Sunday, December 28, 2014

PEMBAGIAN WARIS DALAM ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Syari’at Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Didalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik lagki-laki maupun perempuan dengan cara yang syar’i. Syari’at Islam juga menetapkan hak perpindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al- Qu’an menjelaskan dan merincikan secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.

B.  Rumusan Makalah

1.    Apakah pengertian waris itu?
2.    Bagaimanakah hadits yang menjelaskan tentang mawaris itu?
3.    Apakah pengertian waasiat itu?
4.    Berapakah jumlah maksimal harta yang boleh diwasiatkan?

C.  Tujuan
1.    Untuk mngetahui dan menjelaskan tentang pengertian dan ketentuan pembagian harta warisan.
2.    Untuk mengetahui hadits-hadits yang menjelaskan tentang harta warisan.
3.    Untuk mengetahui dan menjelaskan  tentang pengertian wasiat.
4.    Untuk mengetahui hadits tentang jumlah ,aksimal harta yang boleh untuk diwasiatkan.



BAB II
PEMBAHASAN


A.  Pengertian Waris

Al-miirats dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa – yaritsu – irtsan – miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum lain. Seperti hadits Nabi SAW, yaitu:
اْلعُلَماَءُوَرَثَةُ الْاَنْبِيَاءِ
“ulama adalah ahli waris para Nabi”.

Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilkan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik secara syar’i.[1]

B.  Hadits Tentang Harta Warisan untuk Ahli Waris

حَدِيْثُ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللُهُ عَنْهُمَا قَالَ : اَلْحَقُ اْلفَرَائِضَ بِاَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ (رواه البخاري ومسلم)
Diriwayatkan dari Ibn Abbas r.a. berkata: Nabi SAW. bersabda: “berikan bagian waris itu kepada ahlinya (orang-orang yang berhak), kemudian jika ada sisanya maka untuk kerabat yang terdekat yang laki-laki”. (H.R. Bukhari - Muslim)[2]

C.  Pembagian Waris Menurut Al-Qur’an

Jumlah bagian yang sudah ditentukan al-Qur’an ada enam macam, yaitu :

a.    Ashbabul furudh yang berhak mendapat setengah
Ashbabul furudh yang berhak mendapatkan separobdari harta waris peninggal pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat dari golongan perempuan. Kelima ashbabul furudh tersebuat ialah suami kandung perempuan, cucu perempuan keterunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah. Rinciannya sebagai berikut :
1.    Seorang suami berhak mendapat separo harta warisan dengan syarat apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, baik itu keturunan dari suami atau bukan, dalilnya adalah firman Allah :
* öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurør& bÎ) óO©9 `ä3tƒ £`ßg©9 Ó$s!ur 4
“ ...dan bagi kalian (para suami) mendapat separo harta yang di tinggalkan istri-istri kalian, bila mereka (para istri) tidak mempunyai anak,....”(an-Nisa’ : 12)
2.    Anak perempuan (kandung) mendapat bagian separo harta peninggalan pewaris, dengan dua syarat :
a)    Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki
b)   Apabila anak perempuan itu adalah anak tunggal
3.    Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan mendapat separo, dengan tiga syarat :
a)    Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki akan mendapat(yakni cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki)
b)   Apanila hanya seorang( yakni cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dari tersebut sebagi cucu tunggal)
c)    Apabila pewaris tidak mempunya anak perempuan ataupun anak laki-laki.
4.    Saudara kandung perempuan akan mendapat bagian separo harta warisan, dengan tiga syarat :
a)    Ia tidak mempunya saudara kandung laki-laki.
b)   Ia hanya seorang diri(tidak mempunyai saudara perempuan).
c)    Pewaris tidak mempunya ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai keturunan, baik keterunan laki-laki maupun perempuan.[3] Dalilnya :
y7tRqçFøÿtGó¡o È@è% ª!$# öNà6ÏFøÿムÎû Ï's#»n=s3ø9$# 4 ÈbÎ) (#îtâöD$# y7n=yd }§øŠs9 ¼çms9 Ó$s!ur ÿ¼ã&s!ur ×M÷zé& $ygn=sù ß#óÁÏR $tB x8ts?
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya....”

kalalah ialah: seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak.

5.    Saudara perempuan seayah akan mendapat bagian separoh, dengan syarat :
a)    Apabila tidak mempunyai saudara laki-laki.
b)   Apabila ia hanya seoarang diri.
c)    Pewaris tidak mempunyai saudara kandung perempuan.
d)   Pewaris tidak mempunya ayah atau kakek, dan tidak pula anak, baik laki-laki maupun perempuan.
Dalilnya sama dengan poin 4 (an-Nisa’: 176) dan hali ini telah menjadi kesepakatan ulama.

b.    Ashbabul furudh yang berhak mendapat seperempat
Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4) dari harta peninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri. Rinciannya sebagai berikut :
1.    Seorang suami berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan istrinya dengan satu syarat, yaitu bila sang istri mempunya sang anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-lakinya, baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnya atau pun dari suami lain (sebelumya). Hal ini berdasarkan firman Allah:
 bÎ*sù tb$Ÿ2  Æßgs9 Ó$s!ur ãNà6n=sù ßìç/9$# $£JÏB z`ò2ts?
 ",,,,jika istri-istrimu mempunyai ana, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya... (an-Nisa’ :12)
2.    Seorang istri akan mendapat seperempat (1/4) dengan syarat, yaitu apabila suami tidak mempunya anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya ataupun dari rahim istri lainnya[4]. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah :
4  Æßgs9ur ßìç/9$# $£JÏB óOçFø.ts? bÎ) öN©9 `à6tƒ öNä3©9 Ós9ur 4
“para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. “(an-Nisa 12)

c.    Ashbabul furudh yang berhak mendapat seperdelapan
Yang berhak memperoleh bagian seperdelapan (1/8), yaitu istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila suaminya mempunya anak atau cucu, baik anak itu lahir  dari rahimnya atau dari rahim istri lain. Dalilnya :
* öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurør& bÎ) óO©9 `ä3tƒ £`ßg©9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù tb$Ÿ2  Æßgs9 Ó$s!ur ãNà6n=sù ßìç/9$# $£JÏB z`ò2ts? 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur šúüϹqム!$ygÎ/ ÷rr& &úøïyŠ 4  
“...jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu....” (an-Nisa 12)

d.   Ashbabul furudh yang berhak mendapat bagian dua per tiga
Ahli waris yang berhak mendapat 1/3 ada empat, yaitu :
1.    Dua anak perempuan kadung atau lebih
2.    Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih.
3.    Dua saudara kandung perempuan atau lebih.
4.    Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.



e.    Ashbabul furudh yang berhak mendapat bagian sepertiga
Yaitu, ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu. Seorang ibu berhak mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat :
1.    Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki.
2.    Pewaris tidak mempunyai dua saudara atau lebih (laki-laki ataupun perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah atau seibu.
 bÎ*sù óO©9 `ä3tƒ ¼ã&©! Ó$s!ur ÿ¼çmrOÍurur çn#uqt/r& ÏmÏiBT|sù ß]è=W9$# 4
“...dan jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga...” (an-Nisa 11)

f.     Ashbabul furudh yang mendapatkan bagian seperenam
Yang berhak mendapat bagian seperenam (1/6) ada tujuh orang, yaitu: ayah, kakek(bapak dari ayah), ibu, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara perempuan seayah, nenek asli, saudara laki-laki dan perempuan seibu.
1.    Seorang ayah akan mendapat bagian seperenam (1/6) bila pewaris mempunyai anak, baik anak laki-laki atau anak perempuan.
2.    Seorang kakek (bapak dari ayah) akan mendapat seperenam (1/6) bila anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki dari keturunan anak dengan syarat ayah pewaris tidak ada.
3.    Ibu memperoleh seperenam (1/6) bagian dari harta yang ditinggalkan pewaris dengan dua syarat :
a)    Bila pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki keturunan anak laki-laki.
b)   Bila pewaris mempunyai dua orang saudara atau lebih, baik saudara laki ataupun perempuan, baik sekandung, seayah atau seibu.
4.    Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki seorang atau lebih akan mendapat bagian seperenam (1/6), apabila meninggal (pewaris), mempunyai satu anak perempuan. Dalam keadaan demikian, anak perempuan tersebut mendapat bagian setengah (1/2), dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-
laki pewaris mendapat seperenam(1/6), sebagai pelengkap dua pertiga (2/3).
5.      Saudara perempuan seayah satu orangatau lebih akan mendapat bagian seperenam (1/6), apabila pewaris mempunyai saudara kandung perempuan. Hal ini hukumnya sama dengan keadan jika cucu perempuan keturunan anak laki-laki bersamaan dengan adanya anak perempuan. Jadi, bila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan saudara perempuan sekandung dan saudara perempan seayah atau lebih, maka saudara perempuan seayah mendapat bagi seperenam (1/6) sebagai penyempurna dari dua per tiga (2/3). Sebab ketika saudara perempuan kandung memperolehsetengah (1/2) bagian, maka tidak ada sisa kecuali seperenam (1/6) yang memang merupakan hak saudara perempuan seayah.
6.      Saudara laki-laki dan perempuan seibu akan mendapat bagian masing-masing seperenam (1/6) bila mewarisi  sendirian. Dalilnya adalah firman Allah (artinya) “jika seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing darikedua jenis saudara itu seperenam harta”. Dan persyaratannya adalah bila pewaris tidak mempunyai pokok (yakni kakek) dan tidak pula cabang (yakni anak, baik laki-laki atau perempuan).
7.      Nenek asli mendapatkan bagian seperenam (1/6) ketika pewaris tidak lagi mempunyai ibu. Ketentukan demikian baik nenek itu hanya satu ataupun lebih (dari jalur ayah maupun ibu), yang jelas seperenam itu dibagikan secara merata kepada mereka. Hal ini berlandaskan pada apa yang telah ditetapkan didalam hadits sahih dan ijma’ seluruh sahabat.

Ashhabus Sunan meriwayatkan bahwaseorang nenek dating kepada abu bakar Ash-Shiddiq r.a. untuk menuntut hak warisnya. Abu Bakar menjawab : “saya tidak mendapati hakmu dalam Al-Qur’an maka pulanglah dulu, dan tunggulah hingga akan menanyakannya kepada para sahabat Rasulullah SAW..” Kemudian Al-Mughirah bin Syu’bah merupakan kepada Abu Bakar : “Suatu ketika aku pernah menjumpai Rasulullah SAW. memberikan hak seorang nenek seperenam (1/6).” Mendengar pertanyaan Al-Mughirah itu Abu Bakar kemudian memanggil nenek tadi dan memberinya seperenam (1/6).

D.  Pengertian wasiat

Wasiat dalam bahasa adalah washiyyat dan bentuk jamaknya adalah washaayaa, sama seperti kata hadiyyah yang bentuk jamaknya adalah hadaayaa. Kata “wasiat” dalam bahasa Arab digunakan dalam arti pebuatan orang yang berwasiat, dan sesuatu yang diwasiatkan, baik berupa harta atau yang lainnya seperti perjanjian atau hal- hal lain.
Wasiat dalam arti syara’ adalah perjanjian khusus yang disandarkan kepada waktu setelah kematian, dan terkadang disertai dengan pemberian secara suka rela.
Al Azhari berkata,  kata “washiyyah (wasiat)” berasal dari kalimat washaitu asy-syai’a atau aushaitu asy-syai’a, artinya aku menyambungkan sesuatu. Dinamakan wasiat karena setelah meninggal dunia, mayit dapat menyambungkan apa yang ada saat dia hidup dengan wasiat itu.
Wasiat menurut syari’at juga diartikan perkataan yang mengandung larangan terhadap hal-hal yang dilarang dan anjuaran trhadap hal-hal yang diperintahkan.[5]

E.  Hadits Tentang Jumlah Maksimal Harta Untuk Wasiat


حَدِيْثُ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : عَادَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةٍ اْلوَدَاعِ مِنْ وَجَعٍ أَشْفَيْتُ مِنْهُ عَلَى الْمَوْتِ فَقُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ بَلَغَنِي مَاتَرَى مِنَ اْلوَجَعِ وَأَنَا ذُوْ مَالٍ  وَلاَ يَرِثُنِي إِلاَّابْنَةُ لِي وَاحِدَةٌ أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَي مَالِي قَالَ "لاَ" قَالَ قُلْتُ أَفَأَتَصَدَّقُ بِشَطْرِهِ قَالَ "لَا" الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ إِنَّكَ اَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ وَلَسْتُ تُنْفِقُ نَفَقَةً تَبْتَغِيْ بِهَا وَجْهَ اللهِ اِلّاَ أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى الُّلقْمَةُ تَجْعَلُهَا فِي امْرَأَتِكَ قاَلَ قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ أُخَلَّفُ بَعْدَ اَصْحَابِي قَالَ إِنَّكَ لَنْ تُخَلَّفَ فَتَعْمَلَ عَمَلاً تَبْتَغِيْ بِهِ وَجْهَ اللهِ إِلَّا ازْدَدْتَ بِهِ دَرَجَةً وَرِفْعَةً وَلَعَلَّكَ تُخَلَّفُ حَتَّى يُنْفَعُ بِكَ أَقْوَامٌ وَيُضَرَّبِكَ آخَرُوْنَ الَّلهُمَّ أَمْضِ لِأَصْحَابِيْ هِجْرَتَهُمْ وَلَا تَرَدَّهُمْ عَلَى أَعْقَابِهِمْ لَكِنِ اْلبَائِسِ سَعْدُ بْنُ خَوْلَةَ قَالَ رَثَى لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَنْ تُوُفِّيَ بِمَكَّةَ (متفق عليه)

Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqas ra, dia telah berkata: “pada waktu haji wada’Rasulullah SAW. menziarahiku ketika aku sedang sakit kepala. Waktu itu aku berkata: “wahai Rasulullah! Lihatlah keadaanku yang berada dalam keadaan sakit kepala yang sangat payah ini sebagaimana yang enkau lihat, sedangkan aku ini seorang hartawan dan hanya seorang anak perempuan sajalah yang akan mewarisi hartaku. Apakah saya boleh mengeluarkan sedekah dua pertiga dari harta saya?” beliau menjawab: “Tidak!” Aku bertanya lagi: “Bagaimana kalau sebagiannya?” beliau menjawab : “Tidak!” tetapi sepertiga dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli waris dalamkeadaan kaya itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan papa dan meminta-minta kepada orang lain. Tidakkah kamu menafkahkan suatu nafkah dengan tujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah, sehingga kamu mendapatkan pahala dari nafkahmu itu, sekalipun sesuap makanan yang kamu masukkan ke mulut istrimu.” Aku bertanya: “wahai Rasulullah! Apakah saya akan dikekalkan (masih tetaphidup) sesudah sahabat-sahabat saya (meninggal dunia)?” Beliau bersabda: “sesungguhnya kamu tidak akan dikekalkan lalu kamu mengerjakan suatu amal dengan tujuan mendapatkan keridhaan Allah sehingga dengan amal itu derajatmu akan bertambah. Barangkali kamu akan dikekalkan sehingga umat Islam mendapatkan manfaat dari sesuatu kaum dan kaum yang lain yaitu orang-orang kafir menderita kerugian karenamu. Wahai Allah! Sempurnakanlah hijrah sahabat-sahabatku dan janganlah kamu kembalikan mereka ke belakang (kepada kekufuran) teteapi yang sial adalah Sa’ad bin Khaulah. Dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW. mengasihi orang yang meninggal di Makkah.” (Muttafaq ‘Alaih)   

Hadis di atas menjelaskan tentang menyedekahkan sebagian besar harta benda, (meskipun sedekah itu baik) tetapi kalau didalam bersedekah itu melebihi batas kewajaran, dilarang oleh agama. Apalagi kalau orang tersebut mempunyai keturunan yang masih membutuhkan harta benda untuk menyongsong masa depannya. Lebih baik meninggalkan anak cucu dalam keadaan cukup daripada tidak sama sekali, sehingga setelah ditinggalkan menjadi sengsara.
Batas maksimal diperbolehkan sedekah adalah sepertiga dari jumlah harta pusaka dan sepertiga itu sudah dikategorikan besar.[6]

حَدِيْثُ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: لَوْ أَنَّ النَّاسَ غَضُّوْا مِنَ الثُّلُثِ إِلَى الُّربُعُ فَإِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيْرُ (متفق عليه)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. dia telah berkata: “Seandainya manusia mau mengurangkan dari sepertiga menjadi seperempat, maka sesungguhnya Rasulullah SAW. telah bersabda: “ sepertiga dan sepertiga itu banyak.”[7]

Sebagaimana telah ditegaskan dalam firman Allah surat Al- Baqarah (2) ayat 180-182 tentang kewajiban wasiat, yaitu:

|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ   .`yJsù ¼ã&s!£t/ $tBy÷èt/ ¼çmyèÏÿxœ !$uK¯RÎ*sù ¼çmßJøOÎ) n?tã tûïÏ%©!$# ÿ¼çmtRqä9Ïdt7ム4 ¨bÎ) ©!$# ììÏÿxœ ×LìÎ=tæ ÇÊÑÊÈ   ô`yJsù t$%s{ `ÏB <ÉqB $¸ÿuZy_ ÷rr& $VJøOÎ) yxn=ô¹r'sù öNæhuZ÷t/ Ixsù zOøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî ÒOŠÏm§ ÇÊÑËÈ  
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Maka Barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, Maka Sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
(Akan tetapi) Barangsiapa khawatir terhadap orang yang Berwasiat itu, Berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, Maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu. ayat ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.
Mendamaikan ialah menyuruh orang yang Berwasiat Berlaku adil dalam Mewasiatkan sesuai dengan batas-batas yang ditentukan syara'.


BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan

Al-miirats dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa -yaritsu -irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum lain.
Wasiat dalam bahasa adalah washiyyat dan bentuk jamaknya adalah washaayaa, sama seperti kata hadiyyah yang bentuk jamaknya adalah hadaayaa. Kata “wasiat” dalam bahasa Arab digunakan dalam arti pebuatan orang yang berwasiat, dan sesuatu yang diwasiatkan, baik berupa harta atau yang lainnya seperti perjanjian atau hal- hal lain.
Batas maksimal diperbolehkan sedekah adalah sepertiga dari jumlah harta pusaka dan sepertiga itu sudah dikategorikan besar.



DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2005).
K.H. Ahmad Mudjab Mahalli, H. Ahmad Rodli Hasbullah, Hadis-Hadis Muttafaq ‘Alaih, (Jakarta: Kencana, 2004).
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian waris Menurut Islam, (Jakarta : Gema Insani, 2007).
 Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi, Al- Lu’ Lu’ Wal Marjan, (Surabaya: Bina Ilmu, t.t).



                [1] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian waris Menurut Islam, (Jakarta : Gema Insani,2007), hal.33.
                 [2] Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi, Al- Lu’ Lu’ Wal Marjan, (Surabaya: Bina Ilmu, t.t), hal. 586-587.
[3] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian waris Menurut Islam, …, hal. 46-47.
[4] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian waris Menurut Islam, … ,Hal.48-49.
                [5] Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2005), hal. 375.
                [6]  K.H. Ahmad Mudjab Mahalli, H. Ahmad Rodli Hasbullah, Hadis-Hadis Muttafaq ‘Alaih, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 133-135.
                

No comments: