilah, kaum asy’ariyah berpendapat akal memang dapat mengetahui adanya Tuhan. Tetapi akal tidak dapat mengetahui cara berterima kasih kepada Tuhan. Untuk mengetahui hal-hal tersebut diperlukan wahyu. Melalui wahyu manusia bisa mengetahuinya. Tanpa wahyu, manusia tidak akan tahu.


2.      Teologi Maturidiyah

a.       Sifat Allah
Dapat ditemukan persamaan antara al-maturidi dan alasy’ari, seperti di dalam pendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Walaupun begitu pengertian al-maturidi tentang sifat berbeda dengan alasy’ari. Menurut al-maturidi sifat tidak dikatakan sebagai esensinya dan bukan pula dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulazamah (ada bersama) dzat tanpa pemisah. Tampaknya paham al-maturidi, tentang makna sifat cenderung mendekati paham Mu'tazilah. Perbedaannya almaturidi mengaku adanya sifat-sifat sedangkan al-Mu'tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.

b.      Pelaku Dosa Besar
Aliran maturidiyah, baik samarkand maupun bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa besar masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. jika ia meninggal tanpa bertaubat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. jika menghendaki pelaku dosa besar diampuni, ia akan memasukkan ke neraka, tetapi tidak kekal didalamnya.

c.       Kekuasaan Allah dan Perbuatan Manusia
Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Allah mengharuskan manusia untuk memiliki kemampuan untuk berbuat (ikhtiar) agar kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan. Dalam hal ini Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar manusia dengan qudrat Allah sebagai pencipta perbuatan manusia. Allah mencipta daya (kasb) dalam setiap diri manusia dan manusia bebas memakainya, dengan demikian tidak ada pertentangan sama sekali antara qudrat Allah dan ikhtiar manusia.
Dalam masalah pemakaian daya ini Al-Maturidi memakai faham Imam Abu Hanifah, yaitu adanya Masyiah (kehendak) dan ridha (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam kehendak Allah, tetapi ia dapat memilih yang diridhai-Nya atau yang tidak diridhai-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Allah, dan Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Allah, dan berbuat buruk pun dengan kehendak Allah, tetapi tidak dengan kerelaan-Nya.

d.      Melihat Allah di Akhirat
Sama dengan pendapat Asy’ariah, Maturidiah juga mengatakanAllah bisa dilihat pada Hari Qiyamat[7]. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di sana beda dengan dunia.

e.       Kedudukan Al-Qur’an
Al-Maturidi membedakan antara kalam (baca:sabda) yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadits). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dari bagaimana Allah bersifat dengannya, kecuali dengan suatu perantara.
Maturidiyah menerima pendapat Mu’tazilah mengenai Al-qur’an sebagai makhluk Allah, tapi Al-Maturidi lebih suka menyebutnya hadits sebagai pengganti makhluk untuk sebutan Al-Qur’an.

f.       Pemakaian Akal dan Wahyu
Golongan Maturidiyah Samarkand berpendapat, akal dapat mengetahui adanya Allah, kewajiban dan berterima kasih kepada Allah dan mengetahui baik dan buruk. Tetapi akal tidak dapat mengetahui bagaimana kewajiban berbuat baik dan meninggalkan buruk, karena itu wahyu sangatlah diperlukan untuk menjelaskannya. Sedangkan golongan Maturidiyah bukhara sependapat dengan kaum Asy’ariyah[8].


