BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Syari’at Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat
teratur dan adil. Didalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap
manusia, baik lagki-laki maupun perempuan dengan cara yang syar’i. Syari’at
Islam juga menetapkan hak perpindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal
dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan
antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al- Qu’an menjelaskan dan merincikan secara detail hukum-hukum yang
berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang
harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris,
apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau
bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
B.
Rumusan Makalah
1.
Apakah pengertian waris itu?
2.
Bagaimanakah hadits yang menjelaskan tentang mawaris itu?
3.
Apakah pengertian waasiat itu?
4.
Berapakah jumlah maksimal harta yang boleh diwasiatkan?
C.
Tujuan
1.
Untuk mngetahui dan menjelaskan tentang pengertian dan ketentuan
pembagian harta warisan.
2.
Untuk mengetahui hadits-hadits yang menjelaskan tentang harta
warisan.
3.
Untuk mengetahui dan menjelaskan
tentang pengertian wasiat.
4.
Untuk mengetahui hadits tentang jumlah ,aksimal harta yang boleh
untuk diwasiatkan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Waris
Al-miirats dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari
kata waritsa – yaritsu – irtsan – miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah
berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum
lain. Seperti hadits Nabi SAW, yaitu:
اْلعُلَماَءُوَرَثَةُ الْاَنْبِيَاءِ
“ulama adalah ahli waris
para Nabi”.
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama
ialah berpindahnya hak kepemilkan dari orang yang meninggal kepada ahli
warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang),
tanah, atau apa saja yang berupa hak milik secara syar’i.[1]
B.
Hadits Tentang Harta Warisan untuk Ahli Waris
حَدِيْثُ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللُهُ عَنْهُمَا قَالَ : اَلْحَقُ اْلفَرَائِضَ
بِاَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ (رواه البخاري ومسلم)
Diriwayatkan
dari Ibn Abbas r.a. berkata: Nabi SAW. bersabda: “berikan bagian waris itu
kepada ahlinya (orang-orang yang berhak), kemudian jika ada sisanya maka untuk
kerabat yang terdekat yang laki-laki”. (H.R. Bukhari - Muslim)[2]
C.
Pembagian Waris Menurut Al-Qur’an
Jumlah bagian yang sudah ditentukan al-Qur’an ada enam macam, yaitu
:
a.
Ashbabul furudh yang berhak mendapat setengah
Ashbabul furudh yang berhak mendapatkan separobdari harta waris
peninggal pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat dari
golongan perempuan. Kelima ashbabul furudh tersebuat ialah suami kandung
perempuan, cucu perempuan keterunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan,
dan saudara perempuan seayah. Rinciannya sebagai berikut :
1.
Seorang suami berhak mendapat separo harta warisan dengan syarat apabila
pewaris tidak mempunyai keturunan, baik anak laki-laki maupun anak perempuan,
baik itu keturunan dari suami atau bukan, dalilnya adalah firman Allah :
* öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurør& bÎ) óO©9 `ä3t £`ßg©9 Ó$s!ur 4
“ ...dan bagi kalian (para
suami) mendapat separo harta yang di tinggalkan istri-istri kalian, bila mereka
(para istri) tidak mempunyai anak,....”(an-Nisa’
: 12)
2.
Anak perempuan (kandung) mendapat bagian separo harta peninggalan
pewaris, dengan dua syarat :
a)
Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki
b)
Apabila anak perempuan itu adalah anak tunggal
3.
Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan mendapat separo,
dengan tiga syarat :
a)
Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki akan mendapat(yakni
cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki)
b)
Apanila hanya seorang( yakni cucu perempuan dari keturunan anak
laki-laki dari tersebut sebagi cucu tunggal)
c)
Apabila pewaris tidak mempunya anak perempuan ataupun anak
laki-laki.
4.
Saudara kandung perempuan akan mendapat bagian separo harta warisan,
dengan tiga syarat :
a)
Ia tidak mempunya saudara kandung laki-laki.
b)
Ia hanya seorang diri(tidak mempunyai saudara perempuan).
c)
Pewaris tidak mempunya ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai
keturunan, baik keterunan laki-laki maupun perempuan.[3]
Dalilnya :
y7tRqçFøÿtGó¡o È@è% ª!$# öNà6ÏFøÿã Îû Ï's#»n=s3ø9$# 4 ÈbÎ) (#îtâöD$# y7n=yd }§øs9 ¼çms9 Ó$s!ur ÿ¼ã&s!ur ×M÷zé& $ygn=sù ß#óÁÏR $tB x8ts?
“Mereka meminta fatwa
kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu
tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai
anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya....”
kalalah
ialah: seseorang mati
yang tidak meninggalkan ayah dan anak.
5.
Saudara perempuan seayah akan mendapat bagian separoh, dengan
syarat :
a)
Apabila tidak mempunyai saudara laki-laki.
b)
Apabila ia hanya seoarang diri.
c)
Pewaris tidak mempunyai saudara kandung perempuan.
d)
Pewaris tidak mempunya ayah atau kakek, dan tidak pula anak, baik
laki-laki maupun perempuan.
Dalilnya sama dengan poin 4 (an-Nisa’: 176) dan hali ini telah
menjadi kesepakatan ulama.
b.
Ashbabul furudh yang berhak mendapat seperempat
Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4) dari
harta peninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri. Rinciannya sebagai
berikut :
1.
Seorang suami berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta
peninggalan istrinya dengan satu syarat, yaitu bila sang istri mempunya sang
anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-lakinya, baik anak atau cucu
tersebut dari darah dagingnya atau pun dari suami lain (sebelumya). Hal ini
berdasarkan firman Allah:
bÎ*sù tb$2 Æßgs9 Ó$s!ur ãNà6n=sù ßìç/9$# $£JÏB z`ò2ts?
",,,,jika
istri-istrimu mempunyai ana, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya... (an-Nisa’ :12)
2.
Seorang istri akan mendapat seperempat (1/4) dengan syarat, yaitu
apabila suami tidak mempunya anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya
ataupun dari rahim istri lainnya[4].
Ketentuan ini berdasarkan firman Allah :
4 Æßgs9ur ßìç/9$# $£JÏB óOçFø.ts? bÎ) öN©9 `à6t öNä3©9 Ós9ur 4
“para
isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. “(an-Nisa
12)
c.
Ashbabul furudh yang berhak mendapat seperdelapan
Yang berhak memperoleh bagian seperdelapan (1/8), yaitu istri, baik
seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan
suaminya, bila suaminya mempunya anak atau cucu, baik anak itu lahir dari rahimnya atau dari rahim istri lain. Dalilnya
:
* öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurør& bÎ) óO©9 `ä3t £`ßg©9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù tb$2 Æßgs9 Ó$s!ur ãNà6n=sù ßìç/9$# $£JÏB z`ò2ts? 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur úüϹqã !$ygÎ/ ÷rr& &úøïy 4
“...jika kamu mempunyai
anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
hutang-hutangmu....” (an-Nisa
12)
d.
Ashbabul furudh yang berhak mendapat bagian dua per tiga
Ahli waris yang berhak mendapat 1/3 ada empat, yaitu :
1.
Dua anak perempuan kadung atau lebih
2.
Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih.
3.
Dua saudara kandung perempuan atau lebih.
4.
Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.
e.
Ashbabul furudh yang berhak mendapat bagian sepertiga
Yaitu, ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang
seibu. Seorang ibu berhak mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat :
1.
Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak
laki-laki.
2.
Pewaris tidak mempunyai dua saudara atau lebih (laki-laki ataupun
perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah atau seibu.
bÎ*sù óO©9 `ä3t ¼ã&©! Ó$s!ur ÿ¼çmrOÍurur çn#uqt/r& ÏmÏiBT|sù ß]è=W9$# 4
“...dan jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga...” (an-Nisa 11)
f.
Ashbabul furudh yang mendapatkan bagian seperenam
Yang berhak mendapat bagian seperenam (1/6) ada tujuh orang, yaitu:
ayah, kakek(bapak dari ayah), ibu, cucu perempuan keturunan anak laki-laki,
saudara perempuan seayah, nenek asli, saudara laki-laki dan perempuan seibu.
1.
Seorang ayah akan mendapat bagian seperenam (1/6) bila pewaris
mempunyai anak, baik anak laki-laki atau anak perempuan.
2.
Seorang kakek (bapak dari ayah) akan mendapat seperenam (1/6) bila
anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki dari keturunan anak dengan
syarat ayah pewaris tidak ada.
3.
Ibu memperoleh seperenam (1/6) bagian dari harta yang ditinggalkan
pewaris dengan dua syarat :
a)
Bila pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu
laki-laki keturunan anak laki-laki.
b)
Bila pewaris mempunyai dua orang saudara atau lebih, baik saudara
laki ataupun perempuan, baik sekandung, seayah atau seibu.
4.
Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki seorang atau lebih
akan mendapat bagian seperenam (1/6), apabila meninggal (pewaris), mempunyai
satu anak perempuan. Dalam keadaan demikian, anak perempuan tersebut mendapat
bagian setengah (1/2), dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-
laki
pewaris mendapat seperenam(1/6), sebagai pelengkap dua pertiga (2/3).
5.
Saudara perempuan seayah satu orangatau lebih akan mendapat bagian
seperenam (1/6), apabila pewaris mempunyai saudara kandung perempuan. Hal ini
hukumnya sama dengan keadan jika cucu perempuan keturunan anak laki-laki
bersamaan dengan adanya anak perempuan. Jadi, bila seseorang meninggal dunia
dan meninggalkan saudara perempuan sekandung dan saudara perempan seayah atau
lebih, maka saudara perempuan seayah mendapat bagi seperenam (1/6) sebagai
penyempurna dari dua per tiga (2/3). Sebab ketika saudara perempuan kandung
memperolehsetengah (1/2) bagian, maka tidak ada sisa kecuali seperenam (1/6)
yang memang merupakan hak saudara perempuan seayah.
6.
Saudara laki-laki dan perempuan seibu akan mendapat bagian
masing-masing seperenam (1/6) bila mewarisi
sendirian. Dalilnya adalah firman Allah (artinya) “jika seseorang baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing darikedua jenis saudara
itu seperenam harta”. Dan persyaratannya adalah bila pewaris tidak mempunyai
pokok (yakni kakek) dan tidak pula cabang (yakni anak, baik laki-laki atau
perempuan).
7.
Nenek asli mendapatkan bagian seperenam (1/6) ketika pewaris tidak
lagi mempunyai ibu. Ketentukan demikian baik nenek itu hanya satu ataupun lebih
(dari jalur ayah maupun ibu), yang jelas seperenam itu dibagikan secara merata
kepada mereka. Hal ini berlandaskan pada apa yang telah ditetapkan didalam
hadits sahih dan ijma’ seluruh sahabat.
Ashhabus Sunan meriwayatkan bahwaseorang nenek dating kepada abu
bakar Ash-Shiddiq r.a. untuk menuntut hak warisnya. Abu Bakar menjawab : “saya
tidak mendapati hakmu dalam Al-Qur’an maka pulanglah dulu, dan tunggulah hingga
akan menanyakannya kepada para sahabat Rasulullah SAW..” Kemudian Al-Mughirah
bin Syu’bah merupakan kepada Abu Bakar : “Suatu ketika aku pernah menjumpai
Rasulullah SAW. memberikan hak seorang nenek seperenam (1/6).” Mendengar
pertanyaan Al-Mughirah itu Abu Bakar kemudian memanggil nenek tadi dan
memberinya seperenam (1/6).
D.
Pengertian wasiat
Wasiat dalam bahasa adalah washiyyat dan bentuk jamaknya adalah washaayaa,
sama seperti kata hadiyyah yang bentuk jamaknya adalah hadaayaa.
Kata “wasiat” dalam bahasa Arab digunakan dalam arti pebuatan orang yang
berwasiat, dan sesuatu yang diwasiatkan, baik berupa harta atau yang lainnya
seperti perjanjian atau hal- hal lain.
Wasiat dalam arti syara’ adalah perjanjian khusus yang disandarkan
kepada waktu setelah kematian, dan terkadang disertai dengan pemberian secara
suka rela.
Al Azhari berkata, kata “washiyyah
(wasiat)” berasal dari kalimat washaitu asy-syai’a atau aushaitu
asy-syai’a, artinya aku menyambungkan sesuatu. Dinamakan wasiat karena
setelah meninggal dunia, mayit dapat menyambungkan apa yang ada saat dia hidup
dengan wasiat itu.
Wasiat menurut syari’at juga diartikan perkataan yang mengandung
larangan terhadap hal-hal yang dilarang dan anjuaran trhadap hal-hal yang
diperintahkan.[5]
E.
Hadits Tentang Jumlah Maksimal Harta Untuk Wasiat
حَدِيْثُ سَعْدِ
بْنِ أَبِي وَقَّاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : عَادَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةٍ اْلوَدَاعِ مِنْ وَجَعٍ أَشْفَيْتُ مِنْهُ عَلَى
الْمَوْتِ فَقُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ بَلَغَنِي مَاتَرَى مِنَ اْلوَجَعِ وَأَنَا
ذُوْ مَالٍ وَلاَ يَرِثُنِي إِلاَّابْنَةُ
لِي وَاحِدَةٌ أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَي مَالِي قَالَ "لاَ" قَالَ قُلْتُ
أَفَأَتَصَدَّقُ بِشَطْرِهِ قَالَ "لَا" الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ
إِنَّكَ اَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً
يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ وَلَسْتُ تُنْفِقُ نَفَقَةً تَبْتَغِيْ بِهَا وَجْهَ
اللهِ اِلّاَ أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى الُّلقْمَةُ تَجْعَلُهَا فِي امْرَأَتِكَ قاَلَ
قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ أُخَلَّفُ بَعْدَ اَصْحَابِي قَالَ إِنَّكَ لَنْ تُخَلَّفَ
فَتَعْمَلَ عَمَلاً تَبْتَغِيْ بِهِ وَجْهَ اللهِ إِلَّا ازْدَدْتَ بِهِ دَرَجَةً
وَرِفْعَةً وَلَعَلَّكَ تُخَلَّفُ حَتَّى يُنْفَعُ بِكَ أَقْوَامٌ وَيُضَرَّبِكَ
آخَرُوْنَ الَّلهُمَّ أَمْضِ لِأَصْحَابِيْ هِجْرَتَهُمْ وَلَا تَرَدَّهُمْ عَلَى
أَعْقَابِهِمْ لَكِنِ اْلبَائِسِ سَعْدُ بْنُ خَوْلَةَ قَالَ رَثَى لَهُ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَنْ تُوُفِّيَ بِمَكَّةَ (متفق عليه)
Diriwayatkan
dari Sa’ad bin Abi Waqqas ra, dia telah berkata: “pada waktu haji
wada’Rasulullah SAW. menziarahiku ketika aku sedang sakit kepala. Waktu itu aku
berkata: “wahai Rasulullah! Lihatlah keadaanku yang berada dalam keadaan sakit
kepala yang sangat payah ini sebagaimana yang enkau lihat, sedangkan aku ini
seorang hartawan dan hanya seorang anak perempuan sajalah yang akan mewarisi
hartaku. Apakah saya boleh mengeluarkan sedekah dua pertiga dari harta saya?”
beliau menjawab: “Tidak!” Aku bertanya lagi: “Bagaimana kalau sebagiannya?”
beliau menjawab : “Tidak!” tetapi sepertiga dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya
jika kamu meninggalkan ahli waris dalamkeadaan kaya itu lebih baik daripada
kamu meninggalkan mereka dalam keadaan papa dan meminta-minta kepada orang
lain. Tidakkah kamu menafkahkan suatu nafkah dengan tujuan untuk mendapatkan
keridhaan Allah, sehingga kamu mendapatkan pahala dari nafkahmu itu, sekalipun
sesuap makanan yang kamu masukkan ke mulut istrimu.” Aku bertanya: “wahai
Rasulullah! Apakah saya akan dikekalkan (masih tetaphidup) sesudah
sahabat-sahabat saya (meninggal dunia)?” Beliau bersabda: “sesungguhnya kamu
tidak akan dikekalkan lalu kamu mengerjakan suatu amal dengan tujuan
mendapatkan keridhaan Allah sehingga dengan amal itu derajatmu akan bertambah.
Barangkali kamu akan dikekalkan sehingga umat Islam mendapatkan manfaat dari
sesuatu kaum dan kaum yang lain yaitu orang-orang kafir menderita kerugian
karenamu. Wahai Allah! Sempurnakanlah hijrah sahabat-sahabatku dan janganlah
kamu kembalikan mereka ke belakang (kepada kekufuran) teteapi yang sial adalah
Sa’ad bin Khaulah. Dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW. mengasihi orang yang
meninggal di Makkah.” (Muttafaq ‘Alaih)
Hadis di atas menjelaskan tentang menyedekahkan sebagian besar
harta benda, (meskipun sedekah itu baik) tetapi kalau didalam bersedekah itu
melebihi batas kewajaran, dilarang oleh agama. Apalagi kalau orang tersebut
mempunyai keturunan yang masih membutuhkan harta benda untuk menyongsong masa
depannya. Lebih baik meninggalkan anak cucu dalam keadaan cukup daripada tidak
sama sekali, sehingga setelah ditinggalkan menjadi sengsara.
Batas maksimal diperbolehkan sedekah adalah sepertiga dari jumlah
harta pusaka dan sepertiga itu sudah dikategorikan besar.[6]
حَدِيْثُ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: لَوْ أَنَّ
النَّاسَ غَضُّوْا مِنَ الثُّلُثِ إِلَى الُّربُعُ فَإِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيْرُ (متفق عليه)
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas r.a. dia telah berkata: “Seandainya manusia mau mengurangkan
dari sepertiga menjadi seperempat, maka sesungguhnya Rasulullah SAW. telah
bersabda: “ sepertiga dan sepertiga itu banyak.”[7]
Sebagaimana telah ditegaskan dalam firman Allah surat Al- Baqarah
(2) ayat 180-182 tentang kewajiban wasiat, yaitu:
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·öyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷yÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÉ)FßJø9$# ÇÊÑÉÈ .`yJsù ¼ã&s!£t/ $tBy÷èt/ ¼çmyèÏÿx !$uK¯RÎ*sù ¼çmßJøOÎ) n?tã tûïÏ%©!$# ÿ¼çmtRqä9Ïdt7ã 4 ¨bÎ) ©!$# ììÏÿx ×LìÎ=tæ ÇÊÑÊÈ ô`yJsù t$%s{ `ÏB <ÉqB $¸ÿuZy_ ÷rr& $VJøOÎ) yxn=ô¹r'sù öNæhuZ÷t/ Ixsù zOøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÊÑËÈ
Diwajibkan atas kamu, apabila
seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan
harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf
(ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Maka Barangsiapa yang mengubah
wasiat itu, setelah ia mendengarnya, Maka Sesungguhnya dosanya adalah bagi
orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.
(Akan tetapi) Barangsiapa khawatir
terhadap orang yang Berwasiat itu, Berlaku berat sebelah atau berbuat dosa,
lalu ia mendamaikan antara mereka, Maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari
seluruh harta orang yang akan meninggal itu. ayat ini dinasakhkan dengan ayat
mewaris.
Mendamaikan ialah menyuruh orang yang Berwasiat Berlaku adil dalam Mewasiatkan
sesuai dengan batas-batas yang ditentukan syara'.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Al-miirats dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari
kata waritsa -yaritsu -irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah
berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum
lain.
Wasiat dalam bahasa adalah washiyyat dan bentuk jamaknya adalah washaayaa,
sama seperti kata hadiyyah yang bentuk jamaknya adalah hadaayaa.
Kata “wasiat” dalam bahasa Arab digunakan dalam arti pebuatan orang yang
berwasiat, dan sesuatu yang diwasiatkan, baik berupa harta atau yang lainnya
seperti perjanjian atau hal- hal lain.
Batas maksimal diperbolehkan sedekah adalah sepertiga dari jumlah
harta pusaka dan sepertiga itu sudah dikategorikan besar.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu
Hajar Al Asqalani, Fathul Baari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2005).
K.H.
Ahmad Mudjab Mahalli, H. Ahmad Rodli Hasbullah, Hadis-Hadis Muttafaq ‘Alaih,
(Jakarta: Kencana, 2004).
Muhammad
Ali Ash-Shabuni, Pembagian waris Menurut Islam, (Jakarta : Gema Insani,
2007).
Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi, Al- Lu’ Lu’ Wal
Marjan, (Surabaya: Bina Ilmu, t.t).
No comments:
Post a Comment