C.    PERBEDAAN DAN PERSAMAAN ANTARA ASY’ARIYAH DAN MATURIDIYAH

1.      Persamaan
a.       Kedua aliran ini lahir akibat reaksi terhadap paham aliran Mu’tazilah.
b.      Mengenai sifat-sifat Tuhan, kedua aliran ini menyatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat dan Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya.
c.       Keduanya menentang ajaran Mu’tazilah mengenai al-Salah wal Aslah dan beranggapan bahwa al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim.
d.      Al-Asy’ari dan Al-Maturidi juga berkeyakinan bahwa manusia dapat melihat Allah pada hari kiamat dengan petunjuk Tuhan dan hanya Allah pula yang tahu bagaimana keadaan sifat dan wujud-Nya.
e.       Persamaan dari kedua aliran ini adalah karena keduanya sering menggunakan istilah ahlu sunnah wal jama’ah. Dan dikalangan mereka kebanyakan mengatakan bahwa madzhab salaf ahlu sunnah wal jama’ah adalah apa yang dikatakan oleh Al-Asy’ari dan Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa ahlu sunnah wal jama’ah adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah dan salaf. Az-Zubaidi mengatakan : “Jika dikatakan ahlu sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah[9].”

Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengatakan : “Ketahuilah bahwa pokok semua aqaid ahlu sunnah wal jama’ah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Al-Asy’ari dan Al-Maturidi[10].”  



2.      Perbedaan

a.       Tentang perbuatan manusia. Al-Asy’ari menganut paham Jabariyah sedangkan Al-Maturidi menganut paham Qadariyah
b.      Tentang fungsi akal. Akal bagi aliran Asy’ariyah tidak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia sedangkan menurut pendapat Maturidiyah akal dapat mengetahui kewajiban-kewajiban manusia untuk berterima kasih kepada Tuhan
c.       Tentang Janji dan ancaman Tuhan. Al-Asy’ari berkeyakinan bahwa Allah bisa saja menyiksa orang yang taat, memberi pahala kepada orang yang durhaka, sedangkan Al-Maturidi beranggapan lain, bahwa orang yang taat akan mendapatkan pahala sedangkan orang yang durhaka akan mendapat siksa, karena Allah tidak akan salah karena Ia Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kelompok Asy’ariyah dan Maturidiyah muncul karena ketidakpuasan Abul Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi terhadap argumen dan pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh kelompok Muktazilah. Pokok-pokok ajaran Asy’ariah dan Maturidiyah pada dasarnya memiliki beberapa perbedaan dan persamaan
Pemikiran-pemikiran al-Maturidi jika dikaji lebih dekat, maka akan didapati bahwa al-Maturidi memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal manusia dibandingkan dengan Asy’ari yang memberikan otoritas yang seimbang antara akal dan wahyu. Namun demikian di kalangan Maturidiah sendiri ada dua kelompok yang juga memiliki kecenderungan pemikiran yang berbeda yaitu kelompok Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri yang paham-paham teologinya lebih dekat kepada paham Mu’tazilah dan kelompok Bukhara yaitu pengikut al-Bazdawi yang condong kepada Asy’ariyah


 DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Amin, Zhuhr Al-Islam, Kairo: Dar Al-Nahdhah, 1965
Ahmad Mahmud, Subhi, Fi Illem al-Kalam, Dar al Kutub al-Jamiah, Kairo, 1969
Harun Nasution, Teologi Islam, Cet, 5; Jakarta: UI Pres, 1986
Drs. H. M. Yusran Asmuni. Ilmu Tauhid. Raja Grafindo Persada Jakarta: 1993




[1] Ahmad Amin, Zhuhr Al-Islam ( Kairo: Dar Al-Nahdhah, 1965 ), hlm. 65.
[2] Untuk jelasnya, lihat Ahmad Mahmud Subhi, Fi Illem al-Kalam, Dar al Kutub al-Jamiah, Kairo, 1969, hlm. 187.
[3] Harun Nasution, Teologi Islam ( Cet, 5; Jakarta: UI Pres, 1986), hlm 69.
[4] Ibid., hlm. 70.
[5] Ibid., hlm. 69.
[6] Ibid.
[7] Al-Maturidi, Kitab al-Tawhid, hlm. 77.
[8] Drs. H. M. Yusran Asmuni. Ilmu Tauhid. Raja Grafindo Persada Jakarta: 1993,  hlm. 154-155.
[9] Ittihafus Sadatil Muttaqin  2 : 6.
[10] Ar-Raudhatul Bahiyyah oleh Abi Hudibah hlm. 3

No comments: